QUOTA TAMBAHAN: Antara Maslahah dan Madharat

0

Berita tentang haji selalu hangat, sebab sangat sensitif, maka sekecil apapun kesalahan akan menjadi sorotan tajam. Itu sebab DPR begitu tanggap disaat ada peluang kesalahan, maka dengan lincah membentuk pansus haji, konon sebagai bentuk kewajiban dan tanggung jawabnya, namun sebenarnya keinginan masyarakat tidak hanya pansus haji, tetapi pansus yang menyangkut skandal besar seperti Pansus nikel hamper 90 persen dinikamti cina (kata Faisal Basri) , pansus IKN (kenapa dulu katanya gak pakai APBN), pansus utang negara yang bunganya sangat tinggi, merugikan negara sampai ratusan bahkan ribuan triliun. Tapi justru yang dipilih adalah pansus haji justru disaat pelaksanaan dianggap terbaik.

Dampak dari Pansus, KPK merasa mendapat dorongan dari DPR dikuatkan laporan dari MAKI, menyebabkan KPK langsung tancap gas, dan ini dijadikan momentum untuk menaikkan Citra KPK, belakangan ini kalah telak dengan Kejaksaan yang telah berhasil membongkar kasus besar.

Dengan cepat KPK mempetakan poin persoalan dan konon menemukan adanya pelanggaran undang-undang khususnya tentang Quota tambahan yang seharusnya diberikan kepada haji reguler 18000 lebih dari 20.000 dan sisanya untuk haji plus.

Tapi kenyatannya kemenag membagi 50 50, hal ini mentri dianggap melawan hukum. Di sinilah titik krusialnya, maka muncullah halunisasi sepikulasi seolah-olah mentri agama menjual jatah orang haji yang akan berdampak antrian Panjang. Begitulah sepikulasi-sepikulasi yang mengemuka berseliweran di dunia medsos.

Padahal tidak demikian, karena ada kondisi-kondisi yang mengharuskan kebijakan itu dibuat, demi kemaslahatan jamaah haji itu sendiri. Mengingat mandat yang diberikan kepada penyelenggara adalah memastikan pelaksanaan jamaah haji dapat berjalan dengan baik.

Dengan adanya quota tambahan satu sisi dapat mengurangi antrian (maslahah), tetapi disis lain akan menimbulkan kekacauan (madharat), mengingat waktu suda mepet , system telah terbentuk tertarapi dan jika ditambahkan sebagaimana ketentuan, maka kekcauan tak terelakan.

Maka Kebijakan Pembagian 50-50 didasarkan kepada beberapa pertimbangan intinya demi menghindari kemadharatan jamaah regular, yaitu:

Pertama, Kerajaan Saudi menegaskan bahwa Quota tambahan sebanyak 20.000 adalah quota eksklusif atau khusus semuanya, tetapi mentri agama mempertimbangkan antrian di reguler begitu lama, maka terpaksa 10 ribu (50 %) diberikan ke regular.

Kedua, alasan teknis, mengingat waktunya mepet, sebab jika dijalankan sebagaimana ketentuan undang-undang yaitu 18 ribu lebih, konsekwensinya akan membongkar system yang telah ditata dengan baik, otomatis akan mengganggu dan bahkan secara teknis pelaksanaan ibadah haji berpotensi kacau balau (madharat).

Ketiga, untuk menghindari madharat lebih besar bagi jamaah haji regular, maka quota tambahan dialihkan kepada jamaah haji khusus yang masih tersedia dan memungkinkan untuk dijalankan dengan baik. Dalam kaidah fiqih, “menghindari madharat harus didahulukan”

Dengan demikian, pelaksanaan ibadah haji dapat berjalan lancer, sebab semua terakomodir dengan baik, maka tak heran pelaksanaan haji saat itu dianilai terbaik.

Artinya dugaan KPK bahwa menteri Agama melawan hukum adalah sesuatu yang masih dalam perdebatan, berlaku kaidah fiqih, “potensi timbulnya madharat dibenarkan melanggar ketentuan”, dan apalagi tidak ada kerugian uang negara disitu, bahkan mampu menghemat uang negara 600 M.

Harapannya sebaiknya KPK mempertimbangkan kembali terhadap hal-hal masih dalam perdebatan, sebab telah tersedia banyak kasus jumbo yang telah jelas-jelas merugikan uang negara yang seharusnya menjadi sekala prioritas.

Demi memenuhi rasa keadilan, berharap KPK berpikir obyektif dan bertindak professional memprioritaskan kasus-kasus besar yang terang benerang merugikan negara dan juga nilainya cukup fantastis.

Mukhlas Syarkun

Leave A Reply

Your email address will not be published.