Transformasi Sosial di Era Digital: Peran Nahdlatul Ulama dalam Menangkal Hoaks dan Propaganda

0

 

Manusia merupakan makhluk sosial, artinya memerlukan bantuan dari manusia lain dalam berbagai bidang di kehidupannya. Oleh karena itu, manusia bersosialisasi untuk memenuhi berbagai keperluannya. Seiring perkembangan informasi dan teknologi, caramanusia untuk melakukan komunikasi dan bersosialisasi juga mengalami perkembangan.

Sebelumnya, manusia hanya mengenal bentuk komunikasi konvensional, sekarang sudah mengenal perkembangan komunikasi dalam bentuk digital, yaitu media sosial. Pengguna media sosial sendiri terus meningkat dari tahun ke tahun, dengan jutaan orang di seluruh dunia mengakses berbagai platform untuk berinteraksi, mencari informasi, dan berbagi pengalaman. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan media sosial sudah merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat.

Namun, seiring berkembangnya masa, penggunaan sosial media menyimpang dari tujuan awalnya yaitu sebagai bentuk inovasi untuk memudahkan penyampaian informasi dan komunikasi yang bermanfaat untuk manusia. Sebut saja fenomena penyimpangan yang marak terjadi dewasa ini ialah penyampaian informasi yang tidak benar (Hoaks) serta sebagai alat propaganda satu pihak untuk kepentingan tertentu.

Hoaks dan propaganda di media sosial tidak bisa dianggap remeh, pasalnya dapat menimbulkan dampak yang serius. Misalkan saja seperti keresahan masyarakat, kerugian secara finansial, hingga pencemaran nama baik, baik individu, organisasi, maupun instansi. Oleh karena itu, diperlukan sinergi dari masyarakat, pemerintah, maupun instansi/organisasi masyarakat yang berpengaruh untuk melakukan edukasi penyaringan informasi dan pembentengan diri dari efek negatif sosial media seperti berita hoaks dan propaganda.

Salah satu konsep yang dapat membentengi diri dari hal tersebut adalah konsep wasathiyah yang dianut oleh Nahdlatul Ulama (NU). NU sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia mengusung Islam yang damai dan moderat (wasathiyah) yang dapat menyatu dengan perbedaan dan keragaman budaya.

Dalam konteks menghadapi media sosial, prinsip wasathiyah ini menjadi penting karena mengajarkan
sikap adil, tidak ekstrem dalam menyikapi informasi, serta menekankan pentingnya tabayyun (klarifikasi) sebelum mempercayai atau menyebarkan suatu informasi. Seperti yang disampaikan oleh Tokoh NU, KH Said Aqil Siradj, wasathiyah bukan hanya soal keseimbangan dalam beragama, tetapi juga dalam kehidupan sosial dan bermedia.

Fenomena penyebaran berita hoaks dan propaganda melalui media ternyata juga pernah terjadi di masa lalu. Ketika era pra-islam di Jazirah Arab lewat peran para penyair. Kala itu para penyair merupakan salah satu kalangan yang cukup berpengaruh di Arab. Bangsa Arab sangat gemar akan syair dan karya sastra, buktinya dengan diadakannya pasar seni, salah satunya ialah di Pasar Ukaz, di tempat itu lah para penyair dan pujangga mempertunjukan syair-syairnya, kemudian hasil karya yang dinilai mempunyai nilai sastra yang terbaik mendapat penghargaan yang sangat tinggi. Pasalnya, karya yang berhasil dipilih akan ditulis di kain khusus dan ditulis dengan menggunakan tinta emas, kemudian kain tersebut digantungkan di dinding Ka’bah pada masa itu, penghargaan itu disebut Al-muallaqat.

Melalui syair, para penyair mendapat perhatian serta pengaruh besar dari Bangsa Arab, sehingga para penyair dapat menggiring opini bangsa Arab melalui karya-karya mereka, dan dapat menjadikan puisi atau syairnya sebagai alat
propaganda kala itu. Sama seperti fenomena media sosial sekarang ini. Penggunaan alat propaganda untuk mengiring opini publik demi kepentingan pribadi atau golongan juga terjadi di zaman awal keislaman, yaitu ketika kaum kafir quraisy yang membenci perjuangan dakwah nabi Muhammad. Mereka menyewa penyair untuk menggiring opini bangsa arab terkait ajaran yang dibawa nabi Muhammad SAW, diantaranya ialah Walid bin Al mughirah. Melalui pengaruh para penyair, kaum kafir quraisy menyebarkan berbagai kabar bohong terkait dakwah nabi, dengan tujuan menggiring opini, serta mendapat dukungan dari bangsa jazirah arab saat itu
untuk menentang dakwah nabi.

Fenomena seperti itu terjadi kembali di zaman sekarang, dalam bentuk yang lebih modern, yaitu melalui media sosial. Jika pada zaman dahulu propaganda dilakukan melalui syair dan lisan, kini alat yang digunakan adalah teknologi digital yang memungkinkan informasi menyebar dengan sangat cepat dan luas. Banyak berbagai berita
bohong yang tersebar hanya untuk menggiring opini serta mendapatkan dukungan dari publik.

Informasi yang dimanipulasi juga banyak yang sengaja disebarkan untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, baik dalam konteks politik, sosial, maupun ekonomi. Sayangnya, tanpa literasi digital yang memadai, masyarakat cenderung mudah terpengaruh dan terprovokasi oleh informasi yang belum tentu benar. Dalam situasi seperti ini, dibutuhkan sebuah pegangan yang dapat membimbing masyarakat agar tidak mudah terseret dalam arus informasi yang menyesatkan. Salah satunya dengan memahami dan menerapkan konsep yang ditawarkan NU yaitu wasathiyah, melalui ini masyarakat dapat lebih kritis dalam menyikapi arus informasi di media sosial. Tidak mudah terprovokasi oleh berita yang belum tentu benar, serta mampu menjaga harmoni sosial dengan tidak ikut serta dalam penyebaran hoaks dan propaganda yang dapat memecah belah persatuan.

Oleh karena itu, penguatan literasi digital berbasis nilai-nilai moderatisme Islam, sebagaimana yang telah lama diajarkan oleh NU, dapat menjadi strategi efektif dalam membangun masyarakat yang lebih bijak dalam menggunakan media sosial.

Dalam menghadapi derasnya arus informasi di era digital, Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan dan ketahanan masyarakat dari pengaruh negatif media sosial. Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU tidak hanya berfungsi sebagai penjaga nilai-nilai keislaman yang moderat, tetapi juga sebagai garda terdepan dalam menangkal hoaks dan propaganda yang dapat merusak persatuan. Konsep wasathiyah yang diajarkan oleh Nahdlatul Ulama (NU) menjadi relevan. NU mengajarkan washatiyah, yaitu sikap moderat dalam berpikir dan bertindak, termasuk dalam menyikapi informasi adalah kunci agar kita tidak mudah terseret arus propaganda atau hoaks yang sengaja disebarkan untuk memecah belah.

Melalui washatiyah, NU mengingatkan kita untuk selalu mencari kejelasan sebelum mempercayai atau menyebarkan suatu berita. Selain itu, upaya NU dalam membangun literasi digital keagamaan, baik melalui pesantren, kajian ilmiah seperti bahtsul masail, maupun media dakwah digital seperti NU Online, memberikan contoh bahwa ketahanan dalam bermedia tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada kedalaman pemahaman dan
kebijaksanaan dalam menyikapi informasi.

Dari berbagai upaya ini, dapat disimpulkan bahwa tantangan penyebaran hoaks dan propaganda di media sosial harus dihadapi dengan pendekatan yang cerdas dan strategis. NU, dengan prinsip wasathiyahnya telah memberikan contoh bagaimana organisasi keagamaan dapat berperan aktif dalam membangun masyarakat yang lebih kritis dan bertanggung jawab dalam bermedia. Namun, tanggung jawab ini tentu bukan hanya milik NU atau pemerintah
semata, tetapi juga menjadi tugas kita sebagai individu yang hidup di era digital. Kesadaran untuk selalu bersikap kritis, melakukan tabayyun, serta menerapkan nilai-nilai moderasi harus terus kita bangun agar tidak mudah terjebak dalam arus informasi yang menyesatkan.

Oleh: Mohammad Wildan Rohmatan Lilalamin(Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia)

Leave A Reply

Your email address will not be published.