Wajah Politik dalam Tubuh NU: Bertahan Tradisionalis atau Berujung Progresif?

0

Nahdlatul Ulama dikenal sebagai organisasi Islam terbesar sepanjang satu abad ini tentu kerap disorot dalam berbagai aspek salah satunya adalah aspek politik (Safiudin dan Janah, 2024). NU dihujani dengan berbagai isu yang mayoritas mengarah pada hubungan NU dan politik. Kembali pada khittah 1926 terus digaungkan oleh jutaan pengikut NU, terlebih isi dari khittah 1926 yang mengarah pada semangat NU untuk terlepas dari ikatan politik praktis (Maksum dan Leoninda, 2024).

Keterlibatan NU dalam politik pada saat itu dianggap telah keluar jalur sehingga meninggalkan komitmennya sebagai organisasi yang terfokus pada sosial kerakyatan dan tujuan agama sekaligus sebagai respon kegagalan NU setelah sebelumnya bergabung dalam Partai Masyumi dan PPP (Niam, 2021). Nahdlatul Ulama selalu memiliki peran signifikan dalam lanskap politik, baik sebagai penjaga nilai-nilai tradisional maupun sebagai aktor yang beradaptasi dengan perubahan zaman. Dalam sejarahnya, NU kerap berada di persimpangan antara mempertahankan warisan keislaman yang moderat dan menerima transformasi politik yang menuntut fleksibilitas dalam sikap serta strategi.

Di satu sisi, NU berupaya menjaga keberlanjutan nilai-nilai ahlussunnah wal jama’ah dalam kehidupan berbangsa, tetapi di sisi lain, dinamika politik yang terus berkembang menuntut respons yang lebih adaptif, bahkan perubahan sikap dalam menghadapi isu-isu kontemporer. Maka, muncul pertanyaan sejauh mana NU dapat tetap konsisten dengan identitasnya tanpa menutup diri dari perubahan politik? Apakah keberlanjutan dan transformasi merupakan dua kutub yang harus dipilih, atau justru dapat berjalan  berdampingan dalam peran NU di kancah politik?

Dinamika Politik NU: dari Masyumi hingga PKB
Kembalinya NU pada khittah 1926 memungkinkan kesempatan untuk membangun partai politik mandiri tanpa “menumpang” dengan partai Masyumi dan PPP. Kesempatan tersebut kemudian didukung dengan banyaknya aktivis NU yang mengusulkan kepada PBNU agar membentuk partai politik sendiri. Usalan datang dari berbagai pihak, mulai dari nama partai, visi-misi partai, dan seluk beluk pendirian partai (Hadi, 2018). Singkatnya, deklarasipun dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 23 Juli 1998 dengan nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), nama tersebut disahkan oleh Tim Asistensi Lajnah, Tim Lajnah, Tim NU, Tim Asistensi NU, Perwakilan Wilayah, dan para tokoh masyarakat setempat (Farisa, 2023).

Keterlibatan NU dalam perpolitikan di Indonesia dengan jalur Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tentu bertujuan sebagai wadah aspirasi politik warga NU. Selain itu, berbagai keberhasilan NU dalam dunia politik didapat hingga kancah tertinggi pemerintahan terbukti dengan kemenangan K.H. Abdurrahman Wahid seorang tokoh NU yang berhasil dalam Pilpres 1999. Keberhasilan ini membuktikan bahwa NU memiliki partisipan politik yang sangat banyak. Hingga saat ini, pemilih dari aktivis NU selalu turut diperhitungkan dalam Pemilu (Safiudin dan Janah, 2024). Akan tetapi, seiring dengan keterlibatan penuh dengan politik, tentu permasalahan yang muncul akan semakin kompleks, misalnya perseteruan di aplikasi X antara petinggi PBNU dengan petinggi PKB yang mengarah pada asumsi negatif masyarakat luas. Hal ini kemudian berdampak buruk bagi eksistensi NU sebagai wadah aspirasi masyarakat baik dalam bidang agama, sosial, maupun politik (Nufus, 2024).

NU dalam Lanskap Politik
NU juga terkadang dijadikan sebagai tunggangan kontestasi politik. Bahkan terkadang dukungan tersebut berbentuk deklarasi pemilihan paslon (Puspitasari, 2024). Dengan keterlibatan penuh ini, wajah NU pada akhirnya dinilai terlalu ambisius dalam dunia politik, NU yang sebelumnya kental dengan menjunjung tinggi paham dan nilai moral agama justru masuk terlampau jauh dalam panggung politik yang sebenarnya bukan menjadi substansi dari organisasi tersebut dan justru menggeser nilai agama yang menjadi landasan berdirinya organisasi NU. NU juga salah satu organisasi yang memiliki semangat mempertahankan nilai yang lama yang masih baik dan menerima nilai baru yang lebih baik.

Warga NU selalu membangun nilai-nilai agama di atas landasan budaya (Nurbaiti, 2024). Wajah politik dalam tubuh NU semakin mengakar kuat dalam berbagai spektrum. Saat ini, hampir seluruh lini jabatan pemerintahan terlahir dari sokongan NU. Dengan banyaknya kader NU yang telah menduduki posisi penting di pemerintahan maupun lembaga negara lainnya membuat kebijakan politik yang ada juga dipengaruhi oleh suara massa NU, salah satu hal yang paling utama dari rancangan terlibatnya NU dalam kancah politik adalah demi kepentingan dan kesejahteraan umat Islam (Maksum dan Leoninda, 2024). Dibangunnya hubungan yang positif antara NU dan politik tentu akan sangat berdampak baik bagi embrio pertumbuhan Islam di Indonesia. Akan tetapi, barangkali perlu diperhatikan pula bahwa semangat Islam  tentunya bukan hanya menciptakan kemaslahatan bagi golongan tertentu saja tetapi keseluruhan umat (Ridwan, 2023).

Nilai tradisional NU yang telah dijunjung tinggi sebelumnya baik berbentuk nilai moral, agama, dan sosial budaya yang bermuara pada kemaslahatan umat kemudian dihadapkan dengan  progresivisme dunia yang terus berlanjut tanpa henti, salah satunya adalah perihal politik. NU yang secara gamblang masuk dalam kancah politik baik melalui kader NU yang duduk dengan posisi jabatan tertentu atau melalui basis pendukung politik yang besar tentu menghadapi dilema dan tantangan tersendiri. Disisi lain, NU juga mengalami perkembangan yang cukup progresif dalam merespon isu-isu kebangsaan dan isu demokrasi. NU yang terkenal dengan sikap moderatnya menjadi simbol nasionalisme bangsa dengan menolak paham radikalisme dan ekstrimisme serta mendukung agenda inklusivitas dan toleransi (Pulungan, 2022).

Menjaga Keberlanjutan atau Menerima Tranformasi Perubahan?
Lazim kita ketahui bahwa semua aspek di dunia ini selalu berhubungan dengan unsur politik, mulai dari aspek keagamaan hingga aspek pendidikan (Firdaus, 2015). Menanggapi hal tersebut, NU mempertimbangkan eksistensi organisasinya dengan turut masuk dalam perpolitikan Indonesia sebagai wadah aspirasi politik anggotanya. Akan tetapi keterlibatan NU dalam dunia politik menimbulkan berbagai pro-kontra di tengah masyarakat. Sebagian dari mereka menilai bahwa keterlibatan NU terlalu kompleks dan mengancam nilai-nilai khittah organisasi (Hasanuddin dkk, 2024). Kritik masyarakat baru-baru ini mulai mengemuka bersamaan dengan isu persoalan pemerintahan yang juga menguat. Banyak masyarakat yang mulai bersuara atas kondisi pemerintahan yang morat-marit mulai dari isu pemilu hingga kebijakan.

NU yang kerap kali mendeklarasikan paslon dalam kontestasi pemilu menjadi awal mula kritik tersebut. Selain itu, kasus Menteri Agama periode 2020-2024 dan Ketua Umum PKB periode 2024-2029 yang keduanya juga berasal dari kader NU, kemudian berbuntut panjang hingga melibatkan Ketua Umum PBNU periode 2021-2026 (Nufus, 2024). Peristiwa ini tentu disorot dan membuka gerbang kritik masyarakat luas. Dengan berbagai tantangan yang ada, NU tetap harus berdiri kokoh mempertahankan nilai-nilai idealismenya dan terus mengimbangi progresivitas dunia yang tiada henti, sedangkan implementasinya tentu bukan hal yang mudah, aspirasi demi aspirasi harus mereka dengar dan temukan titik tengahnya.

Ketika NU tetap memilih menjadi organisasi dengan benteng idealis yang kuat, maka harus diterima pula konsekuensinya yakni tenggelam dalam arus perkembangan zaman. Akan tetapi, NU agaknya terlalu berlebihan dalam berpolitik, terkadang NU terlihat membentur batas-batas etika aturan dari organisasi, persoalan rangkap jabatan misalnya yang cenderung tidak diindahkan oleh kadernya yang tengah santai menduduki kursi kekuasaan. Diakui atau tidak, NU telah masuk dalam jalinan politik praktis, para “kiai” justru menjadi juru kampanye paslon dengan partai tertentu yang pada akhirhirnya warga NU hanya dijadikan sebagai batu loncatan semata. Terlebih kebiasaan masyarakat yang kerap menelan mentah berita yang beredar tanpa mencari tahu fakta  sebenarnya. Penggiringan opini baik di media sosial TikTok maupun Instagram bahkan Youtube sekalipun memaksa masyarakat untuk mengonsumsi berita tanpa mengerti titik persoalan.

Navigasi Persimpangan
Hemat penulis, solusinya adalah dengan mengetengahkan persoalan. Artinya, NU harus menjaga netralitas dalam politik praktis. NU juga harus memperkuat entitas sebagai organisasi pengayom sosial-keagamaan yang independen yang berfokus pada persoalan pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. NU tetap memiliki kesempatan untuk aktif dalam dunia politik karena akses pendidikan, dakwah, sosial-keagmaan pun berkaitan dengan politik selama tetap menjaga batasan-batasan yang ada dan mengedepankan marwah organisasi serta nilai-nilai kebangsaan. Langkah konkret yang bisa dilakukan adalah dengan menerapkan regulasi internal yang mengatur bagaimana NU bergerak dalam perpolitikan di Indonesia.

Implementasinya yakni dengan membedakan secara tegas peran politik individu kader NU dan posisi organisasi, misalnya dengan membentuk badan otonom yang khusus mengakomodasi
aspirasi politik tanpa menyeret NU secara kelembagaan. Badan otonom khusus politik tersebut tentu bukan hal yang mudah untuk diwujudkan mengingat membentuk suatu badan otonom khusus yang secara langsung tidak menyeret nama NU tentu sebuah hal yang sangat sulit dan atau bahkan mungkin mustahil diwujudkan. Cita tersebut bisa diwujudkan dengan bertahap,  misalnya mulai dari forum kecil seperti diskusi nilai-nilai kebangsaan yang terstruktur dan menyeluruh dari ranting hingga pusat, kemudian dilanjutkan dengan diskusi isu politik yang tengah  terjadi dengan dalil referensi yang memadai agar terhindar dari berita hoax. Seterusnya hingga badan tersebut memiliki regulasi internal sendiri dan menampung aspirasi masyarakat yang  kemudian aspirasi tersebut diteruskan kepada kader NU yang memiliki wewenang. Sehingga implementasinya tersebut “fresh” dari aspirasi masyarakat. Aspirasi tersebut tentu telah  dipertimbangkan dengan literasi politik sebagai langklah awal.

Penguatan pendidikan politik penting bagi warga NU agar mereka dapat berpartisipasi aktif dan cerdas dalam pemilu, tidak hanya dimanfaatkan sebagai alat. Masyarakat NU perlu meningkatkan kesadaran politik agar tidak hanya menjadi objek dalam pemilu. Literasi politik yang berlandaskan nilai Islam dan kebangsaan dapat membantu warga NU untuk lebih kritis dalam menentukan pilihan politik. Dengan kesadaran ini, mereka tidak akan mudah dimanfaatkan untuk kepentingan sesaat, tetapi menjadi pemilih yang rasional dan mempertimbangkan kepentingan umat dan bangsa. Dengan demikian, NU dapat terhindar dari politik praktis, sementara warganya dapat berperan aktif dalam demokrasi dengan lebih bijaksana.

Penguatan pendidikan politik dapat diwujudkan dengan sinergitas antara ulama, akademisi, serta organisasi masyarakat. Langkah nyata yang dapat dilakukan antara lain melalui kajian keislaman yang tidak hanya membahas kajian-kajian klasik seperti kewajiban shalat, zakat, puasa, dan lain sebagainya. Akan tetapi, dapat disentuh dengan warna wawasan kebangsaan. Selain itu, pemanfaatan media digital khusus yang membahas isu politik di Indonesia juga menjadi strategi penting dalam menyebarkan informasi politik edukatif yang
menjauhi narasi subjektif. Adanya platform media sosial ini sebagai langkah lanjutan dari forum diskusi politik yang sebelumnya telah dilakukan, sehingga media yang disajikan dapat diakses dikalangan masyarakat luas.

Pada Akhirnya, NU tidak sepenuhnya condong pada tradisionalisme maupun progresivisme dalam politik, tetapi menyeimbangkan keduanya. Sebagai organisasi yang berlandaskan tradisi keislaman dan kebangsaan, NU mengambil posisi moderat dengan mengakomodasi nilai-nilai moral tradisional yang masih relevan, sambil tetap terbuka terhadap perubahan zaman. Pendekatan ini memungkinkan NU untuk terus menjadi kekuatan moral yang menjaga tradisi, tanpa mengabaikan pembaruan demi kemaslahatan umat dan bangsa. Dengan keseimbangan ini, NU dapat memainkan peran strategis dalam menjaga harmoni sosial dan merespons tantangan politik dengan tepat dengan beberapa tahapan, seperti forum diskusi, literasi politik media sosial, dan lain sebagainya.

Oleh: Lainuvar (UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan)

Leave A Reply

Your email address will not be published.