Sedjarah Pesantren

0

Oleh KH Abubakar Atjeh (1958)

Tulisan ini kami kutip dari buku ‘K. H. A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar’. Ditulis H. Aboebakar Atjeh yang memiliki jabatan Kepala Bagian D Kemnterian Agama RI berdasar keputusan Manteri Agama tertanggal 22 Maret 1954 No. 4/1950.

Sudah diceriterakan bahwa wali-wali ini pada hari-hari pertama dalam menyiarkan agamanya tidaklah merupakan pidato atau ceramah didepan umum seperti yang berlaku dengan penyiaran agama sekarang ini, tetapi dalam kumpulan-kumpulan yang sangat terbatas, bahkan kebanyakannya sacara rahasia, dibawah empat mata, yang kemudian diteruskan dari mulut ke mulut, di mana pengikutnya kemudian telah bertambah banyak, maka terjadilah tabligh-tabligh itu diadakan didalam rumah-rumah perguruan, yang biasa dinamakan madrasah atau pondok.

Pendidikan atau cara memberi pengajaran semacam ini pada waktu itu tidak asing lagi, karena dalam masa itu disana sini sudah terdapat juga mandala-mandala Hindu-Jawa, dengan lanjutannya yang kemudian dinamakan pesantren, yaitu tempat santri-santri atau mahasiswa dalam pengajaran agama berkumpul.

Syekh Maulana Malik Ibrahim terkenal dengan sebutan Syekh Maghribi, berasal dari Gudjarat, India, dianggap sebagai pencipta pondok pesantren yang pertama. Ia mengeluarkan muballigh-muballigh Islam yang mengembangkan agama suci itu ke seluruh Jawa.

Begitu juga sudah diceriterakan bahwa janganlah orang menggambar dalam pikiran perguruan yang didirikan oleh wali-wali itu adalah perguruan-perguruan yang maderen, perguruan yang sudah mempunyai daftar pengajaran, pembahagian kelas, pemeriksaan dan ujian. Sama sekali tidak demikian.

 

Biasanya murid-murid itu tinggal di rumah guru yang sangat dihormatinya dan dengan demikian sedikit demi sedikit dialirkanlah ke dalam hatinya rahasia-rahasia pelajarannya itu. Lalu terdjadilah antara guru dengan murid suatu ikatan hidup yang kokoh. Menjadi suatu kehormatan bagi seseorang murid mengikuti pelajaran-pelajaran rahasia dari gurunya itu sampai ia mendapat ijazah dan menjadi kepercayaan daripada guru yang dianggap arif bijaksana itu.

Demikian besar penghormatan yang diberikan orang kepada guru itu sehingga mereka dianggap orang yang luar biasa. Keadaan yang luar biasa itu diperoleh karena melatih diri dalam pelajaran-pelajaran rahasia itu, karena disebabkan ibadat siang dan malam, karena bertapa, untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan menjadi ‘kekasih’nya, sehingga apa yang dikehendakinya tercapai.

Oleh karena kekuasaan dan pengaruhnya itu demikian besarnya dalam kalangan rakyat, tidak kurang dari pengaruh raja-raja yang hidup pada masa itu, maka kita lihat penghargaan umum itu terdapat juga dalam namanya gelaran sunan, yang sebenarnya hanya dipakai oleh raja-raja saja.

Demikianlah sejarah pesantren dalam masa yang lampau, yang kemudian dari tahun ketahun membawa perubahan menurut kehendak zaman, tetapi tidak berubah tujuannya dari pada suatu tempat menjiarkan agama Islam dan membentuk guru-guru yang akan usaha dalam kalangan umat, calon-calon guru yang dididik itu bemama santri dап oleh karena itu perkataan pesantren, yang terjadi dari perkataan santri.

Jadi pesantren artinja tempat berkumpul santri. Itu, tempat penginарап atau asrama dan tempat mereka menerima pelajaran-pelajaran yang bertali dengan agama Islam. Biasanya pesantren itu terjadi dari sekumpulan rumah yang terletak dikeliling sebuah mesjadi atau di dekatnja, Di Madura penyontren, di Pasundan pondok namanya. Keadaqn seperti ini terdapat juga di luar Jawa. Di Aceh dinamakan rangkang meunasah di Minangkabau surau namanya.

Pesantren itu biasanya terdapat ditengah-tengah sebuah kampung, dan perumahan atau pondok-pondoknya terjadi dari wakaf-wakat yang diberikan orang atau didirikan atas kemauan dan ongkos sendiri dari santri-santri jang datang belajar kesana. Memang sejak dahulu kampung-kampung yang mempunyai perguruan-perguruan agama ini mendapat perhatian dari pemerintah. Kampung yang semacam itu, yang аcар kali dinamakan desa putihan atau keputihan, — mungkin menurut pakaian-pakaian putih yang sering dipakai santri-santri itu — mendapat hak-hak istimewa dari raja-raja Jawa. Desa-desa jang seperti itu dibebaskan dari segala macam pajak, dimerdekakan dari segala macam beban aturan negara, dan oleh karena itu dinamakan desa perdikan.

Murid-murid atau santri itu bertempat tinggal dalam rumah-rumah itu, dalam bilik sendiri-sendiri atau berkumpul dalam suatu ruangan benar bersama-sama, Mereka beladjar hidup sendiri-sendiri. Makan sendiri, mencuci sendiri dan mengurus hal-hal yang lain sendiri. Bahan keperluan hidupnya seperti beras, ikan dan sebagainya dibawa dari kampung masing-masing.

Mengenai bentuk pesantren di Jawa pada umumnja, Dr. С. Snouck Hurgronje (1857-1936), salah seorang ahli politik dan ahli Islam bangsa Belanda jang terkenal, yang sudah banjak menjelidiki tentang hal ini, menceritakan bahwa pondok-pondok itu terjadi dari sebuah gedung yang berbentuk empat persegi, biasanya dibangunkan dari bambu-bambu, tetapi didesa-desa jang agak makmur tidak jarang dari bahan-bahan kayu jang baik dengan bangunan dari pada kayu dan bertangga yang diperbuat juga dari kayu. Tangga pondok ini dihubungkan ke sumur oleh sederet batu-batu-titian, sehingga santri-santri yang kebanyakannya tidak bersepatu itu dapat mencuci kakinya sebelum naik ke pondoknya masing-masing.

Pondok-pondok yang besar terjadi dari bilik atau kamar kecil-kecil yang sederhana hanya terjadi dari suatu ruangan besar yang didiami bersama. Mereka membawa perabotan yang dibawa dari kampungnya, misalnya sebuah kopor pakaian, selembar tikar dengan bantalnya, perabot dapur dan lain sebagainya.

Jika kita ambil sebagai contoh pondok yang agak sempurna biasanya, maka akan kita dapati di tengah-tengahnya sebuah gang yang dihubungkan oleh pintu-pintu. Disebelah kiri kanan gang itu terdapat kamar kecil-kecil dengan pintu-pintunya yang sempit, yang pada waktu memasuki kamar itu orang terpaksa harus membungkuk. Jendelanya kecil-kecil dan раkai terali.

Adapun akan perabot yang terdapat didalamnya sangat sederhana sekali. Di depan jendela kecil terdapat tikar pandan atau rotan dan sebuah meja pendek dari kayu atau bambu yang di atasnya terdapat beberapa kitab pelajaran agama yang dipergunakan sehari-hari dan alat-alat tulis yang terdiri dari dua tiga potong kalam yang disimpan dalam ruas bambu dan sebuah tempat tinta dari kuningan atau dari botol biasa.

Jika seorang murid hendak mengerjakan pekerjaan sekolahnya atau mengulang kajinya, maka іа duduk bersila di atas tikar itu menghadapi media yang terletak di depan jendela kecil itu. Kadang-kadang terdapat murid yang membaca atau sambil berbaring ditengah-tengah bilik itu. Juga seringkali terdapat sebuah atau dua buah rak buku yang ditempelkan pada dinding dengan kitab-kitab Arab yang berjilid afranji (berjilid bagus, red) bertulis air emas.

Murid-murid yang agak berada tentu saja mempunyai, disamping tempat ia bekerja itu, kasur dan bantal yang agak mewah, berkelambu atau tidak berkelambu, dengan -perhiasan tempat tidur. Yang miskin hanya mempunyai sepotong tikar pandan dengan sebuah bantal kepala, kadang-kadang sebuah bantal yang diperbuat dari pada sepotong kayu gabus atau kapuk. Juga selembar sejadah atau tikar sembahyang termasuk perabot yang selalu didalam pondok tempat tinggal itu.

Lebih jauh kita lihat didalam kamar itu bergantungan disana sini jemuran atau pakaian dari mahasiswa-mahasiswa pesantren. Itu yang biasanya terjadi dari kain sarung, baju jas atau baju dinas, kemeja, kutang, dan kopiah, dan didekat pintu beberapa pasang selop. Juga beberapa peti kecil yang berisi barang-barang makanan, yang kadang-kadang juga disimpan disalah satu perumahan dibelakang pondok, perumahan jang digunakan sebagai gudang dan dapur bersama, Begitu juga sebuah atau dua buah lampu jang akan menerangi ruangan tempat mereka tinggal dan belajar itu.

Sebuah kamar kadang-kadang diisi oleh 8 sampai 10 orang, sehingga acapkali kekurangan udara dan matahari dalam ruangan itu. Tatapi hal itu tidak membawa hal buruk bagi ksehatan mereka. Karena ketika mereka menghafal peladjarannya tidak tinggal didalam bilik yang sempit itu, tetapi didalam langgar atau mesjid yang terdapat ditengah-tengah pekarangannya. Begitu juga langgar mesdjid pesantren itu acapkali dipergunakan sebagai tempat tidur atau tempat berangin-angin.

Hampir pada tiap pondok terdapat seorang santri yang diketuakan, yang seakan-akan bertanggung jawab tentang keamanan dan ketertiban umum dalam pondok itu. Biasanya santri itu terjadi dari seorang yang telah lama tinggal dalam pondok itu dan telah mendapat kepercayaan, terutama menerima tugas-tugas dari pada gurunya. Biasanya ia mendapat kamar sendiri yang di dalamnya kelihatan lebih bersih dan teratur.

Ditengah-tengah gang atau disebelah menyebelah pintu masuk dan keluar biasanya terdapat peraturan-peraturan mengenai keamanan dan ketertiban umum, yang ditulis dan ditempelkan guna kemaslahatan santri. Pengumuman itu tertulis dengan huruf Arab dalam Bahasa Arab.

Meskipun demikian umumnya susunan perumahan dan pondok-pondok itu bergantung sekali kepada kegiatan dan kebijaksanaan guru-gurunya. Selain dari langgar dan masjid, yang biasanya terdapat di tengah-tengah pemondokan itu atau disampingnya, terutama di Sumatera, acapkali terdapat sebuah ruangan besar untuk keperluan bersama, digunakan sebagai tempat mengulang pengajian, tempat pertemuan murid-murid atau aula tempat mendengarkan ceramah.

Di Jawa acapkali tempat ini dinamakan ambèn, di Sumatera Tengah balai, di Aceh balai. Pengawasan mengenal segala-galanya ini biasanya di Jawa terletak dalam tangan santri yang oleh pesantren diangkat mendjadi lurah pondok.

Disamping lurah pondok ini kita dapati di pesantren samacam jabatan juga, yaitu lurah pawon namanya, jang tugas dan lapang pekerjaannya mengenai keamanan jang bersangkut paut dengan dapur. Sebagai yang sudah diceritakan, dibelakang pondok-pondok tempat tinggal itu, biasanya terdapat pondok-pondok kecil dari pada bambu yang dipergunakan sebagai dapur, tempat murid-murid itu menanak nasi dan menyediakan lauk-pauknya.

Di dalam dapur ini terdapat sebuah atau beberapa buah tungku yang terjadi dari tiga buah batu, dan diatasnya terletak periuk nasi, kendil, dan belanga tempat memasak lauk-pauk, nampan, cawan pinggan, tempayan dengan gentongnya dan alat-alat keperluan masak yang lain. Dalam dapur-dapur yang agak mewah kita lihat disana sini bergantung ikan asin, daging atau gemuk kering, dan diatas rak-rak pada dinding dapur itu kadang-kadang botol-botol atau kaleng-kaleng jang berisi bumbu-bumbu dapur. (*)

Leave A Reply

Your email address will not be published.