قال السِّرِّيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: صَلَّيْتُ العِشَاءَ، وَاشْتَغَلْتُ بِوِرْدِي لَيْلَةً مِنَ اللَّيَالِي، وَمَدَّدْتُ رِجْلَيَّ فِي المِحْرَابِ، فَنُودِيتُ: يَا سِرِّي هَكَذَا تُجَالِسُ المُلُوْكَ؟ فَضَمَمْتُ رِجْلَيَّ. فَقُلْتُ: وَعِزَّتِكَ وَجَلَالِكَ لَا مَدَدْتُ رِجْلَيَّ أَبَدًا.
Suatu ketika al-Sirri al-Saqathi, salah seorang tokoh sufi terkenal yang hidup pada abad ke-3 Hijriyah, sekaligus guru dan paman Imam Junaid al-Baghdadi berkata:
“Pada suatu malam, saya melaksanakan shalat Isya, lalu dilanjut dengan menyibukkan diri dengan wirid. Karena agak pegal, saya menyelonjorkan kedua kakiku di dalam mihrab. Tak lama kemudian, ada panggilan yang cukup lirih: Wahai Sirri, seperti inikah ketika engkau duduk bersama sang Raja? Setelah itu saya segera menarik kembali kedua kakiku, seraya berkata: Demi keagungan dan kebesaran-Mu, saya tidak akan pernah lagi menyelonjorkan kedua kakiku selamanya”.
Sebenarnya kondisi yang dialami oleh al-Sirri al-Saqathi di atas merupakan hal lumrah yang siapapun pasti mengalaminya. Kondisi tubuh yang letih karena aktivitas seharian terkadang mempengaruhi aktivitas ibadah seseorang, sehingga ada kalanya berselonjor atau meluruskan kaki setelah melakukan shalat, entah disengaja atau tidak sering dilakukan oleh seseorang.
Namun dalam konteks tasawuf, berselonjor setelah melakukan ibadah, apalagi saat berdzikir kepada Allah s.w.t. merupakan nir-etika yang tidak pantas dilakukan seorang hamba, lebih-lebih waktu menghadap-Nya.
Di sini kita melihat dengan cukup jelas bahwa etika dan adab dalam beribadah merupakan bagian penting yang harus dilakukan oleh setiap muslim, terutama mereka yang menjalankan laku tasawuf. Karena dalam pandangan tasawuf, aktivitas ibadah tidak hanya dipandang sebagai rutinitas formal yang terikat oleh syarat dan rukun.
Lebih dari itu, ibadah merupakan perjumpaan sakral antara seorang hamba dengan Allah s.w.t.. Maka, menafikan etika waktu berjumpa dengan-Nya, sama halnya meniadakan aspek transenden sebagai value utama ibadah tersebut.
Di sini al-Sirri al-Saqathi mengajarkan bahwa rasa letih yang menggerogoti seseorang merupakan sifat manusia. Tetapi akhlak kepada Allah s.w.t. selaku Tuhan yang maha segalanya, tetap mendapatkan priotitas utama, terlebih saat beribadah kepada-Nya. Pengalaman al-Sirri al-Saqathi di atas ternyata diamini oleh keponakannya sendiri, yakni Imam Junaid al-Baghdadi, ia berkata:
قَالَ الجُنَيْدُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: فَبَقِيَ سِتِّينَ سَنَةً مَا مَدَّ رِجْلَيْهِ لَيْلًا وَلَا نَهَارًا
Al-Junaid r.a. berkata: al-Sirri al-Saqaṭhi selama enam puluh tahun, tidak pernah meluruskan kedua kakinya baik pada malam hari maupun siang hari.
Dari pengakuan Imam al-Junaid di atas kita memahami betapa kuatnya komitmen seseorang yang menjalankan laku tasawuf dalam menjaga etika ibadah. Al-Sirri al-Saqaṭhi telah mengajarkan kepada kita bahwa etika dalam ruang lingkup ibadah bukan hanya dijadikan sebagai aturan sesaat. Lebih jauh al-Saqathi menjadikan etika tersebut sebagai prinsip hidup yang dipraktikkan dalam jangka waktu yang cukup panjang sehingga membentuk identitas spiritualnya. Masing-masing kita mungkin akan bersepakat bahwa enam puluh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Sebab, enam puluh tahun merupakan rentang waktu yang cukup panjang untuk menandai kesungguhan, ketekunan, dan kesabaran seorang dalam menjalankan laku spiritual.
Bagi seseorang yang sudah mencapai maqam seperti al-Sirri al-Saqathi di atas, angka enam puluh tahun tidak hanya sekedar menunjukkan hitungan matematis yang mudah dihitung menggunakan kalkulator. Lebih dari itu, aktivitas yang dilakukan oleh al-Sirri al-Saqathi tersebut menyiratkan sebuah simbol yang melambangkan sikap istiqamah dalam menjaga etika di kala menghadap Allah s.w.t..
Bagi pelaku lampah tasawuf, istiqamah diposisikan di tempat yang sangat tinggi, malah melebihi maqam karamah. Hal ini bisa diartikan bahwa kemampuan para wali Allah dalam menjaga adab dan etika secara kontinyu, merupakan anugerah spiritual yang agung, jauh lebih tinggi dari pada kemampuan mereka dalam menampilkan keajaiban luar biasa.
Sikap istiqamah sebagaimana digambarkan di atas rupanya telah mendarah daging di kalangan para sufi. Ada kisah menarik yang dituturkan oleh al-Qusyairi sebagaimana termaktub dalam ibarat berikut ini:
وَقَالَ أَبُو القَاسِمِ القُشَيْرِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: كَانَ الأُسْتَاذُ أَبُو عَلِيٍّ الدَّقَّاقُ لَا يَسْتَنِدُ إِلَى شَيْءٍ، فَكَانَ يَوْمًا فِي مَجْمَعٍ. فَأَرَدْتُ أَنْ أَضَعَ وِسَادَةً خَلْفَ ظَهْرِهِ، لِأَنِّي رَأَيْتُهُ غَيْرَ مُسْتَنِدٍ، فَتَنَحَّى عَنِ الوِسَادَةِ قَلِيلًا. فَتَوَهَّمْتُ أَنَّهُ تَوَقَّى الوِسَادَةَ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا خِرْقَةٌ وَلَا سَجَّادَةٌ. فَقَالَ: لَا أُرِيدُ الاِسْتِنَادَ. فَتَأَمَّلْتُ بَعْدَ ذَلِكَ، فَعَلِمْتُ أَنَّهُ لَا يَسْتَنِدُ إِلَى شَيْءٍ أَبَدًا.
Abu al-Qasim al-Qusyairi r.a. berkata: “Guru kami, Abu Ali al-Daqaq, tidak pernah bersandar pada sesuatu. Suatu hari beliau berada di sebuah majelis. Saya ingin meletakkan bantal di belakang punggungnya, karena saya melihat beliau tidak bersandar. Namun tatkala bantal itu dibentangkan di punggungnya, beliau sedikit menjauh dari bantal itu. saya mengira bahwa beliau menghindari bantal tersebut karena tidak ada kain atau sajadah yang menutupinya. Lalu beliau berkata: Saya memang tidak ingin bersandar. Setelah itu saya merenung, dan mengetahui bahwa beliau memang tidak pernah bersandar pada sesuatu apa pun”.
Apabila dipahami secara integral, kisah yang dituturkan al-Qusyairi mengenai sikap istiqamah gurunya di atas hendak memberikan penegaskan bahwa bersandar kepada selain Allah akan mengantarkan seseorang kepada sikap lalai. Lalai di sini maksudnya adalah punya ketergantungan terhadap sesuatu selain Allah, seperti kenikmatan duniawi yang berlebih dan yang sejenis.
Karena itu, apabila mengacu pada salah satu prinsip tasawuf yang selalu menempatkan Allah serta merasakan kehadiran-Nya di setiap waktu, mustahil rasanya apabila seorang sufi terbesit dalam hatinya untuk menggantungkan sesuatu selain kepada-Nya. Mengingat, seorang sufi pada satu sisi, dituntut untuk selalu menggantungkan diri pada Allah, baik secara fisik maupun batin. Apa yang dilakukan oleh Ali al-Daqqaq dalam kisah di atas menggambarkan bahwa sandaran utama dan yang paling utama, hanyalah Allah s.w.t. semata.
Etika lain yang tidak kalah penting dalam konteks interaksi dengan sesama manusia adalah tidak mengumbar aib, meskipun itu diucapkan secara tersirat dalam hati. Ada cerita menarik yang dituturkan oleh al-Junaid al-Baghdadi sebagaimana tertuang dalam ibarat berikut ini:
وَقَالَ أَبُو القَاسِمِ الجُنَيْدُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: كُنْتُ جَالِسًا فِي مَسْجِدِ الشُّونِيزِيَّةِ أَنْتَظِرُ جَنَازَةً أُصَلِّي عَلَيْهَا، وَأَهْلُ بَغْدَادَ عَلَى طَبَقَاتِهِمْ جُلُوسٌ يَنْتَظِرُونَ الجَنَازَةَ. فَرَأَيْتُ فَقِيرًا، عَلَيْهِ أَثَرُ النُّسْكِ، يَسْأَلُ النَّاسَ، فَقُلْتُ فِي نَفْسِي: لَوْ عَمِلَ هَذَا عَمَلًا يَصُونُ بِهِ نَفْسَهُ، كَانَ أَجْمَلَ بِهِ. فَلَمَّا انْصَرَفْتُ إِلَى مَنْزِلِي، وَكَانَ لِي شَيْءٌ مِنَ الوِرْدِ بِاللَّيْلِ مِنَ البُكَاءِ وَالصَّلَاةِ وَغَيْرِ ذَلِكَ، ثَقُلَ عَلَيَّ جَمِيعُ أَوْرَادِي، فَسَهِرْتُ وَأَنَا قَاعِدٌ. فَغَلَبَتْنِي عَيْنِي، فَرَأَيْتُ ذَلِكَ الفَقِيرَ جَاؤُوا بِهِ عَلَى خُوَانٍ مَمْدُودٍ، وَقَالُوا لِي: كُلْ لَحْمَهُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ. وَكُشِفَ لِي عَنِ الحَالِ، فَقُلْتُ: مَا اغْتَبْتُهُ، وَإِنَّمَا قُلْتُ فِي نَفْسِي شَيْئًا. فَقِيلَ لِي: مَا أَنْتَ مِمَّنْ يُرْضَى مِنْكَ بِمِثْلِهِ، اذْهَبْ وَاسْتَحِلَّهُ.
Abu al-Qasim al-Junaid r.a. berkata: Suatu ketika saya sedang duduk di Masjid al-Syuniziyyah menunggu jenazah untuk hendak saya shalatkan. Sementara penduduk Baghdad dengan berbagai lapisan tengah menunggu datangnya jenazah, saya melihat seorang fakir yang pada dirinya tampak tanda-tanda kesalehan, namun mengemis kepada orang-orang.
Saya berkata dalam hati: “Seandainya orang ini bekerja dengan pekerjaan yang dapat menjaga dirinya, tentu itu lebih baik baginya. Kemudian saya aku pulang ke rumah untuk melakukan wirid malam berupa tangis, shalat, dan amalan lainnya. Akan tetapi, itu semuanya tiba-tiba semua terasa berat bagiku.
Maka saya begadang dalam keadaan duduk, hingga kantuk menguasai mataku. Dalam tidurku, aku melihat orang fakir tersebut dibawa ke hadapanku di atas sebuah hidangan besar, lalu dikatakan kepadaku: “Makanlah dagingnya, karena engkau telah mengghibahnya”.
Maka tersingkaplah kepadaku hakikat keadaan itu seraya berkata: “Saya tidak mengghibahnya, saya hanya mengatakan sesuatu dalam hati”. Lalu dikatakan kepadaku: “Engkau bukan termasuk orang yang pantas dimaafkan dengan hal semacam itu. Pergilah dan mintalah maaf darinya”.
Dari kisah yang dituturkan oleh Imam Junaid al-Baghdadi ini dapat dipahami bahwa adab dan etika dalam kaitannya dengan interaksi sosial tidak hanya dalam dalam spektrum lahiriah semata. Meskipun dalam fikih, ghibah diartikan sebagai aktivitas membicarakan keburukan orang lain secara verbal, namun, di dalam domain tasawuf, aktivitas ghibah jangkauan maknanya lebih luas.
Artinya, memunculkan pikiran buruk tentang orang lain di dalam hati sudah dianggap melanggar kehormatan, sehingga perlu bertobat dan meminta maaf kepada yang bersangkutan. Wallahu A’lam.
(Pengajian Syarah Hikam Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar pertemuan ke-92 live di Channel Youtub multimedia kiaimiftach).