Ketika Hoaks Menyusup ke Serambi Masjid

0

Fajar menyingsing di langit desa Karangjati, menyinari pucuk-pucuk pohon kelapa yang bergoyang diterpa angin pagi.

Suara azan subuh menggema dari menara Masjid Al-Ikhlas, merambat ke setiap sudut kampung, membangunkan warga dari lelap tidur mereka. Di serambi masjid, seorang pemuda dengan sorban lusuh duduk termenung, matanya menatap lantai yang dingin. Dialah Salman, seorang santri yang baru saja pulang dari pesantren setelah enam tahun merantau menimba ilmu.

Salman bukan sekadar pulang untuk beristirahat. Ia membawa harapan besar untuk desanya: membangun kembali semangat kebersamaan yang dulu menjadi ciri khas Karangjati. Namun, sejak ia kembali, ada sesuatu yang terasa berbeda. Orang-orang tampak lebih mudah berselisih, bahkan dalam hal-hal kecil seperti jadwal pengajian atau pembagian hasil panen masjid. Desas-desus beredar liar, seakan semua orang punya cerita, namun tak seorang pun yang benar-benar tahu kebenarannya.

Di antara desas-desus itu, yang paling mencolok adalah berita tentang Pak Kyai Ma’shum, pengasuh masjid dan guru agama yang sudah puluhan tahun membimbing warga. Beberapa warga mulai berbisik bahwa sang kyai menyalahgunakan dana kas masjid untuk kepentingan pribadi. Berita itu menyebar cepat, seperti api yang menjilat dedaunan kering.

Salman terkejut mendengar kabar itu. Ia mengenal betul kepribadian Kyai Ma’shum. Lelaki sepuh itu adalah sosok yang sederhana dan tegas dalam memegang amanah. Tapi, desas- desus yang terus berkembang mulai membuat sebagian warga meragukan sang kyai.

Suatu malam setelah isya, Salman duduk di beranda rumah bersama Hassan, sahabat lamanya yang kini menjadi ketua pemuda masjid.

“Sal, aku nggak tahu lagi harus gimana. Berita itu sudah telanjur menyebar. Bahkan tadi sore ada yang usul supaya kita adakan rapat besar dan menyingkirkan Pak Kyai dari pengurus masjid,” keluh Hassan sambil menghela napas berat.

Salman menatap langit yang dipenuhi bintang, mencoba menenangkan pikirannya. “Hassan, kau tahu siapa yang pertama kali membawa kabar itu?”

Hassan menggeleng.

“Entahlah. Katanya dari grup WhatsApp warga. Ada yang mengirim foto lembar laporan keuangan masjid dengan angka-angka yang mencurigakan. Banyak yang langsung percaya, apalagi karena fotonya terlihat seperti asli.”

Salman terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Hassan, kau tahu apa yang dikatakan guru kita dulu di pesantren? Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Hoaks seperti ini bisa merusak bukan hanya nama baik seseorang, tapi juga persaudaraan seluruh kampung.”

Hassan menunduk.

 

“Aku tahu, Sal. Tapi bagaimana kita membuktikan mana yang benar?” Salman tersenyum tipis.

“Dengan ilmu dan kesabaran. Aku akan mencari tahu siapa yang membuat berita itu. Kita tak bisa membiarkan kebohongan berkuasa di rumah Allah.”

Keesokan harinya, Salman mendatangi masjid lebih awal dari biasanya. Ia melihat beberapa orang sedang berbisik-bisik di serambi masjid sambil menunjukkan layar ponsel mereka. Ketika Salman mendekat, mereka buru-buru menyembunyikan ponsel itu dan berlagak sibuk.

“Assalamu’alaikum,” sapa Salman ramah.

“Wa’alaikumussalam,” jawab mereka singkat, tampak canggung. Salman tersenyum, lalu duduk di tangga serambi.

“Saudara-saudaraku, bolehkah aku melihat pesan yang sedang kalian bicarakan tadi?”

 

Mereka saling pandang. Akhirnya, salah seorang dari mereka, Pak Karmin, menyerahkan ponselnya. Di layar ponsel itu, Salman melihat foto yang disebutkan Hassan semalam. Ternyata benar, ada foto laporan keuangan masjid dengan tanda tangan yang mirip tanda tangan Kyai Ma’shum. Di bawah foto itu, tertulis kalimat provokatif:

“Bukti nyata penyalahgunaan dana masjid oleh Kyai Ma’shum. Warga Karangjati harus bertindak!”

Salman memeriksa foto itu dengan seksama. Ada sesuatu yang janggal. Angka-angka pada laporan terlihat tidak sejajar, seperti ditempelkan secara digital. Selain itu, tanda tangan Kyai Ma’shum tampak sedikit berbeda dari biasanya.

“Pak Karmin,” kata Salman pelan, “apakah ini foto asli?” Pak Karmin mengangkat bahu.

“Entahlah, Salman. Aku dapat dari grup WhatsApp warga. Katanya dari orang yang tinggal di kota.”

Salman mengangguk. “Boleh saya minta salinannya?”

Pak Karmin menyerahkan ponselnya dengan ragu. Salman kemudian memindahkan file itu ke ponselnya sendiri. Dalam hati, ia bertekad mencari tahu siapa dalang di balik semua ini.

Hari demi hari, ketegangan di kampung semakin meningkat. Wajah-wajah yang dulu selalu ramah dan penuh senyum kini berubah menjadi penuh kecurigaan. Beberapa warga mulai enggan salat berjamaah di masjid, memilih untuk beribadah di rumah karena merasa tidak nyaman.

Sementara sebagian lain justru terang-terangan memojokkan Kyai Ma’shum. Suara bisik-bisik fitnah terdengar bahkan di pelataran masjid yang seharusnya menjadi tempat suci dari segala prasangka.

Ada yang sengaja berjalan cepat melewati rumah Kyai Ma’shum tanpa menoleh, ada pula yang berani berbicara keras di warung kopi, seakan yakin benar dengan tuduhan yang mereka sampaikan.

“Bayangkan saja,” kata seorang warga di warung itu,

“uang kas masjid yang seharusnya untuk memperbaiki atap bocor, malah entah kemana perginya! Kita semua sudah lihat buktinya di grup WhatsApp.”

Beberapa warga lain mengangguk-angguk, meski sebagian di antaranya sebenarnya belum benar-benar melihat atau memeriksa kebenaran foto yang beredar. Mereka hanya ikut arus, seperti daun kering yang hanyut dalam aliran air.

Di tengah situasi yang memanas itu, Salman memilih untuk tetap tenang. Ia tidak ingin terjebak dalam arus emosi yang membutakan mata hati. Setiap malam, ia memohon petunjuk dalam doa panjang selepas salat tahajud. Dalam sujudnya, ia berbisik lirih,

“Ya Allah, tunjukkanlah kebenaran sebagai kebenaran dan beri aku kekuatan untuk mengikutinya. Tunjukkanlah kebatilan sebagai kebatilan dan beri aku kekuatan untuk menjauhinya.”

Ia juga terus mengingat pelajaran yang ia dapatkan dari pesantren:

 

“Kebenaran tidak selalu datang dengan suara paling keras, tapi dengan hujjah yang paling kuat.”

Kalimat itu menjadi pegangan hatinya di tengah badai fitnah yang mendera desanya.

Dengan tekad yang bulat, Salman pergi ke kota untuk menemui seorang temannya, Saif, yang bekerja di sebuah percetakan dan memiliki keahlian di bidang desain digital. Perjalanan ke kota ia tempuh dengan naik bus tua yang penuh sesak. Sepanjang perjalanan, pikirannya terus bergulat antara rasa cemas dan harapan. Cemas jika bukti yang ia temukan benar-benar merusak nama baik Kyai Ma’shum, dan harapan bahwa semua ini hanyalah kebohongan yang bisa segera diluruskan.

Sesampainya di percetakan, Salman langsung disambut hangat oleh Saif. Mereka berdua segera duduk di depan komputer dengan layar besar. Salman menyerahkan file foto yang ia dapatkan dari warga.

“Saif, tolong periksa foto ini. Aku yakin ada sesuatu yang tidak beres,” ujar Salman.

Saif mengangguk dan mulai bekerja dengan teliti. Ia memperbesar gambar, memeriksa setiap detail, garis, dan tekstur. Suasana ruangan menjadi hening, hanya terdengar suara klik mouse dan dengung kipas komputer. Beberapa menit terasa seperti berjam-jam bagi Salman yang duduk menunggu dengan gelisah.

Akhirnya, Saif memutar kursinya dan menatap Salman dengan serius. “Sal, ini jelas-jelas hoaks,” katanya sambil menunjukkan layar komputer.

Di layar, terlihat bukti-bukti yang tak terbantahkan. Angka-angka pada laporan itu ternyata ditempelkan dari dokumen lain. Letaknya sedikit miring dan tidak sejajar dengan garis tabel, tanda jelas bahwa itu hasil editan. Tanda tangan Kyai Ma’shum juga berbeda tipis namun mencolok bagi mata yang terlatih.

“Lihat ini,” Saif menunjuk pada bagian tertentu, “bagian tanda tangan ini menggunakan teknik copy-paste. Polanya persis dengan tanda tangan yang ada di dokumen lama yang pernah ku cetak untuk masjidmu beberapa tahun lalu.”

Salman menarik napas panjang. Perasaan lega bercampur sedih memenuhi dadanya. “Lega karena kebenaran mulai terkuak,” gumamnya lirih, “tapi sedih… karena ada pihak yang tega melakukan hal seperti ini demi memecah belah umat.”

Ia menggenggam tangan Saif erat-erat.

“Terima kasih banyak, Saif. Aku akan gunakan bukti ini sebaik mungkin,” ucap Salman penuh rasa syukur.

Saif menepuk bahu Salman. “Hati-hati, Sal. Orang yang membuat fitnah seperti ini biasanya tidak akan tinggal diam. Bawa bukti ini dengan bijak.”

Malam itu, Salman dan Hassan mengundang para tokoh masyarakat, pengurus masjid, dan beberapa warga ke serambi Masjid Al-Ikhlas. Mereka sengaja memilih serambi masjid, tempat yang selama ini menjadi saksi kebersamaan warga, agar suasana diskusi tetap dalam nuansa sakral. Lampu-lampu gantung dinyalakan, tikar digelar rapi, dan kursi kayu sederhana disusun melingkar.

Kyai Ma’shum juga hadir malam itu. Beliau duduk di kursi kayu dengan wajah yang tetap tenang meski jelas terlihat lelah. Guratan usia di wajahnya memancarkan kebijaksanaan, namun sorot matanya menunjukkan kepedihan yang dalam. Ia telah mendengar fitnah yang beredar, tapi memilih untuk tetap bersabar.

Suasana tegang terasa saat pertemuan dimulai. Bahkan suara jangkrik di luar masjid pun terdengar jelas. Beberapa warga langsung menyuarakan ketidakpuasan mereka begitu acara dibuka.

“Pak Kyai, kami tidak bisa diam melihat laporan seperti ini!”

teriak seorang warga sambil mengangkat ponselnya yang menampilkan foto laporan palsu itu. Suaranya bergetar, campuran antara marah dan kecewa.

Kyai        Ma’shum         menghela         napas         panjang         sebelum         menjawab. “Saudara-saudaraku,” ujarnya dengan suara lembut,

“aku sudah menjelaskan bahwa laporan ini palsu. Tapi jika kalian masih ragu, aku siap diaudit secara terbuka. Semua catatan keuangan masjid ini bisa kalian periksa.”

Namun, sebelum perdebatan semakin memanas, Salman berdiri. Dengan suara tenang namun penuh wibawa, ia berkata,

“Izinkan saya menjelaskan sesuatu.”

Ia lalu memproyeksikan foto laporan ke layar putih yang sudah disiapkan. Semua mata tertuju padanya. Salman menunjukkan bukti-bukti yang ia temukan, memperbesar bagian- bagian yang direkayasa, dan memperlihatkan hasil analisis digital dari Saif.

“Saudara-saudaraku,” lanjut Salman,

“inilah yang disebut hoaks. Ini bukan hanya fitnah kepada Pak Kyai, tapi juga fitnah kepada kita semua. Jika kita percaya pada kebohongan ini tanpa mencari kebenaran, berarti kita telah ikut serta merusak rumah Allah yang kita cintai.”

Ruangan mendadak hening. Beberapa warga saling pandang dengan rasa malu. Ada yang menundukkan kepala, ada pula yang menggenggam tasbih dengan tangan gemetar. Hassan kemudian maju ke depan. Dengan suara lantang, ia berkata,

“Dan kami juga menemukan siapa yang pertama kali menyebarkan foto ini. Ternyata berasal dari seseorang yang punya niat mengambil alih posisi pengurus masjid dengan cara licik.”

Semua mata serentak tertuju pada seorang lelaki yang duduk di pojok ruangan: Pak Sarman, seorang pedagang yang baru pindah ke desa beberapa tahun lalu. Wajahnya pucat pasi, tangannya gemetar seperti daun tertiup angin. Ia mencoba berbicara, namun suaranya tercekat di tenggorokan.

“Pak Sarman,” kata Kyai Ma’shum dengan suara lembut namun tegas, “mengapa kau melakukan ini?”

Pak Sarman akhirnya terisak. Air matanya jatuh, membasahi pipinya yang kurus.

 

“Saya… saya hanya ingin masjid ini dikelola dengan lebih baik,” ucapnya lirih.

“Tapi saya salah, Kyai. Saya khilaf. Saya terhasut oleh rasa iri dan nafsu ingin berkuasa.”

Air mata juga mengalir di pipi Kyai Ma’shum. Dengan langkah perlahan, beliau berdiri dan menghampiri Pak Sarman. Dalam keheningan yang penuh haru, Kyai Ma’shum memeluk lelaki itu erat-erat.

“Aku memaafkanmu, Nak. Tapi ingatlah,” suara Kyai Ma’shum bergetar,

 

“perpecahan yang ditimbulkan hoaks jauh lebih berbahaya daripada kesalahan dalam mengelola masjid. Semoga Allah mengampunimu dan kita semua.”

Tangis pecah di ruangan itu. Warga yang hadir pun tersentuh oleh ketulusan sang kyai. Malam itu menjadi titik balik bagi desa Karangjati, awal dari persaudaraan yang kembali dirajut dengan benang kebenaran.

Sejak malam itu, suasana di Karangjati mulai membaik. Warga kembali bersatu, dan pengajian di serambi masjid kembali ramai. Salman merasa bersyukur karena kebenaran akhirnya menang. Namun, ia juga sadar bahwa hoaks akan selalu mengintai, siap merusak kapan saja jika mereka lengah.

Suatu sore, saat duduk di serambi masjid, Hassan bertanya,

“Sal, bagaimana caranya kita mencegah hal seperti ini terulang?” Salman tersenyum.

“Dengan ilmu, Hassan. Kita harus terus belajar, mengajarkan literasi digital, dan memperkuat keimanan. Sebab hoaks tidak hanya menyerang pikiran, tapi juga hati. Jika hati kita bersih, insya Allah kita tidak akan mudah terpedaya.”

Hassan mengangguk penuh keyakinan. Di kejauhan, suara azan magrib berkumandang, mengingatkan mereka bahwa dalam setiap fitnah, selalu ada panggilan untuk kembali kepada Allah. Dan di serambi masjid itulah, Salman berjanji dalam hati untuk terus berjihad melawan kebohongan, bukan dengan pedang, tapi dengan pena dan kebenaran.

 

Profil Penulis

 

Penulis bernama lengkap Abdul Kholik, S.H.I.,M.H, Penulis lahir di Cirebon, 03 Maret 1983. Saat ini penulis menjadi Mahasiswa S3 Menempuh Program Studi S3 Doktor Hukum Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung Indonesia. Rumah penulis bertempat di Jalan raya susukan utara No 55 RT 19 RW 03 Dusun Panjunan, Desa Susukan, Kecamatan Susukan, Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat-Indonesia. No HP / Whatsap : 081313472919 / 081226107562 email : [email protected]

Leave A Reply

Your email address will not be published.