Di sebuah desa yang teduh, jauh dari riuh kota dan bising kendaraan, berdiri sebuah pesantren tua yang telah puluhan tahun menjadi tempat menimba ilmu agama.
Pesantren itu tampak sederhana, bahkan cenderung renta. Sebagian bangunannya terbuat dari kayu peninggalan masa lalu, dengan pintu yang berderit setiap kali dibuka.
Dinding-dindingnya dari semen mulai retak di beberapa sudut, catnya mengelupas karena hujan dan panas yang bergantian menerpa. Namun, di balik kesederhanaannya, pesantren itu memancarkan suasana teduh dan damai, seakan ada keberkahan yang mengalir di setiap sudutnya.
Halaman pesantren rindang oleh pohon mangga dan kelapa. Di bawah naungan pepohonan itu, para santri sering duduk melingkar selepas ngaji. Ada yang menghafal matan kitab dengan suara lirih, ada yang bercengkerama sambil menunggu waktu shalat, dan ada pula yang sekadar memejamkan mata, merasakan hembusan angin yang membawa aroma dedaunan basah bercampur bau khas kertas kitab kuning. Semua itu menciptakan atmosfer yang hanya bisa ditemukan di pesantren.
Di antara para santri yang tinggal di sana, datanglah seorang pemuda desa bernama Rasyid. Ia berasal dari keluarga petani miskin. Hari pertama ia tiba di pesantren, Rasyid hanya membawa tas plastik yang sudah sobek berisi beberapa potong pakaian lusuh, selembar sarung yang dijahit ulang oleh ibunya, dan sebuah kitab kuning warisan dari kakeknya yang dulu juga seorang santri di pesantren ini. Sandalnya pun tak berpasangan: yang kanan berwarna hijau, yang kiri biru, masing-masing berbeda merek.
Saat pertama kali melangkahkan kaki ke halaman pesantren, Rasyid merasa campur aduk antara haru dan cemas. Ia berdiri ragu di depan serambi pesantren, sebuah teras panjang dari kayu yang menjadi pusat interaksi santri. Dengan suara lirih, ia mengucap salam,
“Assalamu’alaikum…”
Seorang ustaz yang duduk di pojok serambi menoleh dan tersenyum hangat. “Wa’alaikumussalam…” jawabnya. Ustaz itu lalu bangkit dan mendekati Rasyid. “Santri baru, ya? Nama siapa?”
“Rasyid, Ustaz,” jawabnya pelan sambil menunduk.
“Bagus. Di sini jangan manja, ya. Siap ngaji, siap lapar, siap disuruh!”
Ucapannya terdengar seperti peringatan, namun nadanya penuh keakraban. Santri lain yang mendengar ikut tertawa. Rasyid tersenyum kikuk, wajahnya memerah. Dalam hati, ia berjanji akan bertahan sekuat tenaga. Apa pun yang terjadi, ia ingin membanggakan orang tuanya dan meneruskan jejak kakeknya.
Sejak hari itu, Rasyid resmi memulai babak baru dalam hidupnya sebagai santri. Hari- Hari Penuh Ujian, hari-hari pertama terasa berat. Rasyid harus bangun sebelum azan subuh untuk membangunkan teman-temannya. Jika terlambat sedikit saja, santri senior akan menyiram wajahnya dengan air dingin. Setelah subuh, ia mengaji sorogan pada Kyai, membaca kitab satu per satu sambil dituntun lafaz Arabnya.
Pagi hingga siang ia belajar fikih dan nahwu, lalu sore harinya membantu di dapur pesantren. Malam selepas isya, ia mengikuti halaqah tafsir dan hadits. Kadang rasa lelah membuatnya hampir menyerah. Namun setiap kali melihat Kyai dengan sabar membimbing para santri, semangatnya kembali tumbuh.
Di sela-sela kesibukan itu, Rasyid bersahabat dengan dua santri lain: Mujib yang humoris dan cerewet, serta Harun yang pendiam namun bijaksana. Mujib sering melontarkan kelakar tentang makanan pesantren yang ala kadarnya.
“Rasyid, lihat ini,”
kata Mujib suatu sore sambil mengangkat mangkuk berisi kuah lodeh dengan tiga potong nangka.
“Ini bukan lodeh, ini air yang sedang berpura-pura jadi sayur.” Harun hanya tersenyum simpul.
“Sabar, Mujib. Lapar itu bagian dari latihan rohani.” Mujib memegangi perutnya.
“Latihan rohani apaan kalau perutku bunyinya krak-krak kayak ayam lapar!”
Rasyid tertawa terpingkal. Dari candaan sederhana itulah persahabatan mereka semakin erat.
Suatu malam, Kyai memanggil Rasyid ke ndalem. Di bawah lampu minyak yang temaram, Kyai berkata pelan namun penuh makna,
“Rasyid, aku melihat semangatmu. Kau tekun membaca dan sering bertanya hal-hal sulit. Itu pertanda baik. Tapi ingat, ilmu bukan untuk kesombongan atau sekadar mengalahkan orang lain.”
Rasyid menunduk hormat. “InsyaAllah, Kyai.”
“Nak,” lanjut Kyai, “dunia di luar pesantren ini luas. Banyak orang tak paham kitab-kitab klasik yang kita pelajari. Tugas kita adalah menjembatani mereka. Jika engkau hanya paham teks, tapi tak bisa menjelaskannya pada masyarakat, maka ilmu itu berhenti di buku, tak sampai ke hati umat.”
Kata-kata itu menancap dalam benak Rasyid. Sejak malam itu, ia tak hanya menghafal teks kitab, tetapi juga berusaha memahami maknanya. Ia mulai mencatat penjelasan Kyai dan menulisnya dalam bahasa sederhana agar mudah dimengerti.
Awalnya, Mujib mengejek.
“Wah, Rasyid sudah kayak Kyai kecil nih. Besok-besok kalau ngaji kita bayar sama Rasyid saja.”
Harun justru mendukung.
“Biarlah. Siapa tahu catatan itu bermanfaat suatu hari nanti.”
Lama-kelamaan, santri lain pun ikut membaca catatan Rasyid. Ia sering diminta menjelaskan pelajaran dalam halaqah kecil, membuatnya percaya diri.
Suatu malam yang hening, setelah seharian penuh belajar, Rasyid duduk seorang diri di serambi pesantren. Angin malam berhembus lembut, menggoyangkan dedaunan pohon kelapa di halaman. Langit di atasnya tampak bertabur bintang, berkilau seakan menghiasi cakrawala yang tak bertepi. Dari kejauhan terdengar suara jangkrik bersahutan, berpadu dengan gelegak air sungai kecil yang mengalir di belakang pesantren. Rasyid melangkahkan kakiknya ke kamar, di dalam kamar sederhana, Mujib dan Harun sudah terlelap. Suara napas mereka terdengar teratur, tanda lelah setelah seharian menghafal dan belajar.
Rasyid memandang mereka dengan senyum tipis. Hatinya terasa hangat melihat kedua sahabatnya itu. Mujib yang selalu ceria dan penuh kelakar, serta Harun yang bijaksana meski tak banyak bicara. Dalam kesederhanaan dan kekurangan, mereka tetap saling menguatkan.
Rasyid menarik napas panjang. Malam itu, pikirannya melayang jauh. Ia mengingat perjalanan hidupnya: dari seorang anak desa yang hanya bermodal tekad dan doa orang tua, hingga kini menjadi santri yang berusaha memahami ilmu agama. Semua terasa seperti anugerah. Namun, jauh di lubuk hatinya, tersimpan sebuah mimpi yang lebih besar daripada sekadar menjadi santri biasa. Dengan suara lirih, hampir seperti bisikan, ia bergumam,
“Ya Allah, suatu hari nanti, jadikanlah aku ulama yang mampu menyampaikan ilmu ini ke seluruh dunia. Jadikanlah aku jalan bagi tersebarnya kebaikan-Mu.”
Kata-kata itu bergetar di bibirnya. Ia menundukkan kepala, memejamkan mata, dan membiarkan air matanya menetes perlahan. Dalam doa yang tulus, Rasyid merasakan harapan sekaligus kerinduan. Ia tahu jalannya panjang dan penuh tantangan, tetapi ia percaya bahwa Allah akan memimpin langkahnya.
Perlahan, rasa kantuk mulai menyelimuti. Angin malam yang sejuk membuat matanya terasa berat. Rasyid bersandar pada tiang kayu serambi, dan sebelum ia menyadarinya, ia telah terlelap dalam tidur yang dalam.
Ketika membuka mata, Rasyid terkejut. Dunia di sekelilingnya berubah drastis. Ia tidak lagi berada di serambi pesantren yang sederhana. Di hadapannya kini terbentang sebuah gedung megah dengan pilar-pilar menjulang tinggi. Lampu kristal berkilauan di langit-langit, memantulkan cahaya yang membuat ruangan itu tampak seperti istana. Di sekelilingnya, ratusan orang dari berbagai negara duduk rapi di kursi empuk, mengenakan jas, sorban, dan pakaian modern. Di layar besar di depan ruangan terpampang tulisan: International Islamic Scholars Forum.
Rasyid berdiri terpaku. Hatinya berdegup kencang.
Apa ini? Bagaimana aku bisa sampai di sini?
Pikirnya, kebingungan. Saat ia masih mencoba memahami keadaan, seorang pria berjas rapi mendekat dengan senyum hangat.
“Ustaz Rasyid, giliran Anda berbicara,”
ucap pria itu sambil memberi isyarat menuju podium. “Sa-saya?” Rasyid tercekat.
Kata-katanya nyaris tak keluar. Ia menatap tubuhnya sendiri dan terperanjat. Sarung
lusuh dan baju sederhana yang biasa ia pakai telah berubah menjadi jubah putih bersih yang harum. Di kepalanya terikat sorban indah. Jubah itu terasa asing, namun memberi keyakinan yang aneh dalam dadanya.
Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju podium. Setiap langkah terasa seperti membawa beban berat, namun sekaligus mengalirkan energi baru. Ribuan pasang mata tertuju padanya. Rasyid merasa seolah seluruh dunia sedang memandangnya. Dalam kegugupan itu, ia teringat pesan sang Kyai yang selalu melekat di benaknya:
“Sampaikan dengan hati yang tulus, bukan untuk kebanggaan diri, tetapi untuk manfaat umat.”
Rasyid menarik napas dalam-dalam. “Bismillahirrahmanirrahim,” ucapnya, suaranya bergetar namun jelas.
Ruang itu seketika sunyi. Semua orang mendengarkan. “Hadirin yang saya hormati,” Rasyid memulai,
“kitab-kitab klasik yang kita pelajari di pesantren bukan sekadar teks masa lalu. Ia adalah cahaya yang membimbing kita menghadapi persoalan hari ini dan masa depan.”
Ia berbicara dengan penuh penghayatan, menjelaskan tentang konsep kemaslahatan dalam hukum Islam. Dengan bahasa yang sederhana, ia mengutip pendapat para ulama terdahulu, lalu mengaitkannya dengan realitas masyarakat modern. Kata-katanya mengalir seperti sungai yang jernih, menyejukkan hati yang mendengar.
“Ambil contoh tentang keluarga miskin yang menikahkan anak mereka di usia terlalu muda,” lanjutnya.
“Bukan karena keinginan, tetapi karena tekanan ekonomi. Dalam situasi seperti ini, syariat bukan hanya memberi hukum, tetapi juga menghadirkan solusi yang memuliakan manusia.”
Suasana ruangan begitu hening. Para tokoh dari berbagai negara menyimak dengan penuh perhatian. Beberapa bahkan tampak terharu. Rasyid merasakan kehangatan menjalari dadanya. Ia berbicara bukan sekadar sebagai santri, tetapi sebagai jembatan antara teks dan realitas, antara masa lalu dan masa depan.
Ketika ia menutup pidatonya dengan kalimat doa, tepuk tangan bergemuruh memenuhi ruangan. Para ulama dan tokoh dunia berdiri memberi penghormatan. Beberapa menghampirinya, menyalami dan mengucapkan terima kasih. Rasyid nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Mimpiku menjadi nyata, batinnya, dadanya bergetar oleh rasa syukur yang tak terlukiskan.
Tiba-tiba, suara azan subuh menggema, memecah keheningan. Rasyid terperanjat. Cahaya megah gedung itu lenyap dalam sekejap, berganti dengan pemandangan yang sangat familiar: serambi pesantren yang sederhana, udara pagi yang dingin, dan aroma kayu basah yang khas.
Mujib mengguncangnya sambil berseru, “Bangun, Rasyid! Subuh!”
Rasyid membuka mata lebar-lebar. Ia masih berselimut sarung lusuh. Dengan bingung, ia mengusap wajahnya. Pipinya terasa basah oleh air mata. Ia tersenyum samar, menyadari bahwa semua yang baru dialaminya hanyalah mimpi.
“Aku bermimpi, Mujib,” katanya lirih, suaranya parau.
“Mimpi apa?” tanya Mujib sambil menguap, setengah mengantuk.
“Mimpi menjadi ulama yang dikenal dunia. Aku berbicara di hadapan ribuan orang dari berbagai negara. Mereka mendengarkan, mereka menghargai ilmu yang kita pelajari di sini.”
Mujib terbelalak, lalu tertawa terbahak.
“Wah, besar sekali mimpimu! Tapi, siapa tahu, kan? Allah Mahakuasa.” Rasyid tersenyum, tidak tersinggung sedikit pun.
“Setiap ulama besar dulu juga memulainya dari mimpi. Dari serambi pesantren ini, aku akan melangkah.”
Sejak pagi itu, semangat Rasyid semakin menyala. Ia belajar lebih giat dari sebelumnya. Ia sadar bahwa mimpi tidak akan terwujud hanya dengan tidur dan berharap. Ia membutuhkan ilmu yang mendalam, kesabaran tanpa batas, dan pengabdian yang tulus.
Hari-harinya diisi dengan menghafal, mencatat penjelasan Kyai, dan mengajarkan ilmu kepada santri baru. Ia juga mulai membantu masyarakat desa, memberi nasihat tentang muamalah, mengajar anak-anak mengaji, dan ikut gotong royong ketika ada hajatan. Pelan- pelan, rasa percaya diri dalam dirinya tumbuh. Ia melihat sendiri bahwa ilmu yang ia pelajari memiliki dampak nyata bagi kehidupan orang lain.
Setiap kali duduk kembali di serambi pesantren, Rasyid selalu mengingat kata-kata Kyai yang pernah terucap dengan penuh wibawa:
“Serambi ini hanyalah permulaan. Dunia di luar sana adalah pelataran yang luas. Jika engkau ingin menjadi cahaya bagi umat, maka bawalah keberkahan pesantren ini ke pelataran dunia.”
Rasyid menggenggam kata-kata itu erat dalam hatinya. Ia tahu mimpi yang ia lihat semalam hanyalah awal dari perjalanan panjang. Dunia mungkin masih jauh di depan, namun langkah pertamanya sudah ia ambil. Dari serambi pesantren yang sederhana, ia bersiap melangkah menuju pelataran dunia yang sesungguhnya.
Dan di bawah langit penuh bintang, ia berbisik lagi dalam doa:
“Ya Allah, bimbinglah langkahku. Jadikan mimpi ini kenyataan, bukan demi diriku, tetapi demi kemuliaan ilmu dan umat-Mu.”
Profil Penulis
Penulis bernama lengkap Abdul Kholik, S.H.I.,M.H, Penulis lahir di Cirebon, 03 Maret 1983. Saat ini penulis menjadi Mahasiswa S3 Menempuh Program Studi S3 Doktor Hukum Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung Indonesia. Rumah penulis bertempat di Jalan raya susukan utara No 55 RT 19 RW 03 Dusun Panjunan, Desa Susukan, Kecamatan Susukan, Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat-Indonesia. No HP / Whatsap : 081313472919 / 081226107562 email : [email protected]
