
Oleh: Ikhwan Khanafi, mahasiswa difabel netra Sastra Indonesia UNY
“Yai, apa jadinya saya(manusia bodoh ini) tanpa bimbingan dari Mas Awan?”
Malam itu, pondok kecil di tengah kampung yang biasanya sunyi mendadak bising oleh salam, sapaan, dan gurauan. Asap tebal mengepul di aula pondok yang merangkap tempat salat itu. Di tengah kumpulan manusia bersarung dan berpeci itulah, Fahmi berada. Ia nampak sangat canggung, tak jarang ia membenarkan peci yang sudah sempurna bertengger di kepalanya. Fahmi terlihat seperti mencari sesuatu yang tak mampu ditemukan oleh siapa pun juga.
“Mas, nanti habis Isya ketemu aku di kamar, ya! Tadi Pak Yai dawuh untuk mengajak kamu ngobrol dan memperkenalkan kehidupan di pondok ini,” ujar seorang santri senior kepada Fahmi yang tengah mengambil jatah makannya.
“Oh iya, belum kenalan, ya. Namaku Kurniawan, panggil saja Awan. Kamarku nomor dua dari kamar mandi itu,” lanjutnya dengan senyum tipis.
Fahmi menjawab dengan takzim. Ia langsung terpesona dengan cara sang senior memperkenalkan diri. Tetiba hatinya merasakan ketenangan yang telah ia nantikan dalanm pengembaraannya mencari jati diri. Kehadiran Kurniawan menerbitkan ingatan Fahmi terhadap pembimbing jiwanya di kampung halaman.
Saat Fahmi masih berada di desa, waktu Asar hingga menjelang Isya adalah masa paling berarti dalam hidupnya. Walaupun ia tak bisa seperti kawan-kawannya dalam memahami kitab suci, dengan kesabaran sang murabbi, Fahmi mampu menghafal dengan penuh perjuangan. Hingga usianya beranjak dewasa dan perbedaan itu kian menebal, ia akhirnya memutuskan untuk memulai pengembaraan baru.
“Fahmi, ayo turun! Tempat makannya segera dibereskan,” tegur Bagus, teman sekamarnya.
“Fahmi, selamat ya, sudah berada di pondok ini. Insyaallah kamu telah menempuh langkah yang tepat untuk mempelajari ilmu agama. Ya, walaupun pesantren ini masih merintis dari nol, tak masalah. Besok kalau mau melanjutkan ke pondok yang lebih besar juga bagus kok. Kalau boleh tahu, kenapa kamu mau mondok di sini?”
“Alasan utamanya sih karena lebih dekat dengan sekolah, Mas. Selain itu, aku juga sudah bosan hidup di tempat lama. Rasanya aku malah kurang semangat ibadah,” jawab Fahmi ragu-ragu.
“Alasanmu tak jauh beda denganku, Mi—sama-sama ingin menjalani tantangan hidup jauh dari orang tua. Sejak usia SMP sudah tidak bersama keluarga, itu sensasi tersendiri. Kalau tidak berhati-hati, kita mudah terjerumus dalam pergaulan yang tidak tepat. Aku pun dulu pas awal mondok sering dapat teguran dari keamanan. Hal yang tak terlupakan seumur hidup, pas aku dihukum membersihkan kloset dan saluran air.”
Obrolan itu berlangsung hangat. Berkali-kali Fahmi tertawa dengan kisah lucu yang dialami Kurniawan di pondok lamanya. Ia tak menyangka, seorang dengan wibawa demikian juga pernah mendapatkan takzir membersihkan kamar mandi dan uji nyali di kuburan. Fahmi pun makin kagum dengan keputusan sang senior untuk tetap tidak merokok, walaupun sebagian besar santri di pondoknya perokok berat.
“Mas, aku pribadi nggak masalah kalau teman-temanku jadi perokok aktif, selama mereka paham risiko yang harus ditanggung. Tapi kalau aku sendiri, dengan uang yang masih mengandalkan kiriman orang tua, dibanding untuk beli rokok, lebih baik untuk sesuatu yang bermanfaat. Aku pernah membaca kutipan dari Mbah Moen: menjadi santri itu kalau belum bisa melakukan sunah Kanjeng Nabi dengan baik, setidaknya jangan melakukan yang makruh, apalagi yang haram.”
Fahmi semakin takjub dengan pemikiran Kurniawan. Ia sepakat dengan landasan berpikir kawannya itu. Ia berjanji akan memanfaatkan waktu luang untuk beradu gagasan dengan sang senior.
“Tapi kenapa ya, Mas, sebagian Kiai malah seolah mewajarkan setiap majelis penuh dengan perokok? Masak mereka belum paham dampak negatif rokok dan juga anjuran Mbah Moen seperti yang Mas Awan sampaikan?”
“Untuk menjawab pertanyaanmu, tidak ada jawaban yang memuaskan semua orang. Kata ulama yang sering aku ikuti kajiannya, kalau yang makruh bisa menghilangkan kebiasaan terhadap yang haram, maka yang makruh itu bisa jadi mubah. Misalnya, ada orang yang sulit produktif tanpa alkohol, tapi bisa kembali produktif setelah merokok—maka rokok bisa dianggap mubah, karena menjauhkan dari yang haram.”
Penjelasan yang runtut dan rasional dari Kurniawan menambah pengetahuan Fahmi. Ia pun kini memilih menjauh dari rokok yang dulu ia nikmati sehari-hari. Sejak itu, kedekatan Fahmi dan Kurniawan makin erat. Hampir setiap malam mereka hanyut dalam pembahasan ilmu. Fahmi sangat bersyukur mengenal sang senior, demikian juga Kurniawan yang menganggap Fahmi anak cerdas dengan pemikiran kritis.
Suatu malam, Fahmi terusik oleh salah satu jamaah mujahadah yang datang dalam keadaan mabuk. Ia mafhum, majelis rutinan itu memang untuk mereka yang belum beragama dengan baik, tapi tak menyangka ada yang datang dalam pengaruh minuman keras. Selesai kegiatan, Fahmi mengungkapkan ganjalan hatinya pada Kurniawan. Ditemani secangkir kopi dan camilan sisa mujahadah, percakapan mereka begitu mendalam. Awan dengan pengalamannya dalam belajar ilmu tasawuf, mencoba memberikan pemahaman kepada murid sekaligus teman diskusinya.
“Awalnya aku juga terkejut sepertimu, Mi. Kok ya dia senekat itu. Tak munafik, aku pun kadang jengah dengan mereka yang berteriak saat salawat. Bukankah seharusnya salawat dilafalkan dengan baik? Tapi aku teringat penjelasan para ulama dalam usaha mereka merangkul semua kalangan. Poin pentingnya: di hadapan Gusti Allah, kita tak lebih dari wayang di tangan dalang. Allah kuasa membolak-balikkan hati. Mungkin saja, manusia yang kini sering bermaksiat kelak
masuk surga, sementara kita yang rajin beribadah malah celaka. Kita yang sudah mendapat setetes cahaya seharusnya membimbing yang masih dalam kegelapan.
Mi, jika majelis hanya diperuntukkan bagi yang telah beragama secara kafah, lalu bagaimana dengan mereka yang dalam hatinya ingin mencari titik terang dalam hidupnya? Banyak sekali ulama dalam tradisi kita yang berdakwah di tempat maksiat. Bagi mereka, menyebarkan ilmu kepada umat yang masih awam jauh lebih berpahala dibandingkan memberikan ilmu kepada manusia yang sudah menjalankan syariat dengan baik.”
“Iya sih, Mas. Tapi apakah itu tak menimbulkan dugaan negatif? Kok ya seorang ulama malah main ke tempat maksiat.”
“Para pewaris Nabi tak terlalu memikirkan pandangan manusia. Selama niat dan caranya tidak melenceng dari syariat, itu lebih baik daripada membiarkan kemudaratan merajalela. Setelah aku berdiskusi dengan beberapa teman, mabuk saat majelisan memang tidak bisa dibiarkan. Namun, jika kita mengusir mereka, bukankah justru kita yang memberikan larangan kepada insan yang ingin mengenal Nabinya? Akhirnya yang bisa kita lakukan dengan memberikan edukasi sambil pelan-pelan menerangkan larangan khamir dalam syariat Islam. Semoga dengan lantaran sering hadir di majelis salawat, cahaya Kanjeng Nabi menyinari hati mereka,” pungkas Kurniawan.
Walau mereka dekat secara personal, saat Kurniawan bertugas sebagai pembimbing ngaji tartil, tak jarang Fahmi mendapat teguran, bahkan bentakan. Mushaf miliknya berbeda dengan yang lain, membuatnya sulit mengikuti ritme. Dalam kemasygulannya, Fahmi sering berkata, “Jadi minoritas tuh berat, ya. Yang lain bisa membaca cepat, banyak yang bantu, sementara aku tertatih menarikan jemari di atas kertas.”
“Maaf ya, Mas. Kemajuanku membaca Al-Qur’an pasti jauh dari harapan. Entah kenapa, rasanya sulit mengimbangi mereka. Bahkan tak jarang, setelah aku selesai membaca kalamullah ini, justru perasaan berdosa sering kurasa,” ucap Fahmi getir.
“Justru aku yang harus minta maaf, Mi. Aku belum bisa membaca Qur’an Braille-mu. Sebenarnya aku ingin bisa, agar bisa bantu teman-teman seperti kamu. Kamu jangan minder karena bacaanmu yang belum bagus, ya. Selama kamu bersungguh-sungguh, insyaallah akan menuai hasil terbaik. Dalam proses belajarmu ini, yakinilah seseorang yang membaca dengan terbata justru akan mendapatkan dua pahala dari-Nya, tapi jangan jadikan itu sebagai alasan untuk tidak belajar lebih giat.”
Totalitas Kurniawan dan tekad yang membara dari Fahmi, lambat laun menemukan titik indahnya. Meski masih terbata, Fahmi kini mampu mengeja huruf Arab Braille. Baginya, membaca tetap penting agar tak salah melafalkan kalimah suci. Walaupun ada jalan melalui hafalan, Fahmi tetap kukuh untuk mempelajari Al Quran berhuruf timbul tersebut.
“Selamat ya, Mas Fahmi. Sekarang kamu sudah bisa mengerti tulisan dalam Al-Quran seperti apa. Memang untuk bisa membaca dengan tepat tidak mudah. Akan tetapi, sebesar apapun badai yang menghadang, jika kita sabar dan tidak berhenti untuk berproses, kemahiran akan mengikuti. Yakin sama Gusti Allah, pasti Ia tak sedikitpun menyiakan hamba yang bersunguh-sungguh. Insyaallah selama aku masih diizinkan untuk mengajarimu membaca ayat suci, pasti kudampingi.”
Fahmi terharu; usahanya meniti kesetaraan mulai berbuah. Tak bisa dipungkiri, pilihannya nyantri membuka jalan. Namun di balik suka citanya, penggrahitanya diliputi cemas. Ucapan guru pembimbingnya terasa sangat dalam.
“Terima kasih banyak ya, Mas. Ini juga berkat bantuan Mas Awan kok. Semoga kita bisa mengaji bersama ya, Mas, hingga tiga puluh juz binnadhor,” ucap Fahmi bergetar seraya merangkul pembimbingnya.
“Mas Fahmi, ayo berdiri! Kita nyanyi lagu ‘Indonesia Raya’ dan ‘Yalal Wathon’! Ayo maju yuk sama aku.”
Tepukan dan ajakan jamaah mujahadah rutin menyadarkan Fahmi dari lamunan panjang. Ia masih belum percaya dengan tragedi malam itu– peristiwa yang mengubah warna pesantrennya.
“Mi… Fahmi! Ayo bangun! Kita diminta baca Yasin sama Mbah Putri,” teriak Bagus sambil berurai air mata.
“Yasin? Ada apa, Gus? Ini belum Subuh kan?” Fahmi merebahkan tubuh kembali.
“Cepat, Mi! Surah Yasin ini untuk Mas Awan. FAHMI! Mas Awan barusan kecelakaan! Dia sudah mendahului kita!”
Teriakan Bagus bak gemuruh petir di telinga Fahmi. Tubuhnya luluh di lantai, air matanya seperti bendungan jebol. Bagus harus memaksanya bangkit. Di musala pesantren, lantunan Yasin terdengar tercekat, laksana pisau tajam yang melesat ke dada Fahmi.
“Gus … Bagus! Jelaskan kalau ini cuma guyonan. Pasti ada yang ulang tahun atau dapat rezeki. Nggak mungkin Mas Awan meninggal! Tadi saja dia masih bersih bersih pondok. Mas Awan nggak mungkin ingkar janji, kan? … Dia mau ngajari aku ngaji sampai khatam!”
“Fahmi! Ingat tempat, Mi, kita di musala!” Bentak Bagus dengan harapan agar Fahmi segera menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
Tiga hari pasca kepergian Kurniawan, diri Fahmi bagaikan kemerlip dian. Ajakan dari teman bahkan murabinya tak memengaruhi Fahmi. Baginya, waktu terasa beku dan bumi berputar kaku. Kehilangan guru sekaligus sahabat, benar-benar mencabut semua keceriaannya. Empat ayat terakhir surah Al-Fajr rutin ia gumamkan. هاَيَّتَُيَا أ
ُم ْط َمئِنَّةُْالنَّ ْف ُس ال َمْر ِضيَّةًِّ ِك َرا ِضيَةًِلَى َربِا ْر ِج ِعي إ فَادْ ُخ ِلي فِي ِعبَاِدي َو ادْ ُخِلي َجنَّتِي
“Pak Yai, mohon jelaskan pada saya Pak, mengapa orang baik itu umurnya selalu pendek? … Mas Awan yang sangatlah berguna untuk umat kok malah cepat Allah minta, sementara saya … yang tak ada artinya dalam kemajuan agama ini malah masih diberi napas? Yai, apa jadinya saya (manusia bodoh ini) tanpa bimbingan dari Mas Awan?”
Kiainya pun hanya menghela napas panjang, pertanda mafhum dengan goncangan yang melanda santrinya. Tak terpungkiri, iapun merasakan hal yang sama, betapa santri kinasihnya itu teramat sukar untuk digantikan. Masih belum lekang dari ingatannya, saat Awan meminta izin untuk bersilaturahmi dan membantu kegiatan
di pondok lamanya, peristiwa yang akhirnya membuat Kurniawan meninggalkan pesantren untuk selama-lamanya.
“Para jamaah yang dirahmati Allah,” suara Pak Yai menggema. “Tiga hari lalu, pesantren kita kehilangan anak, murid, sahabat, sekaligus guru kami. Mas Kurniawan, yang sering membacakan ‘Mahalul Qiyam’. Ia telah menghadap Allah karena kecelakaan tunggal. Saya bersaksi, pribadi Mas Kurniawan sangat terpuji. Dewasa ini, tak banyak santri sepertinya, yang mampu menjalankan agama dan sosial dengan sama baiknya. Semoga Allah menerima amal baiknya dan kita semua mendapat limpahan kasih sayang-Nya. Semoga kelak kita akan berjumpa kembali dengannya di surga Allah Azzawajalla.”
Setelah sambutan itu, kesedihan Fahmi tak lagi sendiri. Ratusan jamaah merasakan hal yang sama: kehilangan insan pilihan-Nya. Tiba di Mahalul Qiyam, tak satu pun mata kering, menyadari tak ada lagi suara yang membuat hati mereka bergetar dengan kefasihannya melantunkan puji-pujian ke atas Kanjeng Nabi.
Tujuh hari setelah kepergian Kurniawan, para santri dan jamaah mujahadah berziarah ke makamnya. Perjalanan ke luar provinsi yang melelahkan terbayar begitu mereka sampai di maqbarah. Di depan pusara, mereka tak mampu menahan tangis.
“Mas Awan… aku tahu kalau kau bisa meminta pada kami yang masih hidup, niscaya kau akan berkata: Jangan tangisi aku, tapi persiapkanlah dirimu. Seandainya kamu tahu betapa sakitnya saat nyawa dicabut malaikat, kamu tak akan sempat menangisi orang lain.
Mas Awan, kini kau menuai semua kebaikanmu di dunia. Mas, aku belum kenyang minum ilmu dari jiwamu, tapi Allah telah memintamu kembali. Wallahi, aku bersaksi Mas Awan orang baik. Semoga aku pun bisa menyusulmu, hidup istiqamah dan menghadap-Nya dengan khusnul khatimah. Mas… jika kelak kau di surga dan tak menemukanku di sana, carilah aku, karena semasa di dunia kita telah berusaha menggapai rida-Nya.”
Karangmalang, 08 Oktober 2025
Tentang penulis:
Ikhwan Khanafi, mahasiswa difabel netra Sastra Indonesia UNY. Penggemar kajian Gus Baha dan ngaji filsafat ini tengah menempuh pendidikan semester tiga di UNY. Dia bisa dijumpai melalui IG: ikhwan.khanafi dan FB: Ikhwan Khanafi.