
Oleh: Asyifa Widi Yanti (Santri PP Darunnajah, Braja Selebah)
Di zaman sekarang pergaulan sudah banyak terjadi tak sedikit perempuan yang hamil di luar nikah, banyak orang tua yang khawatir dengan anak anaknya. Banyak orang tua yang memasukkan anak-anak nya ke pesantren dengan harapan anak-anaknya bisa terhindar dari pergaulan bebas dan mendapat ilmu agama yang bisa di ajarkan kepada anak-anaknya kelak.
Dari semua anak-anak itu tak terkecuali Vanya Carisya. Ia adalah anak Tunggal dari keluarga yang cukup kaya, namun orang tuanya broken home. Ia tidak pernah mendapatkan perhatian yang cukup dari kedua orangtuanya, sehingga ia mulai terpengaruh dengan dunia luar yang mejadikan ia jarang pulang kerumah, nilai sekolahnya merosot, dia juga sering bolos sekolah sampai-sampai walikelasnya menghubungi orang tua Vanya. Orang tua Vanya mencari alternatif, Setelah banyak pertimbangan orang tua Vanya mengirim Vanya kedalam pesantren Al-mukmin.
Setelah masuk ke pesantren semuanya terasa berat baginya. Setidaknya itulah yang dirasakan Vanya yang baru dua bulan menetap di sana. Hari-hari pertamanya di Al-mukmin terasa seperti siksaan. Jarak dari kasur ke kamar mandi, dari kamar ke masjid, hingga ke ruang kelas semuanya diatur. Setiap gerakan, setiap kata, bahkan setiap helaan napas Vanya seperti diawasi. Dia merindukan ponselnya, dan teman-teman lamanya. Seringkali, saat malam tiba, ia menangis dalam diam di bawah selimut, merutuki nasibnya. Tak jarang juga banyak yang menjauhi dia disekolah barunya karena ia murid pindahan pada semester akhir dengan catatan ‘anak nakal.’
Dunianya terasa berbeda, biasanya jam-jam setelah pulang sekolah ia pergi main dengan teman-temanya hingga larut, kini sepulang sekolah ia sudah mengaji sorokan Al-quran Bersama santri-santri lainnya di aula. “Van, kenapa kamu kok kayaknya melamun” tanya ustazah Jihan, membuyarkan lamunan Vanya. “eh, gak papakok ustazah,Cuma lagi kepikiran sesuatu aja” jawab Vanya. “yaudah kalo ga ada apa-apa, yang fokus ngajinya” ucap ustazah Jihan lembut. Vanyapun hanya mengangguk pelan. “Kalau ada apa-apa yang kamu kurang faham bisa tanya ke saya, gausah sungkan” tambah ustazah Jihan. Vanya hanya menanggapi dengan senyuman.
Suatu hari di hari jum’at, Ketika banyak santri di sibukkan dengan kegiatannya masing-masing di asrama, Biasnya Ketika hari jum’at semua kegiatan mengaji siang libur, inilah kesempatan para santri untuk melakukan aktifitas sesukanya, suara riuh terdengar, kebanyakan santri putri menghabiskan hari-harinya dengan ngerumpi dengan teman-temanya. Namun berbeda dengan Vanya yang bingung mau melakukan kegiatan apa, ia tidak punya teman untuk sekedar mengobrol ataupun ngerumpi, membahas topik-topik terbaru yang sedang tren di pesantren. “Ren kamu tau gak, katanya sekolahan mau adain IPPNU untuk mengisi kegiatan hari jum’at yang kosong loh” ucap Dina teman sekamar Vanya. “kalogitu kita gak ada jadwal libur dong” jawab Rena yang juga teman sekamar Vanya. Vanya hanya mendengarkan dengan seksama sembari membaca-baca buku, bukanya Vanya tidak ingin mengobrol Bersama, tapi biasnya mereka akan sungkan jika Vanya ikut nimbrung.
Pada Jum’at berikutnya, benar apa yang dikatakan teman sekamar Vanya, guru-guru mewajibkan bagi kelas satu dan dua MA untuk mengikuti IPPNU, jadi mau tidak mau semua murid berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Pada pertememuan jum’at pertama hanya sekedar pengenalan mengenai pengenslan apaitu IPPNU, kapan berdirinnya, tujuan di dirikannya dan masih banyak lagi. Sebenarnya dengan adanya kegiatan ini Vanya sedikit senang, dari pada ia di asrama berdiam diri mendengarkan temannya mengobrol.
Tak terasa klas dua telah berakhir, masuk ke kelas tiga. Rasanya Vanya sudah mulai berubah dulu ia lebih sering bolos sekolah, sering keluar main sampai sampai tak inga waktu. Dulu pernah ia bolos sekolah 10 kali saat sudah masuk kepesantren, alhasil ia pun mendapat pencerahan dari buk nyai Fatimah. Bu Nyai adalah istri Kiai pengasuh pondok, sosok yang disegani sekaligus dikasihi para santri. Wajahnya yang keriput menyimpan kehangatan dan mata tuanya seolah bisa membaca isi hati.
“Vanya ya?” tanya Bu Nyai lembut.
Vanya mengangguk tanpa menatap bu nyai. “iya bu nyai”.
“nduk Vanya sekarang kelas berapa sekolahnya?” tanya bu nyai dengan nada yang masih sama.
“Kelas dua MA bu nyai” jawab Vanya jujur.
“Vanya, tahukah kamu, banyak santri yang iri padamu?”
Vanya terkejut. Iri? Siapa yang mau iri pada dirinya yang bandel dan selalu membuat masalah?
“Iri kenapa, Bu Nyai?”
“Karena kamu punya jendela yang lebih besar dari yang lain.”
Vanya mengerutkan kening. Ia menatap dinding asrama yang kusam dan jendela kecil berteralis besi di ujung koridor. Ia tidak melihat apa pun yang istimewa.
“Jendela yang besar itu, Vanya, adalah kesempatanmu. Kamu datang ke sini bukan karena ingin, tapi karena dipaksa. Namun, di situlah keunikanmu. Kamu punya latar belakang yang berbeda, pengalaman yang tak dimiliki santri lain. Itu bisa menjadi jendela yang sangat besar, untuk melihat dunia dari sudut pandang yang baru. Dinding ini, yang kamu rasa memenjarakanmu, sebenarnya adalah pelindung. Ia menjaga agar debu-debu masa lalu tidak kembali mengotori niatmu.”
Vanya terdiam. Kata-kata Bu Nyai begitu sederhana, namun menusuk relung hatinya. Ia menatap kembali jendela kecil itu, kali ini dengan pandangan yang berbeda. Semenjak pertemuan itu Vanya terus memikirkan apa yang dikatakan bu nyai. Vanya mulai membuka dirinya sedikit demi sedikit. Ia tidak lagi membolos sekolah, melakuan aktfitas dengan teratur, Vanya mulai mencari makna dalam jalan hidupnya.
Rutinitas belajarpun berjalan lancar tak terasa Vanya sudah menginjak kelas tiga MA, ia berharap resolusi di kelas terakhirnya bisa terwujud, ia ingin lulus dengan nilai terbaik dan dapat meninggalkan Kesan yang baik untuk kedepannya. Untuk mempersiapkan keinginannya Vanya membutuhkan usaha yang keras, ia mulai belajar dengan giat, aktif dalam segala kegiatan, menanyakan sesuatu yang belum ia fahami kepada teman ataupun kepada guru, mencatat materi-materi yang tertinggal.
“Rena aku boleh pinjem catetan materi pertemuan IPPNU jum’at kemarin ga?” tanya Vanya kepada, teman sekamarnya.
“eh, iya, bentar ya tak cariin dulu” jawab Rena, menilik-nilik rak bukunya. “yah, van, bukuku ketinggalan di kelas”. Ucap Rena, Setelah memastikan bukunya.
“Yah, kamu masih inget gak apa yang dibahas kemarin?” tanya Vanya, yang masih setia berdiri di samping meja belajar Rena.
Emm.. kayaknya kemarin Cuma ngasih tau kalau nanti setiap kelas akan di mintai perwakilan tiga orang untuk ikut jadi sukarelawan Buat bakti sosial di desa sebelah” jawab Rena, sambil mengingat-ingat Kembali.
Vanya mengangguk Faham. “oh, jadi gitu, terus siapa yang mau jadi perwakila kelas kita?”.
“Kalau itu, aku juga belum tahu” jawab Rena.
Keesokan harinya, ternyata, Vanya, Rena dan ketua kelas mereka yang menjadi perwakilan untuk menjadi relawan. Pemilihan tersebut dilakukan oleh wali kelas mereka. Setelah beberapa bimbingan dari walikelas, merekapun berangkat menuju desa sebelah. Mereka di minta menjadi suka relawan untuk program (BERLIAN) “Berbagi Kemuliaan” yang melibatkan penyaluran bantuan seperti beras, minyak, dan kebutuhan pokok lainnya kepada kelompok dhuafa dan yatim piatu.
Acara berjalan dengan lancar, warga yang mendapat bantuan mengucapkan banyak terima kasih. Vanya juga senang karena bisa ikut berbagi, bertemu Masyarakat. Ia juga lebih banyak berkomunikasi dengan teman-teman sukarelawan dan warga setempat.“Van, sebenernya kamu orangnya ramah juga ya” celetuk Rena yang melihat Vanya yang ikut tersenyum melihat warga senang. Vanya langsung merubah raut wajahnya. “Ehm, enggak juga kok”. Rena hanya tersenyum melihat perubahan raut wajah Vanya yang mencoba menyembunyikan kesenangannya.
Perlahan, ia menyadari bahwa dunia pesantren tidak sesempit yang ia bayangkan. Dinding-dinding itu memang membatasi gerak fisiknya, tetapi tidak membatasi akalnya. Lewat jendela ilmu, Aisyah menemukan keindahan dalam setiap lembaran kitab, dalam setiap lantunan doa, dan dalam setiap kebersamaan.
Ia mulai akrab dengan Rena, teman sekamar yang ternyata orangnya tidak hanya suka bercanda, tetapi ia juga pintar memasak. Vanya belajar resep sayur gudek dari Rena, dan saat ada kesempatan juga Vanya memasak Bersama Rena, membuat lauk-pauk untuk di bagikan kepada teman teman di pesantren. Ia juga menemukan bahwa teman temanya ternyata banyak yang juga ingin berteman dengannya, tetapi mereka sungkan, karena tidak ada yang dekat dengannya. Tetapi sekarang mereka mulai banyak berkomunikasi dengan Vanya. Dinding-dinding yang dulu ia anggap penjara, kini terasa seperti rumah. Di balik dinding itu, ia menemukan persahabatan, ilmu, dan ketenangan yang belum pernah ia rasakan.
Suatu sore, saat Vanya sedang menyiram tanaman di halaman, Kiai datang menghampirinya. Kiai dikenal sebagai sosok yang berwibawa namun humoris.
“Vanya,” panggil Kiai. “Bagaimana kabarmu?”
“Alhamdulillah, baik, Kiai,” jawab Vanya sambil tersenyum.
“Vanya, kau tahu, ada sebuah hadits yang berbunyi, ‘barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.’ Hadits itu bukan hanya tentang ilmu agama. Semuanya bisa menjadi jalan menuju kebaikan, asalkan niatmu lurus. Kau sudah menemukan jalanmu di sini, Nak. Teruslah berjalan,” pesan Kiai.
Mendengar itu, mata Vanya berkaca-kaca. Ia merasa malu mengingat betapa dulu ia membenci tempat ini. Kini, ia justru merasa bersyukur. Pesantren ini bukan penjara, melainkan tempat ia menemukan dirinya yang hilang.
Tiga tahun berlalu. Vanya bukan lagi gadis yang sama. Ia menjadi salah satu santriwati teladan. Di tangannya, ia memegang sebuah sertifikat kelulusan, pemenang lomba Cerdas Cermat Agama dan Syarh Al-Qur’an, dan ia juga satu satunya siswa yang mendapat tawaran menjadi pengurus kantor pusat IPPNU. Vanya dipanggil keatas panggung untuk menyampaikan sambutan singkat didepan para santri dan teman-temannya. Dalam pidatonya ia menyampaikan ucapan terima kasih kepada orangtua, bu nyai dan pak kiai yang sudah ia anggap seperti orangtuanya sendiri dan tak lupa juga ia mengucapkan terima kasih kepada ustad dan ustadzah yang telah mengajarinya dengan penuh kesabaran. Dan kepada teman-teman yang telah membantunya. Ia juga menyampaikan rangkuman singkat tentang filosofi “dinding dan jendela” yang dapat menginspirasi santri-santri.
Orang tua Vanya merasa haru dan bangga melihat putrinya yang berdiri di atas panggung, ia bersyukur telah memasukkan putrinya kepesantren. Ia bangga putrinya menjadi santri dengan prestasi teladan. Setelah turun dari panggung, orang tua Vanya memeluk Vanya dengan tetesan air yang mengalir. “Mama, Papa, terimakasih telah merawat dan membesarkan aku selama ini” ucap Vanya dengan air mata yang membasahi pipinya.
Saat ia berpamitan pulang, Bu Nyai memeluknya. “Vanya, ingatlah. Di luar sana, dindingnya akan lebih besar, dan jendelanya bisa jadi lebih sempit. Jangan pernah berhenti mencari jendela, Nak. Jadikan ilmumu sebagai cahaya yang bisa membuka jendela itu, dan jadikan akhlakmu sebagai kunci yang menguatkan dindingmu.”
Vanya mengangguk, air mata mengalir membasahi pipinya. Ia berpamitan kepada Kiai, kepada teman-teman, dan kepada setiap sudut pondok yang telah menjadi saksi bisu transformasinya.
Di dalam mobil, Vanya menatap ke luar jendela. Ia melihat pemandangan yang sama dengan tiga tahun lalu, namun kali ini ia melihatnya dengan pandangan yang berbeda. Jendela itu kini tidak hanya menampilkan dunia luar, tetapi juga merefleksikan bayangan dirinya yang baru. Gadis yang dulunya merasa terpenjara, kini merasa bebas. Bebas dari belenggu masa lalu, dan siap menghadapi masa depan.
Dinding pesantren telah membentuknya, dan jendela ilmu telah membukakan jalannya. Vanya tahu, ia bukan lagi Vanya yang dulu. Ia adalah Vanya yang baru, seorang perempuan yang menemukan kekuatan dan kedamaiannya di balik dinding dan jendela sebuah pesantren.
Ia berdo’a semoga ia mendapat bimbingan dari allah untuk menghadapi masa depan yang tak seorangpun yang tau bagaimana alurnya.
حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، أَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ، وَلَا تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًايَا
Ya Hayyu Ya Qayyum, birahmatika astaghiith, wa ashlih li sya’ni kullahu wa laa takilni ila nafsi tharfata ‘ainin abadan.
TAMAT