
Oleh: Kirana Humaira (Santri PP Addaba, Kebumen)
“Bukan Abi yang menulis takdir mereka!” pekik Aira mengguncangkan seisi ruangan.
Semua mata sontak membelalak. Aufa, pendiri pesantren sekaligus ayah mertua Aira tak percaya mendengar itu dari menantunya. Menantu yang belum genap tinggal di bawah atap rumahnya.
“Santriwati itu bukan hewan liar! Mereka manusia!” tambah Aira. Nada suaranya masih tinggi, tak mau turun meski cuma setengah oktaf.
“Kalau mereka pacaran lalu hamil, siapa yang bertanggung jawab?” bantah Aufa.
“Abi nggak percaya dengan ajaran yang Abi kasih ke mereka?” Aira memutar balik logika.
“Abi tanya, jika mereka hamil, di mana Abi mau menaruh muka? Di mana?”
“A ….” Belum sempat Aira menjawab, sebuah tangan menyentuh bahunya. Aira pun refleks menengok. Dia melihat suaminya yang duduk di sampingnya tengah tersenyum. Matanya teduh. Dia ingin agar Aira menurunkan emosinya.
“Istighfar, sayang!” pinta Fatih tak memaksa. Dia yakin tak ada yang salah di sini. Hanya cara pandang yang berbeda.
Fatih paham benar watak istrinya. Dia yang terlahir di kota pelajar, pasti kaget dengan kebiasaan santri putri di pondok ini. Belum lagi Aira yang berpendidikan tinggi di luar negeri, dia pasti risih melihat bagaimana kondisi santri putri. Aira memiliki jiwa keadilan yang tinggi. Dan itu yang membuat Fatih jatuh cinta padanya. Dia bisa dengan berani menyuarakan apa yang dia pikir benar. Aira juga berpandangan luas, tidak seperti semua wanita yang pernah Fatih temui.
***
Awal mula Fatih bertemu dengan Aira adalah saat mereka berdua kuliah. Saat itu, Fatih melihat Aira yang dengan cantik dan beraninya, memegang pengeras suara, menentang diskriminasi wanita dalam ruang publik. Fatih masih ingat kala Aira mengatakan bahwa peradaban manusia tak akan ada jika tak ada Hawa di samping Adam.
Maka, ketika Fatih menikah dengan Aira dan memboyongnya ke pondok, wanita itu langsung mengernyitkan dahi. Dia tak bisa berkata-kata kala melihat akses santri putri yang begitu terbatas. Santri putri hanya bisa mondar-mandir di dalam gedung yang bertingkat tiga. Mereka seperti menjelma menjadi burung dalam sangkar atau mungkin lebih tepat kerbau yang dicucuk hidungnya. Kerbau itu hanya bisa tidur dan berputar-putar di kandangnya. Persis seperti santriwati yang ada di pondok ini.
“Kenapa santri putri nggak sebebas santri putra?” tanyanya pada suatu waktu. “Biar mereka terjaga, Aira,” jawab Fatih pada waktu itu.
“Terjaga dari siapa? Dari apa? Serangga saja bebas bertemu dengan yang lain.”
Fatih menarik napas panjang. “Aku paham kamu pasti nggak suka melihat santri putri hanya ada di pondok. Apalagi mereka hanya bisa membaca Al-Qur’an tanpa boleh membaca yang lain. Tapi itu demi kebaikan mereka sendiri, Aira. Mereka perlu fokus untuk menghafal dan tidak memandang lawan jenis maupun dunia luar.”
Aira terdiam. Dia akui kalau di pondok ini, termasuk cepat dalam menjadikan santrinya menjadi hafidzah. Hanya saja ada yang begitu mengganjal dalam dirinya. Dia tidak tenang dengan kondisi yang dia alami. Pondok ini persis seperti penjara dalam artian sebenarnya. Pondok putri dikelilingi dinding tinggi. Santri putri sama sekali tak dibolehkan keluar dari dalam tembok ini. Bahkan ketika ada orang tuanya pun, santri putri diberi batasan waktu untuk keluar.
Aira mengembuskan napas. Dia sebenarnya tak mau menceritakan ini. Namun semenjak bertemu dengan seseorang di rumah sakit, dia tak pernah bisa tenang. Aira tak bisa melihat santri putri yang terkurung dan hanya bertemu dengan sesamanya saja.
Aira pun mengeluarkan ponselnya. Dia memperlihatkan sebuah rekaman yang diambilnya di rumah sakit.
Fatih mengambil ponsel Aira lalu melihat apa yang ditunjukan istrinya itu. “Ini?” tanya Fatih tak percaya dengan apa yang dia lihat.
“Kita harus merubah pondok, Mas!” ujar Aira mantap.
Dan Fatih mengangguk.
***
Maka sekarang, di sinilah Fatih. Dia menemani istrinya mengungkapkan pikirannya kepada ayahnya. Sesungguhnya Aira telah memulai memasukkan pengetahuan umum ke pondok putri, tapi justru itu langsung ditentang oleh Kiai Aufa, ayah Fatih.
“Abi tak bisa membiarkan santri putri seperti tahanan!” Aira masih belum mau menurunkan intonasi suaranya.
“Itu! Itu yang kamu ajarkan pada para santriwati?” tuding Aufa.
Aira kehilangan kata-katanya. Dia tak percaya betapa sulitnya membuka pikiran mertuanya ini.
“Aira. Pondok ini didirikan untuk mendidik santriwati menjadi hafidzah. Mendidik mereka menjadi perempuan yang baik. Perempuan yang patuh dan taat pada suaminya. Kamu mau mengubah semua itu?” tanya Aufa. Matanya menatap sinis Aira. Dia tak menyangka kalau menantunya akan mempunyai pandangan yang berbeda dari dirinya.
“Abi ….”
“Cukup! Abi tak mau mendengar bantahanmu lagi. Abi sudah berusaha legowo saat kalian menikah. Kamu mau Abi usir?”
“Abi!” Fatih mencoba menghentikan perkataan ayahnya.
Seketika Aira terdiam. Dia baru tahu kalau pernikahannya tak mendapat restu seutuhnya dari sang mertua.
“Abi sebenarnya mau menantu Abi adalah ibu rumah tangga. Perempuan cukup mendampingi Fatih buat memimpin pondok. Bukannya malah bekerja jadi dokter. Perempuan itu tugasnya jelas, Aira. Mereka harus melayani suami di kasur, memasak dapur, dan mencuci di sumur. Itu kodrat yang tidak bisa dilawan. Kalau perempuan bekerja, siapa yang akan melayani suami? Siapa juga yang akan mengurus anak-anak?” jelas Abi Aufa.
“Sekarang wanita juga harus berkembang Abi! Aku setuju jika pondok ini diubah! Santri putri perlu melihat dunia luas. Mereka perlu kebebasan seperti santri putra yang bahkan bisa sampai berkenalan dengan orang luar pesantren.” Fatih mulai bersuara.
“Ini yang Abi takutkan. Pikiranmu sudah berubah! Bagaimana kamu menjaga santri putri, Tih? Bagaimana?”
“Dengan memberi mereka bekal lebih, Bi. Aira sudah ajarkan mereka untuk bersuara, bersuara membela diri!”
“Bekal lebih? Itu racun! Hafalan mereka bisa rusak Aira! Mereka akan melupakan Al-Qur’an. Sekali kamu kenalkan mereka dengan hiburan duniawi, maka selamanya mereka akan kecanduan!” Suara Abi Aufa meninggi.
“Bagaimana dengan santri putra, Bi? Mereka bebas keluar! Mereka bisa ke masjid di luar pesantren. Mereka juga bisa ziarah ke makam pendiri pondok. Di luar, santri putra bisa membaca koran bahkan membaca di toko buku pesantren. Abi pikir hafalan santri putri bisa rusak dan hafalan santri putra tidak?” Aira tak mau kalah.
“Lelaki butuh wawasan luas. Mereka pemimpin, Aira!” kali ini Umi Hafsah yang menjawab.
“Laki-laki juga butuh pendamping yang kuat, Mi. Seperti Umi yang mendampingi Abi. Umi juga mempunyai wawasan luas seperti Abi. Jika tidak, Abi akan kesulitan memimpin pondok,” ujar Aira.
“Apa Abi tidak tahu jika langit adalah laki-laki, maka bumi itu perempuan. Setiap yang diturunkan langit akan dijaga oleh bumi. Dijaga dan ditumbuhkan. Jika buminya tandus dan tidak punya ilmu, bagaimana dia akan merawat pemberian langit?” tambah Aira.
Hening. Masing-masing dari mereka sudah mengeluarkan opini yang mereka punya. Aira pun mengeluarkan ponselnya. Fatih mencegah. Namun Aira mengangguk, mengisyaratkan agar suaminya membolehkannya. Fatih menggeleng. Dia tak mau orang tuanya melihat apa yang akan Aira tunjukan. Dia takut orang tuanya akan tidak kuat. Sayangnya, Aira tetap bersikeras. Inilah cara terakhirnya.
Aira meletakkan ponselnya. Di sana terpampang foto seorang wanita dengan luka lebam di sekujur tubuhnya. Bibir wanita itu pecah. Lehernya diperban. Kentara sekali kalau hampir saja dia mengembuskan napas dengan cara yang tragis.
“Abi dan Umi tahu siapa ini?” tanya Aira.
Aufa mengangkat ponsel Aira. Hafsah pun mendekat, melihat apa yang Aira tunjukan. Setelah beberapa saat, keduanya melotot. Mereka tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Dia adalah alumni pondok ini, Bi, Mi. Dia hampir saja berakhir di tangan suaminya. Tetangga baru menemukannya setelah anak alumni itu meminta tolong. Kalian bisa membayangkan bagaimana anak kecil menyaksikan momen mengerikan di antara ibu dan ayahnya?”
Aufa dan Hafsah mengangkat kepalanya, memandang Aira.
“Saat aku tanya kenapa dia tidak melawan, dia bilang kalau takut masuk neraka. Di pondok selalu dijelaskan bahwa mengabdi pada suami adalah segalanya. Tapi apakah mengabdi juga berarti kematian, Bi, Mi?” lanjut Aira.
Aufa meletakkan ponsel Aira. Tangannya gemetar. Wajahnya memucat. Napasnya mulai tak beraturan. Dia pun lantas memegangi dadanya.
“Abi?” panggil Fatih mulai merasakan ada yang tak beres.
Hafsah langsung melihat suaminya. “Bi?” tanyanya mulai khawatir.
Nafas Aufa semakin tersengal. Keringat dingin mulai bercucuran dari tubuhnya. Tangan kanannya makin erat memegangi dada sebelah kirinya. Semua orang pun makin panik. Mereka memanggil-manggil Aufa. Sementara yang dipanggil justru makin kehilangan kesadaran.
***
Kejadian itu membungkam Aira selama-lamanya. Dia tak lagi berbicara pada mertuanya. Aira berusaha meminta maaf, tapi hanya keheningan yang dia dapatkan. Aufa dan Hafsah hanya memandang Aira sejenak sebelum pergi. Jika ada yang masih bisa disyukuri atas kejadian itu, adalah Aufa masih selamat meski harus absen dari mengajar santri.
“Maafkan aku ya, Mas,” ucap Aira.
Fatih tersenyum. Direngkuhnya tubuh istrinya itu lalu mengecup kepalanya. “Inilah alasanku melarangmu memperlihatkan gambar itu pada Abi.”
Aira terisak. Pelukannya makin erat. “Maaf,” katanya lagi.
“Sudah … kamu tidak salah, kok.” Fatih berusaha menguatkan.
***
Konflik itu berlanjut sampai acara haul pendiri pesantren diadakan. Aira masih belum bisa bicara dengan mertuanya barang sepatah kata pun. Baik saat dia pulang kerja maupun saat makan bersama. Mereka hanya membiarkan Aira mengecup tangannya tanpa berkata apa pun. Aira rasa dia akan segera diusir seperti kata mertuanya dulu. Tapi hingga hari ini, hingga Aufa naik podium untuk mengisi sambutan pengasuh pesantren, hal itu tidak pernah dibahas. Aira tak tahu lagi apa yang dipikirkan mertuanya.
“Dari dulu hingga sekarang. Pesantren kita telah melahirkan banyak sekali hafidz dan hafidzah. Namun suatu hari ada seorang wanita yang mengatakan bahwa itu tak cukup baik,” kata Aufa di podium.
Aira menggigit bibir. Matanya terpejam. Telinganya tak sanggup mendengarkan apa yang akan disampaikan Aufa. Dia kenal kalau mertuanya itu cukup tegas. Dia tak segan menyalahkan sesuatu yang dianggapnya memang salah. Dan Aira tahu kalau mertuanya itu tengah membahas dirinya.
“Dan menurut saya itu benar.”
Aira membuka mata. Fatih memandang ke arahnya. Dan Hafsah, tersenyum ke arahnya.
“Putra saya, Fatih telah membawa perempuan hebat yang membuka mata saya. Dengan cantik dan beraninya, Aira menunjukan bagaimana harusnya perempuan diperlakukan. Santri putri punya posisi yang sejajar dengan santri putra.”
Aira terharu. Satu air matanya menetes.
“Maka mulai saat ini, saya umumkan. Pondok putri akan diasuh dan dipimpin langsung oleh Ning kita, Aira!”
Tepuk tangan pun bergema. Santri putri mengelu-elukan namanya. Aira pun mengangguk berterima kasih. Dia pun maju ke panggung. Aufa memberikan mikrofon ke Aira.
Aira mengucapkan salam dan berterima kasih sekali lagi.
“Jalaludin Rumi berkata bahwa perempuan sejatinya adalah pantulan cahaya ilahi. Perempuan bukan hanya melayani suami di kasur, memasak di dapur, dan mencuci di sumur. Mereka adalah tiang peradaban. Jika mereka lemah, umat ini runtuh. Jika mereka kuat, umat ini jaya. Saya ingin pesantren ini melahirkan perempuan yang bukan hanya pandai mengaji, tapi juga siap memimpin, membela agama, dan membangun bangsa.”
Tepuk tangan makin bergema. Babak baru santri putri kini dimulai. Aira tahu, perjuangannya belum selesai. Tapi pintu sudah terbuka. Api yang menyala dalam dirinya kini membakar semangat ribuan santri putri untuk terbang dengan sayap mereka sendiri.