
Oleh: Keyza Anindita Burhani (Siswi SMP Progresif Bumi Sholawat, Sidoarjo)
Seperti biasa, Embok segera melucuti telekungnya selepas wirid subuh. Markas besar dan perkakas berantakan dan kotor sudah menanti untuk disapa dengan salawat badar yang dialirkannya. Satu persatu perkakas itu dipungut, dikumpulkan, lalu dicuci bersih. Belum juga selesai dengan perkakas, pawon sudah melambai-lambai ingin juga disapa olehnya. Kepulan-kepulan asap dari pawon sudah sangat siap menyerbu mata tuanya dan tak segan membuatnya
mengeluarkan air mata. Akan tetapi, Nariyah, anaknya, tahu betul kalau asap asapitu hanya kedok Embok saja dalam menutupi tangis yang sesungguhnya.
Meskipun demikian, Nariyah tak tahu betul sebab musabab Embok menangis. Maka Nariyah pun menyenarai apa saja faktor yang melatarbelakangi kepiluan Embok: tidak adanya Bapak, ekonomi yang ala kadarnya, anak yang cacat, dan keinginannya untuk memesantrenkan anaknya. Belum lagi lidah tetangga yang aduhai pedasnya ketika mencambuk perasaan Embok. Mereka merasa jadi Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu ketika mengatakan bahwa Nariyah tidak mungkin bisa masuk pesantren dengan keadaan demikian.
Dari semua terkaan tersebut, Nariyah sangat yakin bahwa faktor utamanya adalah keinginan luhur Embok agar anaknya bisa masuk pesantren. Nariyah tentu punya alasan: Doa Embok, “Duh, Gusti… Saya hanya ingin anak saya masuk pesantren. Supaya bisa belajar Quran, Gusti.” Ya, begitulah rapalan Embok yang dihaturkan kepada Gusti Allah setiap kali selesai
sembahyang.
Nariyah tentu tak tega melihat Embok demikian. embok yang renta harus bergulat dengan keadaan, tetapi apalah daya. Api sudah membesar. Wajan sudah bertengger di atas tungku. Dan rebusan singkong semalam harus diolah menjadi cimplung. Cimplung tersebut nantinya- sebagian dijadikan buat sarapan dan sebagiannya lagi dijual. Sudah bertahun-tahun Embok memangku usaha ini untuk menghidupi Nariyah dan dirinya sendiri. Bahkan, seringkali
olahan Embok ini didermakan ke Uak Darmi atau tetangga yang kurang mampu. Akan tetapi, sekali lagi, apalah daya. Nariyah tak punya kekuatan lebih untuk membantu Embok.
“Cimplungnya sudah matang, Nariyah. Sarapan dulu. Setelah itu, antar tiga bungkus cimplungnya ke rumah Uak Darmi. Selebihnya kamu jual,” kata Embok sambil menyodorkan cimplung yang beralaskan daun pisang. Nariyah hanya mengangguk. Tak lama kemudian, sambil mengunyah cimplung, Nariyah dengan polos menyoal kepada Embok terkait Bapak yang tak pernah diceritakannya. Sebenarnya pertanyaan itu sudah berlipat-lipat didaur ulang
oleh Nariyah, namun Embok bergeming.
“Kamu habiskan cimplungnya, lalu pergilah ke rumah Uak Darmi,” timpal Embok beberapa saat setelah gemingnya, sembari bangkit dari dipan, lalu ke kamarnya. Dari celah gedek, Nariyah dengan jelas melihat Embok sedang menyeka air matanya. Entah sudah berapa ratus kali Nariyah melihat ujung baju Embok kuyup oleh air mata.
Tujuan pertama langkah Nariyah tentu rumah Uak Darmi. Dia berjalan cepat, walaupun langkahnya jingkat. Suara “ciet-ciet”, bunyi dari pantulan keranjang yang dipikul, membersamai langkah jingkatnya. Dia berpikiran kalau Uak Darmi pasti sudah kelaparan. Dibayangnya Uak Darmi yang sedang rebahan setengah duduk di atas dipan. Di sampingnya segelas kopi yang masih
mengepulkan asap yang sedang menunggu cimplungnya datang.
“Assalamualaikum. Ini cimplungnya, Uak,” ucap Nariyah seraya menaruh pikulannya dan mengambil tiga bungkus cimplung, lalu ditaruh di sebelah kopi. Melihat Nariyah datang, Uak Darmi langsung bangkit. Dia melihat begitu banyak kegelisahan bergelantungan di wajah Nariyah. Dia menduga kalau perginya Nariyah ke rumahnya tidak hanya memikul keranjang, tapi juga memikul sejumlah permasalahan yang dihadapinya.
“Duduklah Nariyah,” sila Uak Darmi. Kali ini berbeda. Biasanya Uak Darmi tidak pernah mempersilakannya untuk duduk. Dia mengira seperti ada yang mau disampaikan oleh Nariyah. Dan benar..
“Saya tidak tahu apa penyebab Embok menangis sepanjang hari, Uak. Pagi ini saja, saya sudah dua kali melihatnya menangis,” tutur Nariyah dengan mata yang berkaca-kaca. Uak Darmi salah tingkah ketika telinganya dihunjami ratapan itu. Raut wajahnya berubah pucat pasi. Bingung, antara menyeruput kopi atau melahap cimplungnya terlebih dahulu. Akhirnya, Uak Darmi memilih kopi, karena tenggorokannya terasa kering. Setelah minum kopi, dia
tidak langsung menjawab. Dia melanjutkan untuk memakan cimplungnya terlebih dahulu sambil berpikir jawaban yang pas untuk meladeni pertanyaan Nariyah. Setelah ludes satu bungkus, dia baru membeberkan yang sebenarnya.
“Harapan Embokmu, jauh sebelum menikah dengan Bapakmu, itu ingin anaknya masukpesantren. Dia menganggap bahwa dengan menikah, maka akan ada yang membantunya menjunjung keinginannya itu,” kata Uak Darmi dengan terbata-bata karena tidak tega dengan keadaan keponakannya itu.
“Akan tetapi,” lanjutnya, “semuanya dirasa pupus. Lelaki yang dulu bahunya menjadi topangan, kini telah tiada. Bapakmu meninggalkanmu dan Embokmu ketika kamu dilahirkan. Dia merasa malu karena kamu terlahir cacat.” Ya. Nariyah memang terlahir cacat; kakinya panjang sebelah, mata kirinya tak bisa melihat.
Maka keheningan telah menjadi warna yang mencolok pada saat itu. Kaca-kaca yang ada di mata Nariyah pecah seketika. Tak ada satu pun kata-kata yang keluar dari mulut Nariyah setelah mendengarkan itu. Begitu juga Uak Darmi. Dia merasa seolah-olah kata-kata tadi adalah yang terakhir yang diucapkannya. Akan tetapi, Uak Darmi tak ingin berlarut-larut. Dia lebih memilih menyudahi tangisnya sendiri. Kedua telapak tangannya menyeka seluruh permukaan wajahnya. Membedani Uak Darmi, Nariyah justru masih saja berderai air mata, seolah-olah membiarkan basahnya air mata itu mengering dengan sendirinya.
Dan pergilah Nariyah dengan dua keranjangnya. Tak meninggalkan sepatah kata pun. Sepanjang jualan, yang berderu di pikirannya hanyalah nasib Embok. Dia membayangkan bagaimana perjuangan Embok dalam mengayuh
jentera kehidupan. Rentetan senarai sebab musabab yang diterka olehnya, ternyata benar.
Kegelisahan yang berderap di hati Nariyah sedikit redup. Hari ini semua barang dagangannya laris. Ternyata kesedihan yang berkelebat di wajah Nariyah membuat orang- orangbersimpati selain karena fisiknya yang cacat. Akan tetapi, Nariyah tidak peduli apapun latar belakang orang-orang tersebut membeli dagangannya. Yang dia tahu barang dagangannya habis dan segera pulang menemui Embok.
Keinginannya memberitahukan kepada Embok perihal dagangannya laris tertundaketika mendapati Embok sedang meratap kepada Gusti Allah. Ini yang ketiga kalinya Nariyah melihat Embok menangis untuk hari ini. Pikirannya kalut. Ia hanya tercenung di lincak yangada di depan rumah dan ikut
mengamini lirih doa dari Embok.
Dari doa Embok tersebut, Nariyah berkesimpulan bahwa dia harus melengkapinya dengan usaha. Usaha tanpa doa, akan celaka. Doa tanpa usaha, akan sia-sia. Begitulah kata- kata yang sering Nariyah dengar dari penceramah penceramah ketika pengajian.
Keesokan harinya, lusa, tulat, tubin, dan seterusnya hingga empat setengah tahun, Nariyah bertekad mewujudkankan cita-cita Embok tersebut. Tanpa sepengetahuan Embok, Nariyah pergi ke pesantren yang ada di seberang desanya setiap selesai berkeliling dagang. Waktu selepas asar menjadi saksi perjuangan Nariyah dalam mikul dhuwur impian Embok. Pernah tempo hari, Embok curiga kenapa Nariyah selalu pulang senja mendekat magrib, padahal
biasanya sebelum asar sudah pulang. Akan tetapi, Nariyah berdalih bahwa dagangannya memang selalu habis ketika sore hari.
Berpuluh-puluh purnama telah dilewati. Berkilo-kilo meter jalanan telah dijejaki. Hari itu menjadi yang terakhir Nariyah menyembunyikan rahasianya. Ia akan segera membendung air mata kesedihan Embok. Ia akan menggantinya dengan air mata kebahagiaan. Ia akan menghanguskan semua kepiluan. Dan ia
akan membungkam mulut tetangga.
Ya. Kini Nariyah benar-benar di atas angin. Gembira tak terkira. Syukur tak terukur. Sisa-sisa kegundahan di wajahnya benar-benar runtuh. Nariyah kini telah menyelesaikan hafalanQurannya. Seratus empat belas surah penuh. Sebuah prestasi yang luar biasa dari seorang Nariyah kendati mengidap keterbelakangan fisik. Hari itu benar-benar hari paling cerah selama Nariyah menyelami lautan yang namanya hidup.
Setelah selesai mengkhatamkan hafalannya, Nariyah pulang. Langkahnya kini lebihcepat. Bunyi “ciet-ciet” pikulannya semakin lantang. Sepanjang pulang, Nariyah tak henti- hentinya menangis haru bahagia. Pohon-pohon dan gerombolan ilalang samping kanan kirijalanan, seolah-olah ikut menyalami dan memberi selamat kepada Nariyah. Ia sudah membayangkan bagaimana ekspresi Embok ketika mengetahui perihal ini. Nariyah sudah mempersiapkan bahwa yang pertama kali Ia lakukan ketika sampai di rumah adalah mencium kaki Embok.
Namun, nahas. Kecerahan senja menjelang magrib yang dirasa oleh Nariyah tiba-tiba redup seredup-redupnya. Beberapa langkah sebelum menggapai rumahnya, ia melihat kerumunan banyak orang sedang menggerumuti rumahnya. Tarub terpampang menghiasi halaman rumahnya.
Pada salah satu tiangnya berkibar bendera kuning. Salah satu tiangnya lagi berkibar bendera putih. Beberapa orang tengahmembaca surah Yasin, beberapa menangis. Memekikkan telinga Nariyah. Keinginan memamerkan impiannya, redup bersama-sama dengan senja yang mulai berduyun-duyun pergi. Air matanya berlinang deras bersama dengan seratus empat belas surah, lalu melayang bersama arwah Embok.
Kini Nariyah hanya hidup bersama seratus empat belas surah, namun dengan situasi yang berbeda. Perekonomian hidupnya semakin membaik, sebab Nariyah percaya bahwa seratus empat belas adalah obat bagi segala obat yang diracik langsung oleh langit.~
Note.
Seratus Empat Belas adalah jumlah semua surah yang ada di Al-Quran