Kitab al-Tanbîhât al-Wâjibât Liman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarât (Nasehat Mbah Hasyim dalam pelaksanaan acara Maulid)

0

Mukaddimah

Beberapa bulan yang lalu, kita dihebohkan oleh sebuah video yang viral di media sosial, memperlihatkan biduan yang sedang bernyanyi dengan latar belakang Backdrop bertuliskan “Pengajian Maulid Nabi Muhammad s.a.w.”.

Dalam video itu tampak beberapa perempuan dan dua orang laki-laki yang sedang berjoget mengikuti alunan musik yang dibawa oleh sang biduan. Sesaat setelah video tersebut viral, ragam komentar yang dilayangkan oleh netizen memenuhi jagat media sosial. Tak sedikit dari mereka menyayangkan dan menyesali acara tersebut. Acara yang seharusnya khidmat dan khusyuk menjadi ajang kemungkaran yang tak perlu terjadi, terlebih di acara yang menjadi rangkaian dari kegiatan Maulid Nabi Muhammad s.a.w.. Lalu, bagaimana pandangan ulama mengenai acara maulid yang digabung dengan suatu kemungkaran? Di bawah ini, penulis akan memaparkan sebuah kitab yang bernama “al-Tanbîhât al-Wâjibât Liman Yas’na’ al-Maulid bi al-Munkarât” karya Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.

Fenomena Pelaksanaan Maulid Dengan Kemungkaran

Kitab al-Tanbîhât al-Wâjibât Liman Yas’na’ al-Maulid bi al-Munkarât adalah salah satu karya Pendiri sekaligus Rais Akbar Nahdlatul Ulama, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Secara harfiah nama kita kitab ini bisa dimaknai dengan teguran-teguran yang wajib disampaikan kepada orang yang mengadakan maulid dengan kemungkaran. Motivasi Mbah Hasyim dalam menulis kitab ini berangkat dari pengamatan yang beliau lakukan di tengah-tengah masyarakat tatkala bulan maulid. Tidak sedikit dari lapisan masyarakat yang seringkali mencampur adukkan kegiatan maulid dengan aktivitas lain yang dalam kacamata syariat tidak tepat, bahkan menciderai kemuliaan maulid.

Di awal kitab ini, Mbah Hasyim menceritakan pengalamannya waktu menghadiri perayaan Maulid Nabi di salah satu pesantren, tepatnya pada malam Senin tanggal 25 Rabiul Awal tahun 1355 H kira-kira bertepatan dengan tanggal 18 Juni 1936 M. Dalam perkumpulan itu, tampak beberapa orang yang menghadirkan alat-alat musik, kemudian membaca al-Qur’an dan dilanjutkan dengan membaca kisah maulid Nabi. Setelah segmen acara selesai, di tempat yang sama, mereka berbuat kemungkaran yang tidak sepatutnya dilakukan di area di mana peringatan Maulid Nabi dilaksanakan. Kemungkaran yang dilihat oleh Mbah Hasyim adalah mengadakan pencak, tinju, bermain musik yang menghadirkan wanita sebagai biduan dan berjoget bersama. Tentu saja, aktivitas-aktivitas semacam itu mencoreng kemuliaan peringatan Maulid Nabi Muhammad s.a.w. yang harus dimuliakan.

Dalam kitab ini, Mbah Hasyim mengecam praktik maulid yang di dalamnya terdapat kemungkaran seperti percampuran laki-laki dan perempuan, pemutaran musik yang membuat hadirin lalai sehingga tidak merasakan kekhidmatan dan kekhusyuan di dalamnya, serta pemborosan biaya yang tidak masuk akal. Karena berangkat dari pengamatan secara langsung, maka kitab ini mempunyai analisis yang cukup tajam, baik pada sisi validitas data maupun pada argumen dalil yang tersaji. Karena itu, tatkala dicetak untuk pertama kalinya, sekitar tahun 1300 H, bertepatan dengan tahun 1936 M, kitab ini mendapatkan pengantar dari beberapa ulama al-Azhar, seperti Syaikh Yusuf al-Dijwi, Syaikh Mustafa Abu Yusuf al-Hammami, dan Syaikh Ahmad Sa’ad Ali.

Senada dengan kecaman yang dilontarkan oleh Mbah Hasyim dalam kitab ini terhadap orang-orang yang melakukan kemungkaran dalam kegiatan maulid, ketiga ulama al-Azhar di atas menyampaikan hal yang sama di pengantarnya dalam kitab tersebut. Menurut ketiga ulama al-Azhar, Iblis tidak akan pernah senang apabila peringatan maulid dilakukan secara bersih tanpa kemungkaran di dalamnya, sebagaimana ia tidak pernah senang apabila melihat orang mukmin yang berbuat kebaikan. Karena itulah, Iblis selalu berupaya keras untuk membisikkan keburukan kepada orang yang merayakan maulid. Jika bisikan itu berhasil, maka banyak dijumpai fenomena yang kerap terjadi di tengah-tengah masyarakat berupa kemungkaran yang seharusnya tidak perlu ada.

Selanjutnya, ketiga ulama al-Azhar itu memberikan gambaran sosiologis bahwa fenomena kemungkaran dalam pelaksanaan kegiatan Maulid Nabi, tidak hanya terjadi di Indonesia, sebagaimana yang dipaparkan oleh Mbah Hasyim dalam kitab al-Tanbîhât al-Wâjibât Liman Yas’na’ al-Maulid bi al-Munkarât. Di Mesir sendiri, menurut penuturan ketiga Syaikh Al-Azhar tersebut bahwa peringatan Maulid justru melenceng dari tujuan utamanya. Alih-alih memperingati kehidupan Nabi, sebagian pembaca dan pemimpin shalawat malah sibuk melantunkan kata-kata tak pantas tentang tubuh, cinta, dan rayuan. Fenomena tersebut turut menyumbang ikhtilath atau percampuran antara laki-laki dan perempuan sehingga vibes lebih membangkitkan hawa nafsu dari pada menumbuhkan iman. Konsekuenasinya, acara yang seharusnya membawa berkah justru berubah menjadi sumber keburukan.

NASEHAT MBAH HASYIM DALAM PELAKSANAAN ACARA MAULID

Nasehat Mbah Hasyim dalam kitab Tanbîhât al-Wâjibât Liman Yas’na’ al-Maulid bi al-Munkarât adalah bahwa peringatan Maulid Nabi Muhammad adalah berkumpulnya orang-orang untuk membaca al-Qur’an, membaca kisah Maulid Nabi diiringi dengan hadrah yang tetap menjaga etika, lalu makan bersama setelahnya adalah sesuatu yang boleh dan mustahab. Hal itu menurut Mbah Hasyim sesuai dengan praktik yang dilakukan oleh para ulama salafus shaleh. Beliau menyitir pendapat Syaikh Abu Syâmah dalam kitab al-Bâ’its fî Inkâri al-Bida’ wa al-Hawâdits bahwa perkara baru yang paling baik terdapat kota Irbil (Kurdistan, Irak Bagian Utara). Perkara baru yang dimaksud adalah tatkala bulan maulid tiba, penduduknya menampakkan kebahagiaan atas lahirnya Nabi Muhammad s.a.w. dengan cara memakai perhiasan, menyantuni para fakir miskin, dan perbuatan baik lainnya.

Menurut Mbah Hasyim, menampakkan kebahagiaan pada bulan maulid merupakan perilaku terpuji yang harus dilakukan oleh setiap umat muslim, baik laki-laki, maupun perempuan. Karena, menurut Syaikh Yusuf al-Nabhani di dalam kitab al-Anwâr al-Muhammadiyah, tatkala Nabi Muhammad s.a.w. dilahirkan, beliau langsung disusui oleh Tuswaibah, budak Abu Lahab. Selanjutnya Abu Lahab membebaskannya tatkala ia memberikan kabar gembira mengenai kelahiran keponakannya itu. dalam salah satu riwayat dikatakan, setelah Abu Lahab meninggal, dikatakan kepadanya: “Bagaimana keadaanmu wahai Abu Lahab? Dia menjawab: “Aku berada dalam neraka, kecuali diringankan siksaku pada malam Senin. Aku mampu menghisap air dari dua jariku, sebagai balasan karena membebaskan Tsuwaibah yang telah menyusui Nabi Muhammad s.a.w..

Selanjutnya Mbah Hasyim mengurai secara komprehensif komentar para ulama terkait riwayat di atas. Beliau menyitir pendapat Ibnu al-Jazarî: Jika Abu Lahab saja yang telah divonis oleh al-Qur’an sebagai orang kafir dan menjadi penghuni neraka, mendapat rahmat berupa keringanan siksa atas kelahiran Nabi Muhammad s.a.w.. Lalu bagaimana dengan orang-orang mukmin yang menjadi umat Nabi Muhammad s.a.w. yang begitu antusias menyambut kelahiran beliau dengan ekspresi kebahagiaan? Tentu saja, umat muslim lebih berhak atas peringatan maulid dari pada Abu Lahab, dan Allah s.w.t. akan memberikan pahala yang berlipat ganda serta memasukkan mereka ke dalam syurga-Nya yang agung.

Bagi Mbah Hasyim, meskipun perayaan maulid Nabi Muhammad s.a.w. merupakan amalan yang pahalanya begitu agung dan mulia, namun jika dalam praktiknya menjurus kepada maksiat dan kemungkaran yang nyata, maka hal itu wajib ditinggalkan. Lalu Mbah Hasyim menceritakan pada suatu ketika, ia mendapatkan kabar dari orang kepercayaannya bahwa di suatu desa yang bernama Siwulan, di kabupaten Madiun, dilaksanakan perayaan maulid. Tetapi, dalam perayaannya terjadi percampuran antara laki-kaki dan perempuan, sebagian hadirin dari kalangan laki-laki malah berpakaian seperti wanita.

Walhasil, terjadi fitnah di kalangan para penonton dari kalangan laki-laki dan perempuan, sehingga menimbulkan fitnah dari kedua belah pihak. Dari fitnah tersebut, kemudian memantik berbagai kerusakan yang tak terhitung jumlahnya. Bahkan sebagai konsekuensi dari akumulasi dari fitnah itu pula, sampai menyebabkan perceraian di antara suami dan istri. Bagi Mbah Hasyim, fenomena semua itu merupakan kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan dari acara maulid yang dibalut dengan perbuatan-perbuatan mungkar.

Penutup

Dalam rangka menjaga kemuliaan maulid Nabi Muhammad s.a.w., yang oleh para ulama dikatakan sebagai bulan yang penuh dengan kemuliaan, dan keberkahan, maka menjaga kemuliaan dan keberkahannya adalah keharusan. Salah satu usaha dalam menjaga kemuliaan bulan maulid adalah tidak membalut perayaannya dengan anasir-anasir yang merusak. Kitab Tanbîhât al-Wâjibât Liman Yas’na’ al-Maulid bi al-Munkarât adalah karya yang berisi nasehat Mbah Hasyim kepada kaum muslimin yang telah keluar dari koridor perayaan maulid. Karena itu, sebagai warga NU yang menjadikan Mbah Hasyim sebagai panutan, maka mengembalikan visi dan misi maulid sebagaimana dicontohkan para ulama adalah keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar. Wallâhu A’lam.

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.