Pada kajian ini, kita akan membahas persoalan penting yang seringkali kita anggap remeh, namun berdampak pada kualitas seorang mukmin, yakni mengenai etika.
Etika dalam pengertian ini adalah akhlak. Al-Ghazali mendefinisikannya sebagai berikut:
عِبَارَةٌ عَنْ هَيْئَةٍ فِي النَّفْسِ رَاسِخَةٍ، عَنْهَا تَصْدُرُ الأَفْعَالُ بِسُهُولَةٍ وَيُسْرِ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إِلَى فِكْرٍ وَرَوِيَّةٍ
Akhlak adalah sifat yang tertanam kuat di dalam jiwa yang darinya lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan akal terlebih dahulu.
Dalam pengertian secara sosiologis, pengertian akhlak berimplikasi pada makna yang baik, seperti akhlak mulia. Sebab, etika atau akhlak merupakan bagian dari pondasi agama Islam, di samping akidah dan Syariah, yakni Ihsan. Karena itu, Syaikh Ibnu Abbad al-Randi, pensyarah Kitab Hikam menegaskan:
وَآكَدُ مَا يَنبَغِي أَنْ يَجْتَنِبَهُ ٱلمُرِيدُ مِن مُّقْتَضَيَاتِ هَذِهِ ٱلْجُمْلَةِ ٱلَّتِي ظَهَرَ لَنَا أَنَّهَا مُرَادُ ٱلمُؤَلِّفِ رَحِمَهُ ٱللّٰهُ تَعَالَى مِنْ أَنْوَاعِ سُوءِ ٱلْأَدَبِ أَنْ يُوَطِّنَ خَاطِرَهُ عَلَى شَيْءٍ مِّنَ ٱلِٱعْتِرَاضِ عَلَى ٱللّٰهِ تَعَالَى وَتَعَاطِي ٱلتَّدْبِيرِ مَعَهُ وَٱلتَّبَرُّمِ بِأَحْكَامِهِ ٱلْمُؤْلِمَةِ فِي نَفْسِهِ أَوْ غَيْرِهِ وَأَنْ يُسْرِحَ لِسَانَهُ بِٱلشَّكْوَى إِلَى ٱلْخَلْقِ وَٱلْعَيْبِ لِمَا يُوَافِقُ هَوَاهُ أَوْ نَقْصٍ فِي نَظَرِهِ مِمَّا يَرَاهُ مِنَ ٱلْحَقِّ.
Dan hal yang paling penting yang seharusnya dijauhi oleh seorang murid atau penempuh jalan tasawuf dari segala konsekuensi kalimat ini (yang tampak bagi kita bahwa inilah maksud penulis, semoga Allah merahmatinya) dari berbagai bentuk buruk etika ialah menanamkan dalam hatinya suatu kecenderungan untuk menentang ketentuan Allah s.w.t., atau berusaha mengatur urusan bersama Allah (seakan-akan ikut menentukan takdir), atau merasa kesal terhadap hukum-hukum Allah yang terasa menyakitkan baik bagi dirinya maupun bagi orang lain, serta melampiaskan lisannya untuk mengeluh kepada makhluk, atau mencela sesuatu yang tidak sesuai dengan hawa nafsunya, atau menganggap kekurangan pada sesuatu yang ia lihat berasal dari Allah.
Dalam rangka memahami pernyataan Syaikh Ibnu Abbad al-Randi di atas, setidaknya kita akan mengklasifikasikannya secara umum ke dalam tiga pembahasan, yaitu: (1) Sebagai seorang murid yang menempuh laku tasawuf, tidak patut baginya untuk menentang ketentuan Allah atau “An Yuwatthina Khâthirahû ‘Alâ Syai’in min al-I’tirâdh ‘Alallâh”. Sikap I’tirâdh atau penentangan terhadap Allah merupakan bentuk dari kesombongan yang harus dijauhi oleh seorang hamba, apalagi oleh seorang yang penempuh jalan tasawuf. Ketentuan yang Allah tetapkan seyogyanya harus diterima dengan ikhlas dan penuh tawakkal. Karena, penerimaan seorang hamba kepada ketentuan yang telah ditetapkan oleh-Nya, pada hakikatnya, ia telah ridha kepada Allah dan menjadikan-Nya sebagai Tuhan yang mengatur segala sesuatu.
Senada dengan itu, dalam sebuah hadits qudsi disebutkan: “Barang siapa yang tidak ridha dengan ketentuan-Ku, dan tidak bersabar atas cobaan-Ku, hendaklah ia keluar dari kolong langit dan bumi-Ku, dan carilah Tuhan selain Aku”. Abdurrauf al-Munawî dalam Faidh al-Qadîr memberikan syarah atas hadits Qudsi tersebut dengan pernyataan:
قَالَ اللهُ تَعَالَى: مَنْ لَمْ يَرْضَ بِقَضَائِي وَلَمْ يَصْبِرْ عَلَى بَلَائِي فَلْيَلْتَمِسْ رَبًّا سِوَايَ .قَالَ الغَزَالِيُّ: كَأَنَّهُ يَقُولُ هٰذَا لَا يَرْضَانَا رَبًّا حَتَّى سَخِطَ، فَلْيَتَّخِذْ رَبًّا آخَرَ يَرْضَاهُ، وَهٰذَا غَايَةُ الوَعِيدِ وَالتَّهْدِيدِ لِمَنْ عَقَلَ وَلِمَنْ صَدَّقَ. وَلَقَدْ صَدَقَ مَنْ قَالَ إِذْ سُئِلَ: مَا العُبُودِيَّةُ وَالرُّبُوبِيَّةُ؟ فَقَالَ: الرَّبُّ يَقْضِي وَالعَبْدُ يَصْبِرُ. وَلَيْسَ فِي السُّخْطِ إِلَّا الهَمُّ وَالضَّجَرُ فِي الحَالِ، وَالوِزْرُ وَالعُقُوبَةُ فِي المَآلِ، بِلَا فَائِدَةٍ، إِذِ القَضَاءُ نَافِذٌ، فَلَا يَنْصَرِفُ بِالهَلَعِ وَالجَزَعِ، كَمَا قِيلَ: مَا قَدْ قَضَى يَا نَفْسُ فَاصْطَبِرِي لَهُ # وَلَكِ الأَمَانُ مِنَ الَّذِي لَمْ يُقَدَّرِ .
Allah Ta‘ala berfirman: “Barang siapa yang tidak rela dengan ketetapan-Ku dan tidak sabar atas ujian-Ku, maka hendaklah ia mencari tuhan selain Aku”. Al-Ghazali berkata: Seakan-akan Allah berfirman: “Orang ini tidak ridha menjadikan-Ku sebagai Tuhannya sampai ia menentang takdir-Ku, maka silakan ia mencari tuhan lain yang ia mau”. Ini adalah ancaman dan peringatan yang sangat keras bagi orang yang berakal dan beriman. Dan sungguh benar orang yang berkata ketika ditanya: “Apakah makna penghambaan dan ketuhanan?”. Ia menjawab: “Tuhan yang menetapkan segala sesuatu sedangkan hamba hanya bisa bersabar”. Dan ketahuilah, dalam sikap tidak ridha atau penentangan terhadap takdir, tidak ada hasil apapun selain kegelisahan di dunia, serta dosa dan hukuman yang akan menanti di akhirat kelak, tanpa ada manfaat sedikitpun. Karena ketetapan Allah pasti berlaku dan ia tidak bisa ditolak dengan keluh kesah, sebagaimana dikatakan: “Wahai jiwaku, bersabarlah atas apa yang telah Allah tetapkan bagimu # Maka engkau akan aman dari apa yang tidak ditakdirkan untukmu”.
Pembahasan yang ke (2) adalah tidak patut bagi seorang murid untuk memaksakan kehendaknya dengan cara berusaha mengatur urusan takdir bersama Allah. Sikap seperti ini menafikan konsep tafwîdh dan tawakkal atau penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah setelah melakukan ikhtiar dan usaha. Allah s.w.t. berfirman:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. (QS.al-Thalaq, 65: 03).
Mengenai ayat tersebut, al-Thabari memberikan penjelasan bahwa orang yang senantiasa bertawakkal kepada Allah dalam artian tidak memaksakan kehendaknya yang telah digariskan oleh-Nya dengan cara tafwîdh, maka Dia akan mencukupkan kebutuhan hidupnya.
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ فِي أُمُورِهِ، وَيُفَوِّضْهَا إِلَيْهِ فَهُوَ كَافِيهِ.
Dan barang siapa bertakwa kepada Allah dalam urusan-urusannya, serta menyerahkannya kepada-Nya (bertawakal sepenuhnya), maka Allah akan mencukupinya.
Poin yang ke (3) adalah tidak patut bagi seorang penempuh laku tasawuf untuk merasa kesal terhadap ketentuan-ketentuan Allah yang terasa menyakitkan. Dalam tradisi ahlusunnah wal jamaah, percaya qadha dan qadar berupa takdir yang baik maupun yang buruk merupakan pondasi keimanan seseorang. Rasulullah s.a.w. bersabda:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ حَتَّى يَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَهُ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَهُ
Dari Jabir bin Abdillah r.a. menginformasikan: Rasulullah s.a.w. bersabda: “Seorang hamba tidak beriman (secara sempurna) hingga ia beriman kepada takdir, baik yang baik maupun yang buruk, hingga ia meyakini bahwa apa yang menimpanya tidak akan luput darinya, dan apa yang luput darinya tidak akan menimpanya”. (HR. Tirmidzi, 2070).
Al-Mubârakfûrî dalam Tuhfah al-Ahwadzî menjelaskan bahwa seseorang belum bisa dikatakan beriman seutuhnya hingga ia betul-betul beriman kepada takdir Allah, berupa ketentuan yang baik maupun ketentuan yang buruk.
قَوْلُهُ: (حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ) أَيْ: بِأَنَّ جَمِيعَ الأُمُورِ الكَائِنَةِ، خَيْرَهَا وَشَرَّهَا، حُلْوَهَا وَمُرَّهَا، بِقَضَائِهِ وَقَدَرِهِ وَإِرَادَتِهِ وَأَمْرِهِ، وَإِنَّهُ لَيْسَ فِيهَا لَهُمْ إِلَّا مُجَرَّدُ الكَسْبِ وَمُبَاشَرَةُ الفِعْلِ. (حَتَّى يَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَهُ) مِنَ النِّعْمَةِ وَالبَلِيَّةِ وَالطَّاعَةِ وَالمَعْصِيَةِ، مِمَّا قَدَّرَهُ اللهُ لَهُ وَعَلَيْهِ، (لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَهُ) أَيْ: لِيُجَاوِزَهُ، (وَأَنَّ مَا أَخْطَأَهُ) مِنَ الخَيْرِ وَالشَّرِّ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَهُ. وَهٰذَا وُضِعَ مَوْضِعَ المُحَالِ، كَأَنَّهُ قِيلَ: مُحَالٌ أَنْ يُخْطِئَهُ، وَفِيهِ ثَلَاثُ مُبَالَغَاتٍ: دُخُولُ “أَنَّ”، وَلُحُوقُ اللَّامِ المُؤَكِّدَةِ لِلنَّفْيِ، وَتَسْلِيطُ النَّفْيِ عَلَى الكَيْنُونَةِ، وَسَرَيَانُهُ فِي الخَبَرِ. وَهُوَ مَضْمُونُ قَوْلِهِ تَعَالَى: قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللهُ لَنَا. وَفِيهِ حَثٌّ عَلَى التَّوَكُّلِ وَالرِّضَا، وَنَفْيُ الحَوْلِ وَالقُوَّةِ، وَمُلَازَمَةُ القَنَاعَةِ، وَالصَّبْرِ عَلَى المَصَائِبِ.
Perkataannya: Hingga ia beriman kepada takdir, baik dan buruknya, yaitu bahwa semua urusan yang terjadi, baik dan buruknya, manis dan pahitnya, semuanya atas ketentuan, takdir, kehendak, dan perintah Allah. Dan sesungguhnya, tidak ada bagi manusia di dalamnya melainkan sekedar berusaha dan pelaksana perbuatan. Hingga ia mengetahui bahwa apa yang menimpanya berupa nikmat maupun musibah, ketaatan maupun kemaksiatan, semuanya adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan untuknya dan atasnya. Tidak akan meleset darinya, yakni, tidak akan melewatinya, dan bahwa apa yang luput darinya dari kebaikan maupun keburukan, tidak akan menimpanya. Ungkapan ini ditempatkan pada posisi sesuatu yang mustahil, seolah dikatakan: “Mustahil hal itu luput darinya. Di dalamnya terdapat tiga bentuk penegasan: (1) masuknya kata “anna”, (2) disertakannya huruf lam yang menegaskan penafian, dan (3) diarahkan penafian pada keberadaan sehingga menjalar pada khabar. Maknanya sejalan dengan firman Allah Ta‘ala: Katakanlah, tidak akan menimpa kami kecuali apa yang telah Allah tetapkan bagi kami. Di dalamnya terdapat dorongan untuk bertawakal dan ridha, meniadakan daya dan kekuatan (selain dari Allah), serta menumbuhkan sikap qana‘ah dan sabar atas musibah.
Dari penjelasan al-Mubârakfûrî di atas ada tiga konsekunsi pemahaman yang perlu digaris-bawahi, yaitu (1) berupa dorongan untuk bertawakal dan ridha kepada ketentuan Allah s.w.t., (2) meniadakan daya dan kekuatan selain dari Allah, serta (3) menumbuhkan sikap qana‘ah dan sabar atas musibah. Keimanan seseorang kepada takdir tersebut merupakan keyakinan bahwa segala kehendak dan ketetapan Allah s.a.w. atas sesuatu yang terjadi di alam semesta, terdiri dari dua hal, yaitu baik daan buruk. Dalam hal ini, manusia hanyalah pelaku yang berusaha melakukan sesuatu. Tetapi hanya Allah yang memiliki kendali penuh atas hasil dari setiap usaha mereka. Dengan kata lain, meskipun manusia memiliki pilihan dan upaya, keputusan akhir tetap ditentukan oleh kehendak dan takdir Allah. Karena itu, menyikapi takdir dan ketetapan Allah dalam bentuk yang baik maupun yang buruk dengan kesabaran adalah keniscayaan yang tidak bisa ditawar-tawar. Wallahu A’lam.
(Pengajian Syarah Hikam Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar pertemuan ke- 102 live di Channel Youtub multimedia kiaimiftach).