
Karya: Rizka Ainur Ramadhani
(SMKN 1 Sukorejo)
Di sebuah desa yang jauh dari riuhnya kota, berdirilah sebuah pondok pesantren sederhana bernama Pondok Pesantren Al-Mubarok. Bangunannya tidaklah megah, hanya terdiri dari beberapa ruang belajar dengan dinding yang catnya mulai memudar dimakan waktu.
Di bagian depan terdapat sebuah masjid kecil yang menjadi pusat kegiatan, tempat para santri menunaikan salat berjamaah, mengaji Al-Qur’an, dan mendengarkan kajian dari para ustaz. Halamannya luas, namun beralaskan tanah yang berdebu ketika kemarau tiba, dan berubah becek penuh genangan kala musim hujan datang. Meski begitu, suasana pesantren selalu terasa hidup.
Di setiap sudutnya tercium aroma kayu dari bangunan lama yang berdiri kokoh, bercampur dengan wangi khas masakan sederhana dari dapur santri yang mengepul di pagi dan sore hari. Kamar-kamar santri berjajar rapi, sebagian besar berisi rak-rak buku, sajadah, dan beberapa pakaian yang digantung seadanya. Tidak ada fasilitas mewah di sana, tetapi semangat belajar dan keikhlasan menjadi hiasan terindah yang membuat tempat itu terasa istimewa.
Setiap hari, lantunan ayat suci Al-Qur’an menggema dari bibir para santri, berpadu dengan suara burung-burung yang berkicau di pepohonan sekitar. Malam hari, suasana hening hanya dipecah oleh suara lirih santri yang sedang menghafal kitab, menunduk khusyuk di bawah cahaya lampu yang remang-remang. Di balik kesederhanaan itu, ada cahaya ilmu dan ketulusan yang terus menyala—cahaya yang tak pernah padam, justru semakin terang karena dipupuk dengan doa dan kesabaran.
Ratusan santri dari berbagai penjuru datang ke tempat ini dengan niat menimba ilmu agama, meninggalkan kampung halaman dan keluarga demi menuntut ilmu yang kelak menjadi bekal hidup. Dari wajah-wajah mereka, terpancar semangat yang sama: belajar, beribadah, dan memperbaiki diri. Di antara sekian banyak santri itu, ada seorang pemuda bernama Muhammad Fulan.
Fulan dikenal sebagai santri yang pendiam, jarang berbicara kecuali saat perlu, tetapi tindak-tanduknya mencerminkan ketekunan. Ia rajin mengikuti setiap kegiatan pesantren, mulai dari salat berjamaah, kajian kitab kuning, hingga hafalan Al-Qur’an. Ketika santri lain larut dalam canda di sela-sela waktu luang, Fulan lebih sering terlihat duduk dengan sebuah buku di pangkuannya atau membantu temannya yang kesulitan memahami pelajaran. Karena itu, banyak santri menganggapnya sebagai sosok yang bisa diandalkan, meski ia sendiri tidak pernah merasa istimewa.
Tak hanya menekuni pelajaran agama, Fulan juga menempuh pendidikan formal di SMK Negeri Nurul Huda, mengambil jurusan Teknik Kendaraan Ringan (TKR). Ia menjalani hari-harinya dengan jadwal yang padat, pagi hingga siang berada di sekolah, lalu sore hingga malam kembali ke pesantren untuk mengaji. Meski lelah sering menyapa, semangatnya tidak pernah surut. Di sekolah, ia termasuk siswa yang rajin, disiplin, dan tak segan membantu teman-temannya memahami teori maupun praktik di bengkel.
Kini, Fulan sudah duduk di bangku kelas XII tahun terakhir sebelum ia lulus. Ada rasa haru dan juga tekad yang makin menguat dalam dirinya. Ia tahu, sebentar lagi masa belajarnya di sekolah akan berakhir, dan tantangan kehidupan yang lebih nyata sudah menunggu di luar. Namun, sebagai seorang santri sekaligus pelajar, ia berpegang pada keyakinan bahwa ilmu yang ditimba dengan kesungguhan dan keikhlasan pasti akan membawanya ke jalan kebaikan.
Di sekolah, Fulan sering diminta guru untuk membantu menjelaskan pelajaran yang dianggap sulit oleh teman-temannya, terutama materi perhitungan teknis atau praktik di bengkel yang membutuhkan ketelitian. Teman-temannya merasa nyaman bertanya padanya karena Fulan selalu sabar, tidak pernah menunjukkan wajah kesal, meski harus mengulang penjelasan berkali-kali. Begitu pula di pesantren, saat malam tiba dan jadwal setoran hafalan berlangsung, Fulan kerap menemani teman-temannya yang masih kesulitan. Dengan suara lembut ia membantu mereka mengulang hafalan, bahkan terkadang ikut menuliskan potongan ayat di kertas kecil agar mudah diingat. Teman-temannya menyebutnya “penolong yang tak kenal lelah.”
Namun, ada satu hal yang membuat Fulan berbeda dari kebanyakan santri seusianya, sikapnya yang sangat hati-hati terhadap berita di media sosial. Ketika teman-temannya sering cepat menyebarkan kabar yang mereka baca di gawai, Fulan memilih untuk menahan diri. Ia tidak ingin terburu-buru mempercayai sesuatu yang belum jelas sumbernya. “Tidak semua yang kita baca itu benar, dan tidak semua yang benar pantas untuk kita sebarkan,” begitu nasihatnya setiap kali ditanya. Kebiasaannya ini tumbuh dari didikan kiai di pesantren yang selalu menekankan pentingnya tabayyun, memastikan kebenaran sebelum menyampaikan sesuatu. Sikap ini membuat Fulan disegani, bukan hanya karena kecerdasannya, tetapi juga karena kebijaksanaannya dalam bersikap di era digital.
Santri di Pondok Al-Mubarok sebenarnya tidak diperkenankan menggunakan handphone. Peraturan ini dibuat untuk menjaga konsentrasi para santri agar lebih fokus pada kegiatan belajar, ibadah, dan mengaji. Namun, karena sebagian santri juga bersekolah di luar pesantren, seperti Fulan yang menempuh pendidikan di SMK Negeri Nurul Huda, maka pihak sekolah memberikan kelonggaran, siswa diperbolehkan membawa HP saat jam pelajaran berlangsung. HP itu digunakan untuk mencari materi, mengakses aplikasi pembelajaran, atau mengerjakan tugas yang membutuhkan referensi digital.
Sayangnya, kelonggaran ini sering menimbulkan masalah baru. Tidak semua siswa mampu mengendalikan diri. Di sela-sela waktu belajar, ada yang tergoda membuka media sosial, melihat unggahan terbaru, atau membaca berita yang lewat di beranda mereka. Padahal, tidak semua berita tersebut jelas sumbernya, bahkan banyak yang mengandung provokasi atau informasi menyesatkan. Akibatnya, kelas yang seharusnya kondusif untuk belajar terkadang menjadi ricuh hanya karena kabar dari dunia maya. Ada yang langsung percaya begitu saja, ada pula yang terburu-buru membagikan informasi itu kepada teman lain tanpa berpikir panjang. Situasi ini sering membuat guru kewalahan, karena harus meluruskan isu-isu yang tidak benar dan menenangkan siswa agar kembali fokus pada pelajaran.
Berbeda dengan kebanyakan temannya, Fulan memilih berhati-hati. Ia lebih sering menggunakan HP sekadar untuk mencari materi teknik otomotif atau menyimpan catatan digital. Baginya, HP hanyalah sarana, bukan tempat mencari kesibukan yang mengganggu tujuan belajar. Justru ia sering mengingatkan teman-temannya, “Kalau ada berita, jangan langsung percaya. Tabayyun dulu. Dunia maya itu luas, tapi kebenaran tidak selalu ada di setiap sudutnya.”
Suatu siang, setelah jam pelajaran usai, suasana kelas XII TKR cukup riuh. Sebagian siswa sudah membereskan buku dan bersiap pulang, sementara yang lain masih asyik dengan ponsel mereka. Tiba-tiba, notifikasi dari grup WhatsApp kelas berbunyi nyaring. Seorang teman, Raka, mengirim tautan berita dengan judul besar yang provokatif:
“SMK Negeri Nurul Huda Akan Ditutup, Semua Siswa Dipindahkan ke Sekolah Lain!”
Sekilas, judul itu tampak serius. Foto gedung sekolah ikut disertakan, lengkap dengan logo media yang tidak jelas. “Waduh, beneran ini?” seru Raka sambil menunjuk layar ponselnya. Seketika kelas menjadi gaduh. “Kalau sekolah ditutup, kita gimana dong?” tanya Andi panik. “Astaga, berarti kita nggak bisa ikut ujian di sini?” sambung Taufik dengan wajah pucat. “Eh, jangan-jangan ini gara-gara ada demo kemarin, ya?” celetuk yang lain.
Fulan yang duduk di bangku belakang hanya menghela napas pelan. Ia menatap layar ponselnya, lalu tersenyum tipis. Ia sudah terbiasa melihat berita semacam itu. Dengan langkah tenang, ia mendekati Raka dan teman-temannya. “Coba sini, Raka,” katanya sambil meraih ponsel temannya. “Kamu baca sumber medianya sudah jelas belum?” Raka mengernyit. “Eh… nggak tahu, Lan. Pokoknya ini muncul di grup keluarga, jadi aku share ke sini biar teman-teman juga tahu.”
Fulan menggeleng pelan. “Nah, ini salah satu masalah kita. Kadang kita langsung percaya, padahal belum dicek dulu kebenarannya.” Andi masih penasaran. “Tapi kan ada fotonya, Lan. Masa iya bohong?” Fulan tersenyum. “Foto bisa diambil dari mana saja. Bisa jadi itu foto lama atau hasil editan. Lagi pula, coba perhatikan tulisannya, banyak kata yang tidak baku dan tanda bacanya berantakan. Media resmi biasanya tidak seperti ini.” Taufik menimpali, “Lalu gimana cara taunya hoaks atau bukan?” Fulan lalu membuka browser di ponselnya. “Kita tabayyun. Kita cek ke situs resmi sekolah atau akun media sosial resmi. Nih, lihat,” Fulan menunjukkan layar HP-nya, menampilkan postingan terbaru dari akun resmi sekolah: ‘Pengumuman: Kegiatan belajar mengajar tetap berjalan seperti biasa. Jangan percaya pada kabar yang tidak jelas sumbernya.’
Semua siswa terdiam sejenak. Wajah mereka berganti lega bercampur malu. “Alhamdulillah, berarti aman ya,” ujar Andi sambil mengusap dada. Raka tersipu. “Hehe, maaf teman-teman, aku tadi keburu share. Niatnya biar kalian tahu, tapi ternyata malah bikin heboh.”
Fulan menepuk bahu Raka dengan ramah. “Nggak apa-apa, Rak. Justru ini jadi pelajaran buat kita semua. Rasulullah sudah mengingatkan, kalau datang berita dari orang yang belum jelas, maka kita harus periksa dulu. Jangan sampai kita jadi penyebar kabar yang tidak benar.”
Teman-temannya mengangguk pelan, merasa tersentuh dengan nasihat sederhana itu. Suasana kelas pun kembali tenang. Andi tersenyum kecil. “Lan, mulai sekarang kalau ada berita aneh-aneh, kita konfirmasi ke kamu dulu aja, ya. Kamu kayaknya cocok jadi ‘fact-checker’ kelas.” Mereka semua tertawa. Fulan ikut tersenyum, tetapi dalam hati ia berdoa semoga kebiasaan teman-temannya untuk lebih berhati-hati dalam menerima informasi benar-benar tumbuh sejak hari itu.
Malam itu, selepas salat Isya, para santri Pondok Pesantren Al-Mubarok berkumpul di aula sederhana untuk mengikuti pengajian rutin. Lantunan shalawat menggema lembut sebelum Ustadz Karim, salah satu pengasuh pesantren, naik ke mimbar kecil di depan para santri. “Anak-anakku semua,” suara Ustadz Karim tenang namun penuh wibawa. “Hari ini, saya mendengar cerita dari sekolah kalian. Katanya ada berita hoaks yang sempat membuat gaduh di kelas.” Beberapa santri saling melirik, sebagian tersenyum malu. Fulan menunduk, tidak ingin terlihat menonjol.
Ustadz Karim melanjutkan, “Inilah yang sering terjadi sekarang. Handphone dan media sosial bisa jadi manfaat besar kalau digunakan dengan benar, tapi bisa jadi fitnah besar kalau digunakan sembarangan. Kalian tahu, Rasulullah ﷺ pernah bersabda: ‘Cukuplah seseorang itu dianggap berdusta jika ia menceritakan semua yang ia dengar.’”
Suasana hening. Para santri menyimak dengan khidmat.
“Artinya,” lanjut Ustadz, “tidak semua berita yang kalian baca itu benar. Bahkan bisa jadi hanya rekayasa. Kalau kalian sebarkan tanpa cek dulu, sama saja kalian ikut menyebarkan kebohongan. Apa jadinya kalau kebohongan itu menyakiti orang lain? Kalau yang difitnah itu teman kalian sendiri? Atau bahkan guru kalian?”
Seorang santri di barisan depan angkat tangan. “Tapi Ustadz, kadang kita bingung. Berita itu terlihat nyata, ada fotonya, ada videonya. Bagaimana cara membedakan?”
Ustadz Karim tersenyum. “Bagus, pertanyaan yang penting. Pertama, cek sumbernya. Media resmi insyaAllah lebih bisa dipercaya daripada akun yang tidak jelas. Kedua, tabayyun. Cari konfirmasi, lihat apakah ada pernyataan resmi dari pihak terkait. Ketiga, jangan mudah terpancing emosi. Kalau judulnya terlalu heboh, justru biasanya itu jebakan.”
Fulan yang duduk di barisan tengah, memberanikan diri angkat tangan. “Ustadz, kalau kita sudah tahu itu hoaks, apa yang sebaiknya kita lakukan? Apakah cukup diam, atau harus menegur teman yang menyebarkannya?”
Ustadz Karim menatap Fulan penuh bangga. “Nah, ini pertanyaan yang bagus. Kalau kalian tahu itu salah, jangan diam. Tapi menegurnya dengan adab yang baik. Jangan langsung marah atau memojokkan. Ingat, kita ingin memperbaiki, bukan mempermalukan. Sampaikan dengan cara lembut, seperti yang sudah kamu lakukan, Fulan.”
Beberapa santri menoleh pada Fulan, tersenyum, seakan memberi hormat diam-diam. Wajah Fulan memerah, ia menunduk semakin dalam.
Ustadz Karim lalu menutup dengan nasihat yang menyentuh, “Anak-anakku, kalian adalah santri. Kalian belajar bukan hanya membaca kitab, tapi juga menjaga hati dan lisan. Media sosial itu bagian dari lisan kita hari ini. Kalau kita salah menulis atau membagikan sesuatu, sama saja kita salah bicara. Maka jagalah jari kalian, seperti kalian menjaga lisan kalian.”
Suasana aula menjadi hening. Hanya terdengar desiran kipas angin tua yang berputar pelan. Hati para santri terasa disentuh. Mereka sadar, tanggung jawab sebagai seorang santri bukan hanya di masjid atau kelas, tapi juga di dunia maya.
Sebelum menutup pengajian, Ustadz Karim berkata lembut, “Mari, kita berdoa. Semoga Allah selalu menjaga hati, lisan, dan jari-jari kita dari hal-hal yang membawa keburukan. Dan semoga ilmu yang kita pelajari di sini bisa jadi cahaya, bukan hanya di dunia nyata, tapi juga di dunia maya.”
Para santri mengaminkan dengan penuh khusyuk. Malam itu, Pondok Al-Mubarok terasa lebih damai, seakan cahaya ilmu dan adab semakin terang menyinari hati-hati mereka.
Beberapa minggu setelah nasihat Ustadz Karim, sebuah kejadian besar mengguncang suasana di SMK Negeri Nurul Huda. Siang itu, ketika pelajaran hampir usai, sebuah pesan berantai masuk ke grup WhatsApp kelas. Isinya mengejutkan: sebuah berita dengan judul besar-besaran menyebut bahwa salah satu guru otomotif mereka, Pak Ridwan, dituduh menerima uang dari siswa untuk meluluskan praktik bengkel.
Seketika grup kelas menjadi gaduh. “Wah, beneran ta iki?!” tulis salah satu siswa.
“Pantesan kemarin ada yang gampang banget nilainya naik,” balas yang lain.
“Kalau begini, guru kita bisa dipecat!” tambah seorang teman dengan emotikon marah.
Di kelas, suasana semakin panas. Ada yang berbisik-bisik, ada yang langsung menuduh, bahkan ada yang sudah membicarakan hal itu di luar grup.
Fulan yang sejak tadi diam, menatap layar HP dengan hati-hati. Ia mengenal betul Pak Ridwan. Guru itu dikenal sederhana, jujur, dan sering mengorbankan waktu bahkan uang pribadinya demi siswa. Fulan yakin, kabar itu tidak benar.
“Teman-teman,” Fulan akhirnya bersuara di kelas, dengan nada tenang. “Kalian yakin mau percaya begitu saja pada berita itu?”
“Lho, Fulan, ini kan ada buktinya, ada foto!” sela Bayu, salah satu temannya sambil menunjuk gambar yang tersebar.
Fulan mendekat, melihat foto itu. Ia tersenyum tipis. “Kalian perhatikan baik-baik. Foto ini editan. Coba lihat tangannya, tidak proporsional. Dan berita itu berasal dari akun tidak jelas, bukan media resmi.”
Kelas mulai tenang. Tapi ada yang masih ragu. “Tapi… kalau benar bagaimana?”
Fulan menghela napas pelan, lalu berkata dengan penuh keyakinan, “Kalau benar, pasti sekolah yang akan mengumumkan secara resmi. Kalau belum ada pengumuman, kewajiban kita adalah diam dan tabayyun. Jangan sampai kita ikut menyebarkan fitnah. Ingat nasihat Ustadz Karim: jari kita bisa jadi lisan yang menjerumuskan.”
Beberapa teman mulai terdiam, merasa bersalah.
Tiba-tiba pintu kelas terbuka. Pak Ridwan masuk sambil membawa buku catatan. Ia melihat wajah para siswa yang berbeda dari biasanya. Ada rasa canggung yang menyelimuti.
“Ada apa ini? Kok kalian sepi?” tanya beliau dengan senyum.
Fulan memberanikan diri berdiri. “Pak… maaf, ada berita yang tidak benar tentang Bapak di media sosial. Banyak teman yang sudah membaca, dan hampir percaya. Tapi saya yakin itu hoaks.”
Pak Ridwan tertegun. Matanya sedikit berkaca-kaca. Ia tidak menyangka murid-muridnya, apalagi Fulan, begitu berani melindungi nama baiknya. “Terima kasih, Nak Fulan,” katanya lirih. “Kalian semua harus tahu, guru tidak sempurna. Tapi fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Kalau kalian ikut menyebarkannya, itu bisa menghancurkan hidup orang lain.”
Kelas sunyi. Semua siswa menunduk, merasa bersalah.
Fulan menambahkan dengan suara lembut, “Teman-teman, kita santri. Kita belajar adab di pesantren. Jangan sampai kalah oleh jari kita sendiri. Mari kita jaga kehormatan guru, sebagaimana kita menjaga kehormatan orang tua kita.”
Seketika suasana kelas berubah. Beberapa siswa mendekat ke Pak Ridwan, meminta maaf. Yang lain menghapus berita itu dari ponsel mereka. Ada rasa lega yang menyelimuti, seolah beban besar terangkat.
Pak Ridwan menatap Fulan dengan bangga. “Kamu bukan hanya pintar di bengkel, Fulan. Tapi juga pintar menjaga hati. Semoga Allah menjadikanmu pemimpin yang amanah suatu hari nanti.”
Ucapan itu membuat hati Fulan bergetar. Ia tersenyum malu, menundukkan kepala, sambil berdoa dalam hati: semoga dirinya tetap istiqamah menjaga lisan dan jari, demi persatuan, demi kebenaran, dan demi ridha Allah.
Waktu berjalan cepat. Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba—hari kelulusan. Aula SMK Negeri Nurul Huda dipenuhi siswa kelas XII yang mengenakan seragam rapi dan wajah penuh harapan. Orang tua hadir, begitu pula para guru yang mendampingi dengan senyum bangga.
Fulan duduk di barisan depan, hatinya berdebar. Ia teringat perjalanan panjangnya: belajar di pesantren yang sederhana, mendampingi teman-teman mengulang hafalan, hingga berjuang menenangkan suasana ketika hoaks menimpa gurunya. Semua pengalaman itu seakan membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih matang.
Setelah prosesi wisuda selesai, giliran kiai mereka dari Pondok Pesantren Al-Mubarok, Kiai Ma’shum, memberikan nasihat terakhir. Beliau berdiri dengan tongkat di tangan, suara lembutnya menggema memenuhi aula.
“Anak-anakku,” ucap Kiai Ma’shum, “kalian telah lulus dari sekolah. Tapi ingatlah, kelulusan bukanlah akhir, melainkan awal perjalanan hidup yang sesungguhnya. Kalian akan terjun ke masyarakat, bekerja, bergaul, dan menghadapi tantangan zaman yang penuh fitnah dan godaan.”
Beliau berhenti sejenak, menatap para siswa dengan mata penuh kasih.
“Di era digital ini, tanggung jawab kalian lebih besar. Jari kalian bisa menjadi amal kebaikan, tapi juga bisa jadi sumber dosa yang tak berujung. Apa yang kalian tulis, apa yang kalian sebarkan, akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah. Maka berhati-hatilah. Jadilah generasi yang cerdas, bukan hanya dalam ilmu dunia, tapi juga dalam menjaga adab. Karena ilmu tanpa adab akan membawa kehancuran.”
Suasana aula hening. Banyak siswa terisak haru.
Kiai Ma’shum lalu tersenyum, “Ingat, anak-anakku. Seorang santri, ke mana pun ia pergi, harus menjadi penyejuk. Jadilah cahaya di tengah gelapnya hoaks, jadilah penenang di tengah kegaduhan. Itu adalah dakwah kalian di zaman ini.”
Fulan menundukkan kepala, matanya basah. Dalam hati ia berjanji, akan terus menjaga amanah ini. Ia ingin menjadi generasi muda yang bukan hanya menguasai ilmu teknik kendaraan, tetapi juga mampu menjaga lisan, jari, dan hati.
Ketika namanya dipanggil untuk maju menerima ijazah, tepuk tangan bergemuruh. Pak Ridwan, guru yang dulu pernah difitnah, berdiri di barisan guru sambil tersenyum lebar. Pandangan mereka bertemu, seakan sebuah pesan tanpa kata terucap: terima kasih sudah menjaga kebenaran.
Hari itu, Muhammad Fulan lulus sebagai siswa. Tapi lebih dari itu, ia lulus sebagai seorang santri yang siap menapaki jalan hidup dengan bekal ilmu, iman, dan adab.
Terimakasih ….