Dibalik Buku Kecil, Do’a dan Biji Selada 

0

 

Oleh:Putri Handayani (Ponpes Salafiyah Syafiiyah Nurul Amin, Banyuwangi) 

Langit malam di atas Banyuwangi bagian utara dihiasi taburan bintang-bintang kecil, bagai kristal-kristal cahaya. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma harum campuran bunga kenanga dan buah-buahan segar yang telah matang di kebun-kebun sekitar. Dari kejauhan, suara lantunan ayat suci Al-Qur’an mengalun samar-samar, menyelinap di sela-sela dedaunan, bergabung dengan suara jangkrik, melantun seperti simfoni doa semesta untuk negeri tercinta, Indonesia. Di serambi musholla pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah Nurul Amin yang sederhana, dengan penerangan seadanya dari lampu neon, duduklah seorang santriwati bernama Putri.

Dia membuka sebuah buku catatan kecil yang sudah usang, sampul dan peganganya sudah lekang oleh waktu. Buku itu adalah saksi bisu perjalanannya, sahabat karib yang menampung semua gejolak jiwa, impian, dan renungannya. Dengan sebuah pena sederhana yang tintanya kadang terputus-putus, ia mulai mencoretkan tinta di atas kertas. Setiap goresan adalah sebuah harapan, setiap kata adalah sebuah doa yang dipersembahkan untuk pesantren dan Indonesia.

“Putri hanyalah santri kecil di desa Secang,” tulisnya, dengan huruf-huruf rapi yang penuh ketulusan. “Desa yang terletak di Kabupaten Banyuwangi bagian utara, dikelilingi perkebunan dan sawah. Kehidupannya sangat sederhana, jauh dari hingar bingar kota. Tetapi cintanya pada Indonesia sangat luar biasa, membara dalam diam. Do’anya mungkin pelan, hanya terdengar oleh angin dan langit. Tangannya mungkin lemah, masih belajar untuk kuat. Tapi hatinya penuh semangat dan berapi-api, hanya untuk mengejar ridho Allah dan untuk negeri tercinta Indonesia.”

Sejak azan Subuh berkumandang, membelah kesunyian fajar, hingga larut malam ketika bintang-bintang berkelip, waktunya diisi dengan ritme yang sama belajar, berdo’a, bersekolah di Madrasah Aliyah Ibrahimy, berkebun bersama orang tua, belajar kearifan lokal, membuat kerajinan tangan dari anyaman, dan tentu saja, mengkaji kitab-kitab kuning. Tangannya yang mungil seringkali terluka oleh tusukan jarum atau goresan pisau, badannya yang kecil sering sakit karena kelelahan. Tapi dia selalu mengingat pesan ibunya, ini semua adalah proses dalam menuntut ilmu, sebuah pengorbanan kecil untuk mengejar masa depan yang cerah, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk orang tua dan untuk Indonesia. Setiap rasa lelah itu adalah bagian kecil dari sebuah mozaik perjuangan yang lebih besar.

Pagi itu, setelah menghafal Al-Qur’an, pandangannya tertumbuk pada pemandangan di balik jendela asramanya. Hamparan kebun dan sawah hijau membentang luas, dipenuhi tanaman kopi yang mulai merah, diselingi jagung, padi, umbi-umbian, dan kacang-kacangan. Pohon-pohon kelapa dan pisang berdiri tegak, melambai-lambai ditiup angin, hatinya tertegun. “Masya Allah, sungguh indah dan sempurna ciptaannya,” bisiknya dalam hati. Di balik kanvas keindahan itu, ia melihat keringat dan kerja keras para petani, yang berjibaku dari terbit hingga terbenamnya matahari. Mungkin bagi sebagian orang bertani adalah pekerjaan rendah dengan upah yang pas-pasan. Tapi bagi Putri, petani adalah pahlawan tanpa tanda jasa. “Jika tidak ada petani, dengan apa kita akan mengisi perut? Hidangan lezat sekalipun, ujung-ujungnya bersumber dari tanah yang mereka olah dengan penuh kesabaran,” pikirnya.

Dengan segala potensi alam dan keberagaman budaya yang dimiliki negerinya, sebuah cita-cita besar tertanam dalam di lubuk hatinya. Ia ingin menjadi agen perubahan, seseorang yang dapat berkontribusi untuk ketahanan pangan bangsa dan melestarikan kearifan lokal nusantara. “Jika bukan generasi muda seperti kami yang memulai, lalu siapa lagi?” tanyanya pada diri sendiri. Ia yakin, dari coretan tinta di buku usangnya, bisa lahir sebuah gerbang perubahan besar yang menginspirasi banyak orang.

Proof of You, Negeriku Indonesia, tulisnya di sudut halaman.

Suatu siang di bawah langit yang cerah, Guru dan Kiyainya berkata dalam sebuah pengajian, suaranya berat penuh makna, “Anak-anakku, ketahuilah. Negeri ini tidak akan tegak hanya dengan sebuah doa. Ia butuh pangan untuk mengisi perut rakyatnya, butuh kerja nyata untuk membangunnya, butuh di jaga keutuhan dan keberagamannya. Dan kalian, para santri, harus mampu menggabungkan keduanya doa dan kerja. Itulah bentuk jihad yang nyata di zaman sekarang ini.” Kata-kata itu bagai paku yang menancap kuat di dada Putri. Ia segera menuliskannya dengan huruf-huruf besar di halaman khusus buku catatannya: “Santri harus menjaga kitab, tapi juga menjaga bumi. Santri harus kuat berdoa, tapi juga kuat bercocok tanam. Santri harus cinta Al-Qur’an, tapi juga cinta Budaya Kearifan Lokal Nusantara. Santri harus mampu menjadi benteng iman, sekaligus benteng pangan Indonesia.”

Sang Kiyai menambahkan, “Kalian adalah ‘tombak agen perubahan’. Ujung tombak yang akan menerobos kegelapan dengan cahaya ilmu dan amal.” Sebuah amanah yang terasa begitu berat di pundak muda mereka, namun justru membuat jiwa-jiwa ini bergelora. Mereka ingin menjadi pembawa mimpi besar, bukan hanya untuk keselamatan di akhirat, tetapi juga untuk kemaslahatan kehidupan di dunia.

Di sebuah pagi yang berkabut, Putri duduk di bawah pohon mangga yang rindang di halaman pesantren. Akarnya yang menjalar ke tanah bagai cengkraman kuat pada ilmu dan tradisi. Ia kembali mencurahkan isi pikirannya. “Andaikan di pesantren ini ada kebun yang tidak membutuhkan banyak lahan, pasti akan sangat bermanfaat. Kita bisa belajar sekaligus memproduksi pangan sendiri,” tulisnya. Ia tenggelam dalam pikirannya, sampai kemudian suara truk yang kasar memecah kesunyian. Gerbang pesantren dibuka oleh salah satu santri, dan terlihat Gus, putra Kiyai, sudah berdiri di sana menyambut.

Dengan rasa penasaran, Putri dan beberapa santri lainnya mendekat. Mereka saling pandang, bingung melihat isi truk yang mengeluarkan tumpukan paralon berwarna putih, beberapa kotak berisi alat-alat, karung hidroton, dan nutrisi cair. Setelah semua barang diturunkan, Gus memanggil mereka. “Ayo kemari, Nak! Lihat ini. Ini adalah paralon untuk sistem penanaman hidroponik. Kita akan mengubah halaman kosong ini menjadi kebun masa depan. Gus harap kalian bisa belajar dari sini, dan suatu saat nanti bisa menghasilkan pangan kalian sendiri, bahkan dengan lahan yang terbatas sekalipun.”

Keesokan harinya, proyek ambisius itu dimulai. Halaman pesantren yang biasanya hanya dipenuhi rumput dan pohon peneduh, kini ramai dengan aktivitas baru. Tangan-tangan yang biasanya lincah menulis huruf Arab atau membalik kitab kuning, kini dengan sabar memegang bibit selada, meletakkannya di netpot, dan menyusun paralon. Mata yang biasa tajam mengkaji tafsir, kini dengan teliti mengamati pertumbuhan akar putih di dalam air bernutrisi. Setiap daun hijau yang muncul adalah seperti sebuah kata baru yang lahir dari pikiran, sebuah paragraf harapan yang tumbuh subur. Suasana pesantren menjadi hidup dengan semangat baru. Para santri saling berbagi tugas, ada yang bertugas mengecek pH air, ada yang mencampur nutrisi, dan ada yang membersihkan gulma yang tumbuh di sekitar instalasi.

Namun, perjalanan tak selalu mulus. Sampai pada suatu hari, sebuah ujian datang. Daun-daun selada yang sebelumnya hijau segar, mulai menunjukkan bintik-bintik coklat dan menguning. Beberapa bahkan layu. Semangat yang sebelumnya membara, tiba-tiba redup. Wajah-wajah santri dipenuhi kecemasan dan rasa putus asa. “Apa yang salah?” tanya mereka satu sama lain. Putri merasa hancur, ia memandangi tanaman yang sekarat itu dengan perasaan bersalah, seolah-olah mimpinya ikut menguning bersama daun-daun itu.

Tak mau menyerah, dua santri, Aril dan Dayat, mengajukan diri untuk meminta izin keluar pesantren. Mereka pergi menemui seorang pakar hidroponik. Dengan detail, mereka menceritakan masalah yang dihadapi. Setelah mendengarkan dengan saksama, sang ahli memberikan solusi “Kalian perlu menambah aerator. Akar tanaman butuh oksigen yang cukup. Kekurangan oksigen dalam air bisa menyebabkan akar membusuk dan tanaman stres.”

Kembali ke pesantren dengan membawa secercah harapan, Aril dan Dayat segera memasang aerator baru ke dalam tandon nutrisi. Gelembung-gelembung udara kecil pun muncul, memberikan suplai oksigen yang sangat dibutuhkan. Semua santri menunggu dengan harap-harap cemas. Hari berganti hari, dan keajaiban pun terjadi. Perlahan-lahan, daun-daun yang menguning mulai kembali segar, bintik-bintik coklat berhenti menyebar, dan tanaman selada kembali menunjukkan vitalitasnya. Rasanya seperti sebuah mukjizat kecil. Perjuangan mereka tidak sia-sia.

Dua minggu setelah kejadian itu, panen perdana akhirnya tiba. Rasanya seperti merayakan sebuah kemenangan besar. Dapur pondok pesantren dipenuhi dengan sayur-sayur selada hijau yang segar dan melimpah. Mereka tidak hanya bisa memakannya sendiri, tetapi juga menjual kelebihan hasil panennya kepada warga sekitar. Uang hasil penjualan itu kemudian mereka putar kembali untuk membeli perlengkapan hidroponik dan bibit baru. Putri dan teman-temannya juga dengan tekun mendokumentasikan setiap tahap pertumbuhan, mencatat masalah yang dihadapi dan solusinya, membuat semacam “buku saku hidroponik” untuk pesantren mereka.

Di malam yang sunyi, Putri membuka kembali buku catatannya yang hampir penuh. Jarinya menari dengan penuh keyakinan, menuliskan sebuah cerita baru. Cerita tentang sekelompok santri yang dengan tekun mengubah halaman kosong menjadi ladang inovasi. Cerita tentang ketahanan pangan yang dimulai dari kesederhanaan dan kolaborasi. Cerita tentang bagaimana “tombak perubahan” itu tidak harus tajam seperti pedang, tetapi bisa setajam pena yang mampu menuliskan ide-ide brilian, dan selembut daun selada yang memberi kehidupan dan nutrisi.

Cerita itu ia beri judul “Dari Sebuah Tulisan dan Do’a Santri”.

Keesokan harinya, dengan hati berdebar, ia menempelkan tulisannya di mading pesantren. Tak lama, sekumpulan santri mengerumuni mading itu. Mata mereka berbinar-binar saat membacanya. Sebuah kesadaran kolektif tumbuh: kontribusi sekecil apa pun, adalah sebuah ayat dalam kitab besar perjuangan untuk masa depan Indonesia. Mereka tersadar bahwa perjuangan tidak melulu tentang hal-hal heroik dan gegap gempita, tetapi juga tentang ketekunan, pembelajaran, dan kerja sama dalam hal-hal kecil yang bermakna.

Putri pun tersenyum lega. Ia akhirnya menemukan makna sejati menjadi “agen perubahan”. Bagi sebagian orang, perubahan mungkin ditulis dengan pedang, kekuasaan, atau politik yang rumit. Tapi bagi Putri dan kawan-kawannya, perubahan itu ditulis dengan biji selada yang kecil, dengan aliran air bernutrisi yang jernih, dan tentu saja, dengan tinta yang tak pernah kering dari hati seorang santri yang mencintai negrinya dengan sepenuh jiwa. Ini baru awal, sebuah bab pembuka dari mimpi besar yang sedang mereka tulis bersama.

Tiba-tiba, setelah selesai menunaikan shalat Ashar berjamaah, sebuah ide baru menerpa pikirannya. “Bagaimana ya, jika sayur-sayur hidroponik ini tidak hanya untuk konsumsi sendiri dan dijual lokal, tetapi juga dijadikan sebuah peluang usaha yang lebih luas? Dipromosikan keluar daerah, mungkin bahkan secara online. Pasti laku keras! Lagi pula, sayur yang kami produksi ini organik, sama sekali tidak mengandung pestisida yang membahayakan kesehatan,” pikirnya. Dengan cepat, ia mengeluarkan buku kecilnya dan mencatat ide segar itu. Sebuah visi baru mulai terbentuk.

Keesokan harinya, setelah kegiatan rutin pondok usai, sebuah kabar menggembirakan datang. Akan ada sekelompok mahasiswa dari Universitas Brawijaya yang akan berkunjung dan melakukan sosialisasi. Putri menunggu bersama santri lainnya di serambi musholla, sambil tak henti-hentinya melirik ke arah gerbang. Akhirnya, pengumuman terdengar: “Diberitahukan kepada seluruh santri kelas 12 untuk segera berkumpul di aula pesantren!”

Mereka semua bergegas, tak lupa membawa buku dan pulpen, siap menyambut ilmu baru. Para santri duduk berbaris rapi, dengan tabir yang memisahkan santri putra dan putri. Di depan, beberapa mahasiswa sudah siap dengan laptop dan proyektor. Sosialisasi pun dimulai dengan perkenalan. Ternyata, para mahasiswa ini berasal dari jurusan yang beragam, Pertanian, Peternakan, Perikanan, dan Biologi. Mereka memaparkan materi tentang pertanian berkelanjutan berbasis teknologi, seperti vertical farming yang memanfaatkan ruang sempit, dan pengembangan sistem hidroponik yang lebih efisien. Mereka juga berbagi pengalaman tentang dunia perkuliahan, berbagai jalur beasiswa, dan tentu saja, motivasi untuk tidak pernah menyerah dalam menggapai mimpi. Tiga jam berlalu begitu cepat, dipenuhi dengan tanya jawab yang antusias. Para santri kembali ke asrama dengan semangat dan wawasan yang baru terbuka lebar.

Putri, yang pikirannya masih dipenuhi oleh materi tadi, pergi ke green house kecil tempat kebun hidroponik mereka. Ia duduk di sebuah bangku kayu sederhana, memandangi hamparan hijau selada, bayam, dan kangkung yang tumbuh subur di dalam paralon. Dia mengamati percobaan mereka menanam stroberi dan herba lainnya. Kemudian, ia mengeluarkan buku dan pulpen dari saku gamisnya. Ia terinspirasi oleh salah satu mahasiswi dari jurusan pertanian, yang tidak hanya pintar secara akademis tetapi juga memiliki kepedulian yang mendalam terhadap alam, lingkungan, dan isu pangan. “Aku juga ingin bisa seperti kakak tadi,” gumamnya dalam hati. Terlihat coretan tinta baru di bukunya: “Beranilah! Bermimpilah setinggi langit! Wujudkanlah hal yang tampak tidak mungkin itu dengan do’a orang tua dan keyakinan yang membara dalam dada.”

Selain sibuk dengan hidroponik, para santri juga secara rutin berkunjung ke sawah-sawah milik warga sekitar. Ini adalah bagian dari pembelajaran langsung, merasakan langsung bagaimana petani tradisional mengolah tanah. Mereka menikmati udara segar pedesaan yang tak ternilai harganya. Hamparan hijau pohon kelapa, pisang, padi yang mulai menguning, jagung yang menjulang, dan cabai yang tersusun rapi, semuanya menciptakan pemandangan yang menyejukkan hati. Putri dan teman-temannya terkadang ikut memetik hasil panen, mengobrol santai dengan para petani, dan belajar langsung dari mereka tentang siklus pangan, tentang kesabaran, dan tentang cinta pada tanah. Sesekali, Putri berbisik dalam hati, “Ya Allah, semua keindahan dan kesuburan ini, semoga tetap terjaga sampai kapan pun. Agar nanti, generasi setelah kami juga dapat merasakan kesejukan dan keberkahannya.”

Dengan pemandangan yang memukau ini, benak Putri kembali bekerja. Ia membayangkan sebuah konsep, bagaimana jika desa Secang ini dijadikan desa wisata berbasis kearifan pangan lokal? Wisatawan bisa diajak mengalami langsung kehidupan petani, menggunakan cara-cara klasik nenek moyang seperti membajak dengan sapi, menumbuk padi dengan lesung, atau menggilis jagung dengan batu gilisan. Mereka juga bisa dikenalkan dengan teknologi tradisional pengolahan pangan sebelum adanya mesin-mesin modern. “Pasti akan sangat bermakna,” pikir Putri. “Selain untuk menjaga kearifan lokal daerah, ini juga bisa menjadi wadah edukasi yang menarik bagi generasi muda dan pendatang dari luar daerah.”

            Malam pun tiba, mengakhiri hari yang panjang dan penuh makna. Di bawah cahaya lampu kamarnya, Putri kembali membuka buku catatan hatinya. Dengan perasaan haru, ia menulis “Putri mungkin hanya seorang santri kecil di desa terpencil. Suaranya lirih, seringkali tenggelam dalam gemuruh omongan dunia. Kakinya berdebu karena sering berlari di tanah pesantren. Tangannya penuh tanah dan bekas luka dari berkebun dan berkarya. Tapi cintanya pada Indonesia lebih besar dari langit yang dia pandang setiap malam, lebih dalam dari lautan yang mengelilingi pulau-pulau negerinya. Putri berjanji, akan setia menjaga kitab sucinya, akan membela tanah airnya dengan cara yang dia mampu, akan menjaga sawah dan sungai agar generasi selanjutnya tidak mengenal kata ‘lapar’ di masa depan. Putri ingin engkau, Indonesiaku, berdiri dengan gagah, dengan pangan yang cukup di setiap meja makan, dan dengan iman yang kokoh di setiap hati sanubari.”

Sebutir air mata jatuh, membasahi kertas catatan dan Ia membiarkannya. Air mata itu adalah kristal dari sebuah tekad kuat. Putri tahu, dia tidak sendirian. Di pesantren-pesantren lain, di sudut-sudut negeri yang mungkin tidak terjamah peta, ada jutaan santri lainnya yang hatinya sama sederhana, mungkin miskin harta, tapi menyala-nyala seperti bintang di langit malam, menerangi kegelapan dengan ilmu dan amal.

Dan jika kelak, sejarah menuliskan dengan tinta emas tentang siapa-siapa yang dengan gigih menjaga dan membangun Indonesia dari akar rumput, Putri ingin namanya tercatat menjadi bagian di dalamnya. Meski hanya sebagai titik yang kecil sederhana dan tidak dikenal oleh banyak orang, akan tetapi Putri ingin dunia tahu, ingin semesta menjadi saksi atas semua impian besar yang tumbuh subur dalam jiwa santri untuk Nusantara.

“Putri sebagai agen perubahan, cinta yang sangat besar dari santri untuk Indonesia Maju.”

Leave A Reply

Your email address will not be published.