Hari Kedua yang Mengubah Segalanya 

0

Oleh: Fakhri Fuad Ramadhani (Ma’had Aly Hasyim Asy’ari, Jombang)

Di suatu hari, saat matahari bertengger gagah di langit biru yang luas, menantang segala bayangan yang ada di bawahnya, menyinari bumi Mandar dengan teriknya, dan membuat udara seakan terperangkap, membuat napas terasa lebih berat. untuk pertama kalinya kupijakkan kakiku di halaman sebuah Pondok Pesantren di Sulawesi Barat.

Di hadapanku berdiri bangunan kayu sederhana dengan cat dominan hijau yang mulai mngelupas, tempat para santri beristirahat sekaligus mengaji. Tak jauh dari situ, masjid yang megah dalam kesederhanaannya berdiri tegak, yang tak pernah sunyi dari gema lantunan ayat-ayat suci dan kajian kitab berbahasa Arab, yang pada saat itu, tak satu kata pun dapat kumengerti. Suasana yang begitu asing bagiku: halaman gersang, hiruk pikuk santri yang sibuk dengan kitab-kitabnya, tawa mereka yang bercampur dengan bacaan-bacaan yang belum pernah kudengar membuatku seperti berada di dunia yang tak pernah kukenal sebelumnya.  

Aku berdiri lesu, menjinjing tas besar usang berwarna hitam yang dipinjam oleh ibu dari bibi. Di dalamnya terdapat beberapa lembar pakaian yang sudah usang, buku catatan bekas SD yang masih lumayan kosong, serta sendal jepit yang harganya tak seberapa. Aku bukan anak yang berasal dari keluarga berada. Ayahku hanya seorang pekerja kasar, kadang ia bekerja di ladang orang lain, kadang sebagai pengangkut batu atau pasir, kadang pula menerima pekerjaan serabutan lain yang tak selalu pasti.

Sementara ibuku, hanya seorang wanita sederhana, ia mengerjakan apa pun yang bisa menambah penghasilan, tiap hari ibuku menitipkan  kue buatannya ke warung di sekitar rumah, meski kadang tak habis, bahkan tak jarang yang laku hanya satu atau dua dari tigapuluh sampai empatpuluh potong kue yang ibu antarkan. Aku sebagai anak pertama tentunya tahu betul bagaimana perjuangan kedua orang tuaku. Kedua adikku masih terlalu kecil untuk mengerti beratnya beban yang ditanggung oleh kedua orang tua kami. 

Malam pertama di asrama, pukul setengah sebelas, saat lampu sudah padam, sebagian santri sudah terlelap dalam tidurnya, sementara sebagian lainnya masih asyik mengobrol dengan teman barunya. Aku, di depan lemariku, menangis diam-diam di balik sarung bermotif bunga yang kugunakan untuk menutupi wajahku. Air mataku mengalir membasahi kasur tipis nan usang yang kubawa dari rumah. Dalam hati, sambil menahan isak, aku bertanya: “Mengapa aku ditempatkan di sini? Apakah aku benar-benar mampu bertahan di sini?.” 

Hari pertama di pondok kulalui dengan penuh keterasingan. Saat makan, jam istirahat pelajaran, mencuci baju, hingga tidur di malam hari, tak ada satupun yang mengajakku bicara. Sementara santri-santri lain tampak akrab satu sama lain, punya lingkaran kecil tersendiri. Tawa dan suara mereka terasa sangat tasing, seperti hal yang berasal dari dunia yang tak bisa kumasuki. 

Hari kedua

Selepas salat Dhuha berjamaah di masjid pondok, sesak di dada ini rasanya semakin menjadi. Semua orang kelihatan sibuk memikirkan pelajaran, ada yang fokus mengulang hafalannya, ada juga yang bercanda dengan teman-temannya. Sementara aku, masih seperti bayangan asing yang tersisih, hanya duduk termenung di depan lemari kecil yang pintunya terbuka, sebuah lemari kayu yang hanya berisikan beberapa lembar pakaian yang sudah terlihat usang dan beberapa buku pelajaran yang dibagikan saat pendaftaran. Hingga akhirnya, perasaan itu benar-benar tak mamapu kutahan lagi, aku kemudian mengambil keputusan yang tak terduga: aku kabur. Diam-diam, kutinggalkan pondok, kembali ke rumah tanpa sepengetahuan siapa pun.   

Namun, takdir seakan mempermainkanku. Saat aku baru saja melangkahkan kakiku untuk pulang, ayah dan ibu justru tiba di pondok, mereka datang untuk membawakan barang-barangku yang kemarin tertinggal. Waktu itu aku berangkat hanya dengan diantar ayah menggunakan sepeda motor tua, ditemani ibu yang setia duduk di belakang, jadi tidak semua barang bisa kami bawa waktu itu. Mereka datang bukan hanya membawa barang, melainkan membawa doa, membawa keyakinan bahwa anak sulungnya sedang berjuang meniti jalan keilmuan.

Namun, betapa terkejutnya mereka ketika mendengar para santri berkata bahwa aku tidak ada di asrama. Sementara itu, bibiku yang rumahnya kusinggahi karena uang yang kubawa tidak cukup untuk mengantarkanku sampai ke rumah, pun menelepon orang tuaku, memberi tahu mereka bahwa aku ada di rumahnya. Melihat hal itu, terbayang di kepalaku betapa hancurnya hati mereka saat tahu bahwa anak yang mereka perjuangkan agar bisa belajar sekaligus memperdalam ilmu agama di pesantren, justru menyerah di hari kedua. 

Malam itu, di teras rumah yang sederhana, ayah menatapku dalam, dengan tatapannya yang penuh harap. Suaranya bergetar waktu ia berkata: “Nak, tidak usah kau pikirkan bagaimana beratnya hidup di pesantren. Tidak perlu juga kau memikirkan bagaimana kami di sini. Kami tidak butuh tenagamu, kami juga tidak butuh hartamu. Yang kami butuhkan hanyalah anak yang paham agama. Anak yang bisa menjadi amal jariyah bagi kami. Kami ingin, kelak ketika ayah atau ibu dipanggil Tuhan lebih dulu, yang mendoakan dan mengurus kami adalah anak kami sendiri.” Kata-kata itu meruntuhkan seluruh benteng keangkuhanku. Tangisku pecah, air mataku mengalir deras di pelukan ayah. Dan di ruang tamu yang ada dibelakang kami, ibu pun juga tak mampu membendung air matanya. 

Esok harinya, kupaksa diriku untuk tegar kembali ke pondok. Aku tahu, pertempuran batin ini belum usai. Namun, nasihat ayah semalam sudah cukup bagiku untuk menjadi senjata yang membantuku melawan segala kecemasan di hatiku. Dan juga, jika aku menyerah, maka itu sama halnya aku mengkhianati doa dan usaha kedua orang tuaku.   

Hari-hari berikutnya masih terasa berat. Setiap kali mengantre untuk mengambil makanan, pikiranku selalu melayang. Yang kupikirkan bukan tentang lauk apa yang tersedia, melainkan: Apakah ayah sudah makan? Apakah ibu kenyang? Bagaimana dengan adik-adikku? Apakah gizi mereka terpenuhi?. Namun, setiap kali aku teringat akan pesan ayah di malam itu, segala risau itu seketika lenyap, dan semangatku kembali menyala. 

Perlahan-lahan aku mulai bangkit. Aku memberanikan diri mendekati ustaz, bertanya tentang pelajaran, meski lidah masih kelu dan wajah tak berhenti memerah. Aku mulai membiasakan diri untuk mengulang hafalan di sunyinya malam ketika teman-teman sudah terlelap. Aku juga menyalin ulang, membuat semacam ringkasan tentang pelajaran yang dibawakan ustaz di kelas, dengan harap huruf-huruf Arab itu betah dalam ingatan. 

Tahun pertamaku di pondok adalah adalah tahun yang dimana kegagalan dan kekecewaan berbaris rapih. Ujian demi ujian kulewati dengan hasil yang sangat jauh dari kata memuaskan. Namun, aku tidak menyerah sampai disitu. Sebab aku tahu, bahwa semuanya butuh proses, bahwa semuanya memerlukan waktu, dan bahwa kegagalan adalah bagian dari perjalanan, sebuah batu pijakan untuk sampai kepada keberhasilan.  

Lambat laun, cahaya itu datang. Kitab-kitab yang dulunya tampak seperti dinding yang sangat tebal, perlahan bisa kutembus sedikit demi sedikit. Di kelas, aku bukan lagi anak yang duduk di pojok dan melamun tanpa arah, aku mulai berani bicara, menjawab berbagai pertanyaan, meski masih sering salah. Dan akhirnya, di tahun kedua, keajaiban itu benar-benar tiba: hasil ujianku membaik, namaku tak pernah keluar dari peringkat tiga besar. Teman-teman yang dulu menganggapku pemalu, bodoh, dan tak bisa diandalkan, kini mereka melihatku berbeda. Tak jarang menghampiriku untuk mengajakku berdiskusi tentang pelajaran atau hal apapun. 

Aku tahu, jelas ini bukan karena usahaku semata. Melainkan, di belakang panggung ada tangan yang tak pernah lelah menadah, ada bibir yang tak henti merapal doa. Doa kedua orang tuaku, yang mungkin menembus langit di sepertiga malam terakhir. 

Sejak saat itu, hari-hari di pondok terasa jauh lebih ringan. Aku telah belajar arti dari kesabaran: mencuci pakaian sendiri, mengantre mandi dan makan, berbagi lauk seadanya dengan teman sekamar. Dan dari sana juga aku belajar bahwa pesantren bukan hanya sekedar tempat yang mengajarkan ilmu pengetahuan, lebih dari itu, pesantren adalah tempat yang juga mengajarkan arti dari kehidupan yang sebenarnya.  

 Kadang, saat lampu asrama padam, wajah ayah dan ibu kembali terbayang. Aku tahu betapa berat beban mereka. Apalagi ketika dua adikku saat ini juga menyusulku masuk pondok, yang tentunya akan menambah tanggungan. Rasa bersalah kerap menyelimuti, akan tetapi rasa bersalah itu justru  menjadi cambuk bagiku, yang membuatku berkata pada diri sendiri: “Kalau aku menyerah, semua pengorbanan mereka akan sia-sia.” 

Tahun demi tahun berlalu. Dan aku bukan lagi anak yang kabur di hari kedua. Aku tumbuh menjadi santri yang lebih sabar, teguh, dan berani. Peringkatku stabil di tiga besar, sesuatu yang dulu tak pernah berani untuk sekedar kubayangkan. 

Hingga akhirnya, hari itu tiba: kelulusan. 

Aku berdiri bersama para santri lainya di hadapan para ustaz, menerima ijazah dari tangan sang kiai. Suasana hening, khidmat. Aku menunduk hormat, lalu melangkah mundur, dengan hati yang tak henti bergetar.  

Di antara kerumunan orang tua santri, mataku menemukan ayah dan ibu, dengan pakaian yang sederhana. Wajah mereka lelah, tapi binar di mata mereka tak mampu menyembunyikan perasaan bangga yang mereka rasakan. Aku segera menghampiri, mencium tangan, memeluk mereka, lalu berbisik, “Terima kasih. Semua ini bukan karena aku sendiri, melainkan karena doa, usaha, serta ketabahan kalian dalam menghadapiku.” 

Air mataku jatuh, bukan karena sedih, melainkan karena syukur yang tak tertahankan. Aku, anak yang pernah menyerah di hari kedua, kini berdiri tegak, membuktikan bahwa doa yang dikirimkan oleh orang tua ke langit untuk anaknya tidak pernah pulang tanpa hasil. 

Perjalananku di pesantren mengajarkanku banyak hal: bahwa kesulitan bukan akhir, melainkan jalan menuju kebijaksanaan; bahwa doa orang tua adalah sesuatu yang tidak pernah ditolak oleh langit; dan bahwa menjadi santri bukan hanya sekedar belajar kitab dan ilmu pengetahuan lainnya, tetapi juga belajar bagaimana menjadi manusia seutuhnya. 

Kini, tiap kali aku menoleh ke belakang, aku tersenyum. Hari kedua itu pernah menjadi titik paling menyedihkan dalam hidupku. Namun justru di hari kedua itu Allah memberiku cahaya yang mengubah segalanya. Aku menutup lembar kisah itu dengan senyum. Aku pernah menjadi anak yang kabur di hari kedua, tetapi pada akhirnya, aku menemukan pesantren sebagai rumah keduaku.

Leave A Reply

Your email address will not be published.