Perempuan yang Melawan Zaman

0

Oleh: Ahmad Rafi El Ghazi

Sore hari di Sukabumi memang memiliki vibes yang amat syahdu. Pada hari Minggu itu, langit berwarna jingga dengan guratan merah, seakan matahari membiarkan sisa emasnya berada di ufuk barat. Kumpulan awan berarak pelan, perlahan menutupi siluet Gunung Gede yang berdiri dengan gagah dan indah. Angin berhembus dengan lembut membawa aroma khas persawahan masuk ke dalam area asrama pondok. 

Di balik jendela asrama, Aisyah seorang santriwati Pondok Pesantren Al-Amin duduk bersila dengan sebuah buku di pangkuannya. Cahaya matahari yang mulai meredup masuk ke dalam celah jendela, memberikan suasana hangat sore hari itu. Ia membaca baris demi baris setiap kata yang tertulis di buku itu, sambil sesekali jemarinya menahan lembaran agar tidak tertiup angin. 

“Ais ayo ke masjid, bentar lagi mau adzan” panggil Feby, teman sekamar Aisyah. Sambil menoleh Aisyah menghela nafas, “Sebentar ya Feb, satu halaman lagi” jawab Aisyah yang masih memegang erat bukunya. “Kalau sehalaman lagi keburu iqamah Ais, emang kamu mau dihukum sama bagian keamanan?” Mendengar hal tersebut Aisyah langsung menutup bukunya, “Oke Feb, ayo berangkat” jawab Aisyah dengan muka panik. Melihat Aisyah yang gelagapan, Feby hanya bisa tertawa puas sembari merapikan mukena putih andalannya itu. 

Aisyah Safira Mawaddah atau yang kerap disapa Ais oleh teman-temannya adalah santriwati yang terkenal memiliki hobi membaca dan menulis. Usianya memang tidak terlalu jauh berbeda dengan santri lain, tetapi caranya membawa diri membuat ia terlihat lebih dewasa. Aisyah selalu tampil sederhana dengan balutan kerudung putihnya. Di balik kacamatanya, seakan menjadi jendela dari pikirannya yang luas. Senyumnya yang indah seolah memberikan keteduhan kepada setiap orang yang berada di sekitarnya. 

Di sela kesibukan mengaji dan sekolah, ia selalu menyempatkan waktu kesehariannya untuk menulis. Setiap buku yang bertengger di lemari Aisyah pasti dipenuhi dengan coretan-coretan. Mulai dari cerpen, puisi, catatan renungan, sampai cerita kecil tentang kegiatan sehari-harinya di pesantren, semuanya rapi tercatat dalam tumpukan bukunya. Kegiatan menulis bagi Aisyah bukan hanya sekedar mengisi kekosongan, melainkan cara menyalurkan mimpi yang diam-diam ia simpan, yakni menjadi seorang penulis. Ia percaya, melalui tulisan ia bisa berbagi kisah, menyuarakan isi hatinya, pendapatnya, dan meninggalkan pemikiran yang akan terus dibaca meski ia sudah tiada.

Sepulang sekolah, Aisyah sudah sibuk menuliskan ide-idenya  yang tadi sempat tertunda di kelas. Di tengah asyiknya menulis, Feby datang dengan muka lesuh khas anak madrasah aliyah yang habis dihantam Matematika dan Fisika seharian penuh, “Ais kamu nulis apa lagi?” Tanya Feby sambil melepas kedua sepatunya. “Eh Feb, sini deh aku lagi nulis cerita nih menurut  kamu bagus gak? atau ada yang perlu diubah?” Ujar Aisyah. Feby duduk di samping Aisyah sambil membaca bukunya dengan saksama. “Kamu beneran mau jadi penulis Ais? Keren banget. Aku yakin tulisan kamu ini bakal disukain banyak orang” Kata Feby dengan penuh semangat. Mendengar hal tersebut Aisyah tersipu, ia merasa mimpinya ada yang mendukung. “Iya Feb, aku sengaja bikin cerita kaya gini.

Menurutku, perempuan juga berhak mendapatkan apa yang didapatkan oleh laki-laki. Aku pengen gak ada lagi jurang untuk perempuan membangun kemajuan” Ungkap Aisyah. “Coba tulisan ini kamu ketik Ais, terus kamu post di blog atau bila perlu kamu kirim aja ke media penerbit, siapa tahu ada yang mau jadiin novel. Duh, aku gak sabar punya temen novelis yang terkenal hahaha” Mereka pun tertawa, tenggelam dalam obrolan masa depan. Bagi Aisyah, Feby bukan hanya sekedar teman sekamar.

Ia adalah saudara tempat berbagi cerita, rekan menuntut ilmu akhirat dan dunia, juga sahabat karib yang tak kenal masa. Feby-lah yang selalu menepuk bahu Aisyah saat dunia tidak percaya dengan semua mimpi-mimpinya. Saat Feby dan Aisyah sedang tenggelam dalam obrolannya, tiba-tiba Fatimah dan Sheila masuk ke kamar sambil melirik ke buku Aisyah. “Nulis lagi? Halah gak usah sok-sokan deh. Santri mah belajar aja yang bener cukup, gak usah mimpi ketinggian, apalagi jadi penulis” Ujar Sheila dengan nada sedikit meninggi. Fatimah menimpali, “Aku juga suka baca kok Ais, tapi yaudah buat pengetahuan dan hiburan aja, gak ngehayal kaya kamu pengen jadi penulis” Fatimah dan Sheila tertawa jahat bersama. “Kita tuh perempuan Ais! kodrat kita nanti itu sudah pasti ke sumur, dapur, dan kasur.

Makanya belajar aja jadi istri dan perempuan yang baik. Lagi pula hari gini emang ada ceritanya santri yang jadi penulis hebat? Kayanya terlalu tinggi deh” Lanjut Fatimah sambil terkekeh. Aisyah hanya terdiam, menahan perih di dadanya, sementara Feby menatap tajam kepada mereka, mencoba melindungi sahabatnya agar tetap percaya pada mimpinya. “Sabar ya Ais, kamu hebat kok. Aku yakin banget kamu pasti bisa” Ucap Feby sambil memeluk sahabatnya itu. Aisyah hanya tersenyum tipis sambil mengangguk pelan. 

Stereotip yang kini sudah melekat pada perempuan memang bisa jadi belenggu besar untuk kemajuan. Perempuan dianggap tak perlu sekolah tingi-tinggi, tak perlu memiliki karir cemerlang toh nanti pada akhirnya akan bermuara di kasur, sumur, dan dapur. Di Indonesia khususnya, stereotip; perempuan yang bersuara lantang dianggap kurang ajar, perempuan yang memilih berkarir dianggap melawan kodrat, bahkan perempuan yang telat menikah di cap sebagai “perawan tua” sudah berakar menjadi budaya. Padahal, ketimpangan seperti ini yang sudah seharusnya dibumi hanguskan dari stigma masyarakat luas.

Alih-alih menyerah, Aisyah justru merasakan api semangatnya semakin menyala. Malam-malam panjang di asrama, ia habiskan untuk menekuni lembaran-lembaran cerita yang kini perlahan menjelma menjadi sebuah novel. Ia bukan hanya menuliskan cerita, dalam tulisaanya ini Ais mencurahkan segala keresahannya, menuangkan isi kepalanya, merangkai tokohnya, dan meromantisasi konfliknya agar pesan yang terkandung bisa masuk ke kepala dan hati pembacanya. 

 

Bakda Subuh

Bakda subuh, masjid Pondok Pesantren Al-Amin ramai dipenuhi para santri yang sedang duduk bersila dengan Kitab Tafsir Jalalain di pangkuan masing-masing. Suara lembut Kiai Abbas membacakan lughah per ayat menghangatkan suasana subuh yang dingin itu. Sesekali Beliau berhenti sejenak untuk menjelaskan makna ayat dengan bahasa sederhana yang mudah difahami oleh para santri. Baik santri putra atau santri putri, semuanya mendengarkan pemaparan ilmu yang disampaikan Kiai Abbas dengan penuh takzim. “Wallahu A’lam Bishawab” Tutup Kiai Abbas.

Sebuah kalimat yang masyhur menjadi penutup kegiatan pengajian. Sebelum beranjak dari tempat duduknya, Kiai Abbas memberikan sebuah pengumuman yang membuat para santri menajamkan telinga, “Anak-anakku, nanti di akhir bulan alhamdulillah pesantren kita dipercaya untuk menjadi tuan rumah acara Festival literasi se-Jawa Barat” Ujar Kiai Abbas dengan senyumannya yang khas. Seketika suasana masjid berubah total, yang tadinya hening kini penuh dengan bisikan riuh.

Kiai Abbas melanjutkan, “Acara ini terselenggara atas kerja sama LP Maarif NU dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Nanti akan banyak rangkaian acaranya; bazar buku dan makanan, workshop penulisan, hingga acara inti berupa meet & greet dengan salah satu penulis buku yang dibazarkan” Kiai Abbas juga mengumumkan kabar istimewa, yang mana dalam acara ini akan dihadiri oleh seorang guest star, yakni Habib Husein Jafar Al Hadar, pendakwah yang saat ini sering berseliweran di beranda sosial media. Suara riuh antusias para santri menggema di langit-langit masjid. Mereka tak bisa membendung ekspresi bahagia dan antusias dengan hadirnya acara tersebut. 

Beberapa hari setelah pengumuman Kiai Abbas kemarin, suasana Pondok Pesantren Al-Amin begitu sibuk. Para santri bergotong royong membersihkan komplek asrama. Ada yang sibuk memotong rumput hingga rapi, ada yang mengepel lantai serambi masjid, ada yang menyapukan asrama dari daun-daun kering yang berjatuhan, bahkan sampai ada yang mengecat pagar dan aula asrama. Begitu juga Feby, ia pun ikut menyapukan lantai asrama seperti santri lainnya. Tetapi, kali ini ia hanya sendiri, sebab Aisyah sudah seminggu lebih pulang, katanya ada acara keluarga yang mendadak. Dalam hatinya ia bergumam, “Kalau Aisyah ada, dia pasti semangat banget nih ada festival literasi kaya gini” Namun ayunan sapunya mendadak terhenti ketika ujung sapu menyentuh tumpukan kertas yang berserakan di sudut ruangan.

Ia berhenti sejenak, lalu meraih beberapa lembar tumpukan kertas yang dipenuhi coretan itu. Matanya terpaku pada deretan tulisan tangan yang penuh emosi itu. Di antara coretan-coretan itu, ada sebuah kata yang beberapa kali tertulis dan menarik perhatiannya; “Samaira.” Entah apa atau siapa, Feby hanya terdiam beberapa detik, seakan kata tersebut menyimpan banyak rahasia yang tidak terlalu ia pahami. Setelah diam sejenak, Feby  kembali melanjutkan menyapunya dan memilih membuang tumpukan kertas tersebut ke tempat sampah dengan masih menyisakan sedikit tanda tanya di benaknya.

Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Sejak pagi, halaman Pondok Pesantren Al-Amin dipenuhi oleh para santri dan tamu dari luar pondok yang menghadiri acara. Pada hari itu, Pondok Pesantren Al-Amin ramai oleh hiruk-pikuk para santri. Ada yang sibuk mengikuti workshop, ada yang berkeliling di stand bazar membeli buku dan mencicipi jajanan lokal, sementara sebagian yang lain sibuk menjadi panitia acara. Sementara itu Fatimah, Sheila, bersama teman-temannya yang lain seperti Sarah, Putri, dan Hilma terus menyusuri deretan booth yang meriah. Mereka membeli banyak jajanan lokal yang tampak sangat enak dan melihat beberapa aksesoris juga buku-buku yang dibazarkan. Saat mereka sedang asyik mengunjungi tiap-tiap booth, langkah Fatimah terhenti di depan sebuah stand penerbit Mediakami.

Pandangannya langsung tertuju pada sebuah novel dengan sampul yang elegan berjudul “Perempuan Yang Melawan Zaman” Karya Samaira. Seolah terhipnotis, Fatimah mendekat dan tangannya mulai meraih novel tersebut. Penjaga stand menawarkan dengan ramah, “Novel ini sudah seminggu jadi best seller di Gramedia. Ceritanya bagus, banyak yang suka” Fatimah membuka halaman belakang dan membaca sinopsis buku tersebut. Matanya tak bisa berbohong, ia jatuh cinta kepada buku tersebut. “Sheila liat deh, ini bukunya bagus banget.” Ungkap Fatimah kepada Sheila. “Iya fat, aku juga merhatiin daritadi. Sampulnya menarik banget” Jawab Sheila. “Kamu mau beli buku itu Fat? Wahh tumben banget mau beli buku hahaha” Tambah Sheila sambil terkekeh. “Yeee bukan gitu Sheila, menurut aku buku ini ceritanya menarik, aku sedikit baca sinopsisnya tadi.

Ternyata pikiranku sedikit berubah tentang stigma perempuan di dunia ini” Jawab Fatimah membela diri. Akhirnya, setelah percakapan tadi, Fatimah menyerahkan uang kepada penjaga stand dan meminang buku itu menjadi miliknya. “Terimakasih kak, semoga bermanfaat ya” Ucap halus penjaga stand. “iya, sama-sama kak” Jawab Fatimah. Tidak lama, penjaga stand tersebut menambahkan, “Oh iya kak, kalau gak salah nanti malam pengarang buku ini bakal hadir untuk mengisi acara di sini.” Mendengar hal tersebut Fatimah dan Sheila saling bertatapan dan membelalakkan matanya. Mereka kaget sekaligus senang, buku yang daritadi mereka perbincangkan akan hadir dalam versi pengarangnya. “Aku mau beli juga kak satu!” Ujar Sheila dengan nada penuh semangat. 

Di sisi lain, Feby yang kebagian menjadi panitia acara merasa cukup kewalahan hari ini. Ia kebagian menjadi Guide yang mengarahkan tamu ke fasilitas-fasilitas pesantren yang dijadikan sebagai venue, tempat istirahat, sampai tempat untuk menikmati hidangan makan siang. Langkah kakinya terasa berat, bukan hanya karena lelah, tetapi juga karena Aisyah sahabatnya tak ada di sampingnya. Dalam hati kecilnya ia berbisik, “Duh Ais.. kamu kemana sih, pulang lama banget.” Kini Feby hanya bisa menjalankan tugasnya sambil memendam rindu kepada sahabat terbaiknya. Sebenarnya Feby merasa cukup heran, kenapa acara sebesar ini diadakan di Pondok Pesantren Al-Amin yang notabenenya jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Tetapi pertanyaannya ini hanya melayang di dalam benaknya dan lenyap menguap ke udara. 

 Malam puncak acara festival literasi akhirnya tiba. Aula pesantren menjelma menjadi lautan manusia. Di dalamnya terdapat panggung megah yang berbalut dekoran elegan dengan taburan cahaya lampu beraneka warna. Santri, guru, dan para tamu undangan duduk manis menikmati suasana acara, mereka tak sabar menyaksikan kejutan-kejutan acara yang dipersiapkan oleh panitia. Ketika nama Habib Husein Jafar Al Hadar disebut, riuh tepuk tangan memenuhi ruangan aula. Pertama-tama Habib Husein Jafar menyapa para guru dan santri dengan suara dan guyonan khasnya. Habib Husein Jafar dalam kesempatan ini menyampaikan beberapa kuliah umum mengenai santri dan tantangan masa depan juga tentang moderasi beragama di era digital. Dari awal sampai akhir, audience sangat menikmati pembahasan yang disampaikan oleh Habib Husein Jafar. Bahkan, beberapa santri mencatat poin-poin penting dari tema kuliah umum tersebut.

 

Habib Husein Jafar

Setelah Habib Husein Jafar menyelesaikan kuliahnya, acara kembali diambil alih oleh pembawa acara. “Baiklah, untuk narasumber terakhir pada malam hari ini, akan disampaikan oleh penulis novel yang menjadi best seller dalam kurun waktu seminggu terakhir di Gramedia, berjudul “Perempuan yang melawan zaman” kepada yang terhormat Kak Samaira kami persilahkan” Panggil salah seorang pembawa acara. Seorang perempuan melangkah anggun ke panggung, langkahnya mantap, wajahnya diterangi sorot lampu. Tanpa diduga, ia adalah Aisyah Safira Mawaddah. Iya, itu Aisyah, santriwati Al-Amin yang diam-diam menulis dibalik bayang-bayang. Waktu serasa berhenti, semua santri yang hadir terpaku, mulut mereka setengah terbuka. Mereka seakan tak percaya bahwa yang saat ini berdiri anggun di depan mereka adalah teman seperjuangannya. Fatimah dan Sheila yang menyaksikan langsung hal tersebut hanya bisa menunduk.

Ingatan tentang tawa yang meremehkan, kata-kata yang menjatuhkan, dan cacian yang pernah mereka hadiahkan kala itu menyeruak di benak mereka berdua. Cahaya lampu panggung yang menyinari Aisyah serasa menyorot luka penyesalan di hati mereka. Melihat Aisyah yang berdiri di depan matanya, Feby membeku. Itu Aisyah! Sahabat karibnya yang terkenal sederhana, tempat berbagi keluh kesah, tiba-tiba berdiri di depan ribuan pasang mata dengan nama pena yang sangat asing baginya. Matanya panas menahan haru, dadanya penuh sesak oleh rasa bangga, seolah rahasia yang selama ini mereka pendam berdua meledak indah di depan matanya.

Di atas panggung, panitia mengadakan talkshow dengan Samaira mengenai bukunya. Aisyah Safira Mawaddah atau Samaira dihujani beberapa pertanyaan template khas pembawa acara; Kapan mulai menulis novel ini, sejak kapan suka menulis, apa tujuan menuls novel ini dsb. Di penghujung acara, Samaira memberikan closing statement yang cukup menarik perhatian. “Sebelum saya selesai, ada satu hal yang ingin saya sampaikan; Santri tak boleh takut punya mimpi yang besar. Baik santriwan atau santriwati semua memiliki peluang yang sama untuk meraih cita-cita.

Terkhusus untuk santriwati, jangan biarkan mimpi kalian hangus ditelan keadaan. Kita perempuan diciptakan bukan hanya untuk sebagai pelengkap laki-laki saja, melainkan sebagai pribadi dan jiwa yang utuh. Perempuan harus bisa bebas dari berbagai bentuk pelecehan, subordinasi, ketidakadilan, dan penindasan. Jadi, jika teman-teman semuanya punya mimpi yang besar, jangan pernah ragu untuk mewujudkannya.” Ungkap Samaira. 

Suara tepuk tangan panjang menggema di aula, menandakan acara festival literasi resmi telah selesai. Para santri dan tamu undangan mulai beranjak dari tempat duduknya masing-masing, kecuali Feby. Ia berdiri di sudut panggung, menunggu sahabatnya turun dan menghampirinya. Tak lama, Aisyah datang dengan senyum tipis ke arah Feby. “Kenapa kamu ngerahasiain ini dari aku Ais?” Tanya Feby dengan suara bergetar. “Maaf Feb, bukan aku gak mau ngasih tahu kamu, tapi aku takut kalau aku gagal dan ngebebanin kamu dengan mimpi-mimpi kosong” Jawab Aisyah.

Ia melanjutkan, “Dua minggu terakhir aku sibuk mindahin tulisan aku ke dalam file Feb. Nama Samaira itu aku ambil dari akronim namaku sendiri, Aisyah Safira Mawaddah. Maaf aku belum sempat ngasih kabar ini ke kamu. Sesuai saran kamu, aku coba publikasiin tulisan ini ke penerbit, Alhamdulillah langsung disetujui” Mata feby berkaca-kaca, lalu senyum getir timbul di bibirnya, “Kamu hebat Ais” Ujar Feby. Aisyah langsung merangkul Feby dengan pelukan erat. Dalam dekapannya, Aisyah sedikit mencairkan suasana, “Tapi, cita-cita kamu udah tercapai kan? Punya teman novelis yang hebat?” Ucapnya sambil terkekeh. Feby tertawa lalu dengan gemas mencubit pinggul Aisyah. 

Hari terus bergulir, novel karya Aisyah semakin ramai di seluruh kalangan masyarakat. Namanya mulai di kenal luas, di berbagai toko buku wajahnya terpampang, sementara karyanya memenuhi rak buku dengan predikat “best seller.” Novel itu bukan sekedar cerita, melainkan sebuah suara lantang yang menggerakkan perempuan agar berani merdeka dan setara. 

Namun, waktu tak bisa ditahan. Tak lama setelah namanya bersinar, Aisyah pun menuntaskan masa belajarnya di pesantren. Ia merasa berat harus meninggalkan asrama, aula, sekolah, dan juga teman-temannya yang telah menjadi saksi ia tumbuh dan berkembang. Ia yakin, di tempat ini ada tangis dan doa yang membentuk dirinya hingga menjadi seperti sekarang. Aisyah meninggalkan banyak kenangan di Pondok Pesantren Al-Amin, tetapi membawa banyak ilmu dan pelajaran yang menjadi bekal untuknya di masa depan. 

Di luar pesantren, Aisyah semakin serius menapaki karirnya sebagai seorang penulis. Ia melanjutkan pendidikannya ke salah satu Universitas ternama di Kota Bandung dengan mengambil jurusan Sastra Indoneisa. Tak hanya itu, karyanya yang berjudul “Perempuan yang melawan zaman” berhasil merambah hingga ke negara tetangga seperti, Malaysia, Filipina, dan Brunei Darusalam. 

Aisyah Safira Mawaddah menjadi kisah refleksi bahwasannya perempuan pesantren yang kadang dianggap kuno oleh segelintir orang, mampu berdiri tegak melawan stigma yang selama ini mengekang. Di balik jendela asrama pesantren yang penuh doa dan keberkahan, ia mampu menuliskan sejarah baru. Ia berhasil membuktikan, dinding pesantren bukanlah sebuah kurungan. Justru di balik ruang-ruang itulah timbul keberanian, tekad, dan suara yang menggema hingga menembus batas negara. Nama Aisyah Safira Mawaddah lahir dari sudut pesantren di tengah persawahan yang jauh dari perkotaan. Tetapi, kini karyanya menyalakan cahaya harapan dari keraguan orang-orang.  

Leave A Reply

Your email address will not be published.