Oleh: Rausyan Fikri Kanzon Mahfi (Mahasiswa Ma’had Aly Hasyim Asy’ari, Jombang)
Langit pesantren sore itu berwarna jingga, seakan mencelupkan bumi ke dalam syair ketenangan. Suara adzan ashar baru saja mereda, menyisakan gema lembut yang berpantulan dari dinding masjid tua. Di serambi, para santri duduk bersila, sebagian masih mengulang hafalan, sebagian sibuk menyalin catatan.
Azka, santri kelas akhir, memilih duduk sendirian di bawah pohon mangga tua yang tumbuh di samping masjid. Tangannya memegang kitab Ta’limul Muta’allim, kitab yang ia cintai sejak tahun pertama mondok. Kitab itu selalu membuatnya sadar, bahwa santri bukan hanya seorang pencari ilmu, tapi juga penjaga adab.
Namun sore itu, matanya tidak benar-benar membaca. Pikirannya melayang jauh. Ada kabut yang menggelayut dalam hatinya, kabut yang tidak berasal dari cuaca, melainkan dari kabar buruk yang menyebar di luar pagar pesantren.
Kabar itu singkat, namun mengguncang “Pesantren X terindikasi menyebarkan ajaran sesat. Waspada, jangan sampai anak-anak terjerumus.” Kalimat itu viral di media sosial, disertai foto Kyai Ma’ruf yang sedang berbicara dalam sebuah pengajian. Foto itu jelas dipotong dan diberi keterangan menyesatkan.
Azka menghembus nafas panjang. Bagaimana mungkin pesantren yang mengajarkan cinta tanah air, gotong royong, dan ilmu agama itu bisa dituduh sesat? Ia tahu, fitnah memang lebih kejam daripada pembunuhan. Namun tetap saja, hatinya panas setiap kali membaca komentar warganet yang menelan mentah-mentah kabar itu.
“Azka, kau tidak ikut makan?” suara Hasan, sahabat sekamarnya, memecah lamunan.
“Belum lapar,” jawab Azka singkat.
Hasan mendekat, duduk di sampingnya. “Aku dengar, ada wali santri yang mulai ragu. Bahkan ada yang menjemput anaknya pulang. Kau tahu apa artinya kalau ini terus berlanjut?”
Azka menatap kosong ke arah halaman. “Aku tahu. Itu artinya pesantren kita sedang dalam bahaya.”
Sore itu, langit jingga semakin memerah. Hati Azka pun ikut meradang. Ia tahu, inilah awal dari ujian besar. Dan entah mengapa, ia merasa dirinya akan ikut terseret di dalamnya.
Pada malam harinya, seluruh santri dikumpulkan di masjid. Udara agak pengap, karena ratusan tubuh muda berhimpun dalam satu ruangan. Namun suasana hening, semua menunggu apa yang akan disampaikan Kyai Ma’ruf.
Kyai sepuh itu duduk bersila di depan mimbar. Sorot matanya teduh, janggutnya putih, wajahnya memancarkan wibawa. Ia mengangkat tangannya sejenak, memberi isyarat agar semua tenang.
“Anak-anakku,” suaranya berat namun menenangkan, “malam ini aku tidak akan mengajar kitab. Aku ingin bicara tentang fitnah.”
Seluruh santri menunduk. Kata “fitnah” terasa menohok.
“Berita bohong sedang menyebar tentang pesantren kita. Ada yang menuduh kita sesat, bahkan menyebarkan radikalisme. Itu tidak benar. Tapi ingatlah, fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Ia merusak nama baik, menabur keraguan, dan memecah belah persaudaraan.”
Hening. Hanya terdengar suara jangkrik di luar masjid.
“Bagaimana sebaiknya kita bersikap, Kyai?” tiba-tiba seorang santri bertanya.
Kyai Ma’ruf tersenyum tipis. “Dengan ilmu dan akhlak. Jangan membalas dengan kebohongan, jangan pula dengan kemarahan. Kebenaran itu cahaya. Dan cahaya tidak pernah kalah dari kabut, meski tampak samar di awal.”
Azka merasakan kata-kata itu menembus dadanya. Ia menatap wajah gurunya dengan rasa hormat sekaligus tekad yang tumbuh. Sejak malam itu, ia tahu dirinya tak bisa diam.
~~~
Keesokan harinya, suasana di pesantren mulai berubah. Beberapa warga kampung enggan menyapa santri saat mereka berbelanja di warung. Ada yang berbisik-bisik, ada pula yang terang-terangan bertanya dengan curiga.
“Benar, ya, kalian diajar hal-hal aneh?” tanya seorang ibu di pasar sambil menatap santri dengan penuh prasangka.
Riyan, salah satu santri cerdas, menunduk. “Tidak, Bu. Kami belajar Al Qur’an, fiqh, hadits, sama seperti pesantren lain.”
Namun jawaban itu tidak menghapus keraguan. Orang-orang lebih percaya pada foto dan tulisan yang beredar di media sosial ketimbang penjelasan langsung.
Azka yang melihat kejadian itu merasa semakin geram. Dalam hati ia bergumam: “Kalau kita tidak bertindak, fitnah ini akan menghancurkan nama baik pesantren.”
Sore hari, di kamar asrama, Azka berbicara serius dengan Hasan. “Hasan, kita harus melakukan sesuatu. Tidak bisa hanya diam.”
Hasan menggeleng cepat. “Kalau kita ikut bicara di media sosial, mereka bisa menyerang balik. Kau tahu sendiri betapa kejamnya komentar warganet.”
“Kalau kita diam, kabar bohong itu makin dipercaya. Kita harus melawan dengan bukti, dengan kebenaran.”
Hasan menatapnya lama, lalu menarik napas berat. “Kau benar, Azka. Tapi bagaimana caranya?”
Azka tersenyum tipis. “Kita mulai dari hal sederhana, kita tunjukan siapa kita sebenarnya.”
Malam itu, di bawah cahaya lampu redup asrama, Azka mulai menulis. Ia menyalin kisah-kisah kecil kehidupan santri: bagaimana mereka gotong royong membersihkan lingkungan, membantu warga saat ada hajatan, hingga belajar mencintai tanah air lewat doa bersama. Tulisan itu ia simpan, menunggu waktu tepat untuk disebarkan.
Azka tahu, ini baru permulaan. Kabut fitnah sedang menebal, dan ia bertekad menjadi cahaya kecil yang akan menembus kegelapan itu.
~~~
Beberapa hari setelah fitnah itu merebak, Azka memberanikan diri menghadap Kyai Ma’ruf. Ia ditemani Hasan, Riyan, dan Kholis tiga sahabat yang ia percaya.
“Kyai,” ucap Azka sambil menunduk hormat, “izinkan kami melakukan sesuatu. Kami ingin membantu meluruskan kabar bohong yang beredar.”
Kyai Ma’ruf menatap mereka dalam-dalam. “Bagaimana caranya, Nak?”
Azka menjawab dengan mantap, meski ada sedikit getar di suaranya. “Kami ingin menggunakan media sosial. Menunjukkan kehidupan santri apa adanya, menulis kebenaran, dan menyebarkannya. Bukan dengan emosi, tapi dengan bukti.”
Kyai Ma’ruf terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Lakukanlah. Tapi ingat, jangan sampai kalian ikut hanyut dalam kebencian. Gunakan ilmu dan akhlak sebagai senjata. Semoga Allah menjaga niat kalian.”
Mereka pun berempat memulai langkah pertama. Riyan yang pandai desain membuat akun resmi pesantren di beberapa platform. Kholis menyiapkan kamera sederhana untuk mendokumentasikan kegiatan harian. Hasan, meski awalnya ragu, akhirnya bersedia menjadi editor. Dan Azka, dengan bakat menulisnya, bertugas merangkai narasi.
Hari pertama, mereka mengunggah foto para santri sedang kerja bakti membersihkan sungai di kampung sekitar. Keterangan fotonya singkat namun
menyentuh: “Kami belajar agama, tapi juga belajar menjaga alam. Karena iman bukan hanya dalam lisan, tapi juga dalam perbuatan.”
Hari berikutnya, mereka mengunggah video kajian kebangsaan yang diasuh langsung oleh Kyai Ma’ruf. Dalam video itu, sang Kyai menegaskan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman.
Pelan-pelan, unggahan mereka mendapat perhatian. Komentar positif mulai muncul. Beberapa warga yang semula ragu, mulai tersenyum lagi saat berpapasan dengan santri.
Namun Azka tidak berhenti di situ. Ia menulis sebuah artikel panjang berjudul “Pesantren Bukan Sarang Radikalisme, Melainkan Benteng Moderasi.” Artikel itu ia kirim ke sebuah portal berita lokal.
Tak disangka, artikel itu dimuat. Judulnya terpampang jelas di halaman utama. Artikel itu bercerita tentang pengalaman nyata santri: belajar disiplin, berkhidmat kepada guru, sekaligus mengabdi kepada masyarakat.
Komentar dari pembaca pun bermunculan:
“Ternyata pesantren begitu ya, bukan seperti yang diberitakan hoaks itu.” “Salut dengan para santri muda. Semoga sukses meluruskan kebenaran.” “Artikel ini membuka mata saya.”
Hasan yang membaca komentar itu tersenyum lega. “Ternyata ada juga orang yang mau mendengar kebenaran.”
Azka menepuk bahunya. “Kebenaran mungkin tidak secepat hoaks, tapi ia punya daya yang tak bisa dipadamkan.”
Namun di balik keberhasilan awal itu, Azka merasakan sesuatu. Hoaks ibarat api. Meskipun mereka berhasil menyiram sebagian, api itu bisa saja kembali berkobar lebih besar. Dan ia benar di balik layar, pihak yang menyebarkan fitnah mulai merencanakan serangan balasan.
~~~
Ketenangan itu ternyata hanya sementara. Dua minggu setelah artikel Azka dimuat di portal berita, muncul video baru yang jauh lebih kejam. Video itu menampilkan Kyai Ma’ruf sedang menyampaikan ceramah, tetapi diedit sedemikian rupa hingga seolah beliau berkata, “Negara ini menghancurkan agama, justru tanpa negara inilah agama kita terjaga.”
Potongan itu jelas palsu Azka tahu karena ia hadir langsung dalam pengajian tersebut. Aslinya, kalimat Kyai berbunyi: “Negara ini tidak menghancurkan agama, justru dengan negara inilah agama kita terjaga.” Namun, siapa yang peduli pada kebenaran ketika kebohongan lebih sensasional?
Video itu menyebar dengan cepat, bahkan lebih cepat dari unggahan unggahan positif yang mereka buat. Wali santri mulai resah lagi. Sebagian mempertanyakan kredibilitas pesantren.
Hasan pucat melihat komentar-komentar pedas di media sosial. “Kita tidak mungkin melawan ini, Ka. Mereka terlalu kuat. Setiap kali kita luruskan, mereka buat fitnah yang lebih besar.”
Riyan menatap Azka, matanya berkaca-kaca. “Kalau begini terus, pesantren bisa ditutup.”
Azka mengepalkan tangan. “Tidak. Kita tidak boleh menyerah. Justru sekarang kita harus semakin teguh. Hoaks itu seperti kabut. Tebal, menyesakkan, tapi cahaya matahari akan selalu menembusnya.”
Meski berusaha tegar, dalam hati Azka juga mulai goyah. Malam itu ia shalat tahajud lebih lama dari biasanya. Air matanya jatuh, membasahi sajadah. Ia berdoa, “Ya Allah, tunjukkan jalan-Mu. Jangan biarkan kebenaran kalah oleh kebohongan.”
Beberapa hari kemudian, takdir mempertemukannya dengan sosok yang tak terduga. Saat pulang sebentar ke kampung untuk menjenguk ibunya yang sakit, Azka bertemu dengan seorang pemuda di warung kopi dekat terminal. Pemuda itu bernama Irfan.
Nama itu sudah sering ia dengar dari bisikan warga dan kabar santri senior. Irfan diduga kuat sebagai salah satu orang yang aktif menyebarkan hoaks tentang pesantren.
Azka mendekat dengan hati-hati. “Kau Irfan, bukan?” tanyanya.
Irfan menoleh, alisnya terangkat. Senyum sinis muncul di bibirnya. “Oh, santri itu. Azka, ya? Aku tahu kau yang suka menulis pembelaan tentang pesantrenmu.”
“Kenapa kau lakukan ini?” suara Azka bergetar menahan emosi. “Kau tahu betul apa yang kau sebarkan itu kebohongan. Apa kau tidak takut dosanya?”
Irfan tertawa kecil. “Kau terlalu polos. Dunia ini bukan soal benar atau salah, tapi siapa yang berkuasa. Kau pikir orang peduli pada kebenaran? Yang penting kabar itu menarik, viral, dan….menguntungkan.”
“Jadi, hanya karena uang?”
Tatapan Irfan mengeras. “Bukan hanya uang. Aku dulu ditolak di pesantrenmu. Aku ingin belajar, tapi Kyai bilang aku tidak siap. Sejak itu aku muak. Aku ingin balas dendam.”
Azka tercekat. Jadi inilah akar semuanya kekecewaan yang berubah jadi dendam.
Dengan nada lirih, Azka berkata, “Irfan… kalau pun dulu kau tidak diterima, bukan berarti Kyai menolakmu selamanya. Pesantren selalu terbuka untuk siapa pun yang ingin belajar dengan niat baik. Kau tidak perlu membalas dengan fitnah. Kau hanya sedang melukai dirimu sendiri.”
Untuk pertama kalinya, senyum sinis Irfan memudar. Ada keraguan singkat di matanya. Namun ia cepat-cepat menepisnya. “Sudahlah, jangan sok jadi pahlawan. Kau hanya santri. Apa yang bisa kau lakukan?”
Azka menatapnya dalam. “Aku hanya santri, ya. Tapi ingat, sekalipun cahaya lilin kecil, ia tetap bisa menembus gelapnya kabut.”
Kata-kata itu membuat Irfan terdiam. Ia menunduk, pura-pura sibuk dengan kopinya. Namun jauh di dalam hatinya, ada getaran yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
~~~
Hari-hari berikutnya semakin menegangkan. Video editan tentang Kyai Ma’ruf terus beredar, bahkan masuk ke grup-grup WhatsApp warga desa. Beberapa tokoh masyarakat mulai meminta klarifikasi resmi.
Azka dan timnya bekerja tanpa henti. Mereka membuat unggahan tandingan: potongan asli video ceramah Kyai, lengkap dengan konteksnya. Mereka juga menyebarkan tulisan tentang ajaran pesantren yang menekankan cinta damai.
Namun, meski bukti sudah jelas, tidak semua orang percaya. Fitnah yang sudah menancap di kepala sulit dicabut.
Suatu malam, ketika Azka sedang menyiapkan artikel baru, pintu asrama diketuk keras. Seorang polisi masuk bersama kepala desa. Wajahnya serius.
“Mana santri yang bernama Azka?”
Azka berdiri, jantungnya berdegup kencang. “Saya, Pak.”
Polisi itu menatapnya. “Kami butuh keteranganmu. Nama dan tulisanmu muncul dalam laporan kasus penyebaran hoaks ini. Kau juga disebut-sebut oleh tersangka utama.”
Seluruh ruangan mendadak riuh. Hasan berbisik panik, “ka, bagaimana ini? Apa kau dijebak?”
Dengan langkah mantap, Azka mengikuti polisi ke balai desa. Di sana, ia melihat Irfan sudah duduk di kursi dengan tangan diborgol. Wajahnya tampak lebih pucat dari terakhir kali mereka bertemu.
Saat melihat Azka masuk, Irfan justru menunduk.
Polisi mulai bicara. “Pemuda ini kami tangkap karena terbukti mengelola beberapa akun palsu penyebar hoaks. Tapi ada hal menarik dia menyebut namamu, Azka. Katanya kau membuatnya sadar.”
Ruangan terdiam. Semua mata tertuju pada Azka.
Irfan mengangkat kepalanya perlahan, matanya berkaca-kaca. “Benar. Aku yang salah. Aku yang menyebarkan fitnah tentang pesantren. Tapi kata-kata Azka menamparku. Dia bilang cahaya lilin kecil bisa menembus kabut. Aku…. aku ingin berhenti. Aku ingin minta maaf.”
Suasana berubah haru. Kepala desa menghela napas lega, sementara polisi mencatat pengakuan itu.
Azka maju mendekat. “Irfan, kau masih punya kesempatan. Fitnahmu memang melukai banyak orang, tapi taubatmu bisa jadi jalan perbaikan. Allah selalu membuka pintu maaf.”
Irfan menunduk, bahunya bergetar. Untuk pertama kali, ia menangis di depan umum.
Kabar penangkapan itu cepat menyebar. Media meliput kasus tersebut, sekaligus menyoroti perjuangan santri dalam melawan hoaks. Program kecil yang digagas Azka bersama teman-temannya “Santri Periksa Fakta” menjadi sorotan. Banyak sekolah dan komunitas mengundang mereka untuk berbagi ilmu literasi digital.
Pesantren yang semula dicurigai, kini justru dikenal luas sebagai pelopor gerakan melawan hoaks. Bahkan pemerintah daerah memberi penghargaan simbolis kepada Kyai Ma’ruf dan para santrinya.
Hasan yang dulu ragu, kini tersenyum bangga. “Ternyata benar, ka. Kebenaran memang lambat, tapi tidak pernah kalah.”
Riyan dan Kholis juga ikut bahagia. Mereka melihat unggahan mereka kini penuh komentar positif, dari warga biasa hingga tokoh masyarakat.
Azka sendiri hanya menunduk rendah. Ia tidak ingin merasa sebagai pahlawan. Semua ini, ia yakin, adalah berkat doa Kyai, restu orang tua, dan pertolongan Allah.
Namun jauh di lubuk hatinya, ia merasakan sesuatu yang tak pernah ia lupakan, pertemuannya dengan Irfan membuktikan bahwa bahkan hati yang dipenuhi dendam pun bisa luluh oleh cahaya kebenaran.
~~~
Keesokan harinya, di serambi masjid pesantren, seluruh santri berkumpul. Angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah sehabis hujan. Di depan mereka, Kyai Ma’ruf berdiri dengan senyum penuh haru.
“Anak-anakku,” suaranya bergetar lembut, “ujian besar telah kita lewati. Fitnah yang menimpa kita ibarat kabut tebal. Tapi ingatlah, kabut itu akhirnya sirna, karena cahaya kebenaran tidak pernah padam.”
Santri-santri menunduk, sebagian menitikkan air mata. Mereka merasakan betapa berat perjuangan itu, tapi juga betapa manis hasilnya.
Kyai melanjutkan, “Hari ini bangsa memperingati Hari Santri. Santri bukan hanya penjaga kitab kuning, bukan hanya penghafal ayat, tapi juga benteng moral bangsa. Tugas kita bukan sekadar menimba ilmu, melainkan juga menjaga masyarakat dari tipu daya, dari hoaks, dari fitnah.”
Kata-kata itu menggema di hati Azka. Ia menatap wajah-wajah sahabatnya: Hasan yang dulu ragu kini teguh, Riyan dan Kholis yang berani melangkah, serta puluhan santri lain yang kini sadar, mereka bukan hanya belajar untuk diri sendiri, melainkan untuk umat.
Di langit, bulan purnama muncul dari balik awan, menyinari halaman pesantren. Azka tersenyum lirih. Dalam hati ia berbisik, “Inilah makna santri. Menjadi cahaya, sekecil apa pun, di tengah kabut zaman.”
Dan malam itu, di bawah cahaya bulan, para santri bersatu dalam tekad: melawan hoaks dengan ilmu, menepis fitnah dengan akhlak, dan menjaga Indonesia dengan doa serta karya nyata.