
Oleh: Radit Abdul Farit (Santri Ponpes Al Mawaddah, Ciganjur)
Jumat, 19 Juli 2019
Hafiz Ali Husain, remaja berusia 16 tahun yang ketiduran di atas sajadahketikasedang muroja’ah Qur’an. Bahkan dia tertidur sambil memeluk Qur’an pemberianibunya. Wajar saja dia mengantuk, waktu menunjukan pukul 03:15 dini hari. Sudah menjadi kebiasaan dia sedari masih duduk di bangku sekolah dasar. Sedangkan Aminahsibukmemasak berbagai kue untuk dijual di pasar dan Hafiz pun menjualnya di sekolah. Belumsampai Hafiz pulas dalam tidurnya, dia terbangun karena mendengar Aminah berteriakdari arah dapur. Hafiz berlari keluar kamar sambil memeluk Qur’an-nya. Dia sangat kaget karenarumahnya dikelilingi oleh api. Aminah menarik tangan Hafiz, yang dia pikirkanadalahkeselamatan anaknya, pandangannya kabut karena asap di mana-mana dan kayu-kayudari atap mulai berjatuhan. Aminah mendorong Hafiz ketika ada kayu ber-api yang jatuhdanhampir mengenai anaknya. Pada akhirnya, Aminahlah yang tertimpa kayu itu, Hafiz inginmenolong Aminah tapi Aminah menyuruhnya untuk keluar dari rumah. Baginya, keselamatanHafiz lebih utama dari nyawanya.
Pintu terbanting sangat kencang. Hendra berlari masuk ke rumah dan menariktanganHafiz untuk segera keluar dari rumah.
“Hendra! Saya titip Hafiz yaa….!” Teriak Aminah yang terdengar jelas sebelumkayujatuhmenimpanya lagi.
Hendra menarik tangan Hafiz sekuat tenaga karena dia tau bahwa Hafiz tidakakanmau keluar sebelum Aminah keluar bersamanya. Mata Hafiz dibanjiri air mata, mulutnyamembisu, dan badannya mematung. Dia berharap pada Tuhan bahwa semua yangterjadi adalah mimpi. Pandangannya memudar melihat orang-orang berlari menyirami rumahnyapada akhirnya dia benar-benar tak sadarkan diri.
“Assalamualaikum Ibu, aku ke sini mau pamitan sama Ibu. Karena besok akuakanberangkat ke Bandung. Kata Om Hendra aku akan pesantren di sana, doain aku ya, Bu…. Nanti kalo aku udah sukses, aku akan buat toko kue sesuai keinginan Ibu dan nanti yangakujual di sana resepnya dari Ibu. Satu lagi, Ibu mau banget kan kalo aku jadi Kyai? doainakuya, Bu… aku akan usahakan yang Ibu pinta dari aku. Sudah ya Bu, nanti aku main ke sini lagi. Assalamualaikum, Ibu” selama kepergian Aminah satu tahun lalu, Hafiz sering datang untuk berziarah dan bercerita tentang hari-harinya. Hafiz mencium batu nisan itu dan menghirupnyasebelum dia pergi meniggalkan tempat itu.
Setelah melewati perjalanan panjang, Hafiz dan Hendra pun sampai di Bandung. Senyum Hafiz melebar ketika melihat gapura besar bertulisan “Welcome to Al-Qomar”matanya menari kesana-kemari menikmati kota Bandung. Dia berjalan mengikuti Hendra, sampai akhirnya langkah Hendra berhenti tepat di depan rumah ber-cat putih. Di depannyabanyak bunga dan tanaman indah, sedangkan di belakangnya banyak sawah-sawahyangsangat asri. Wajar saja, rumah itu nyaman untuk ditempati.
Hendra mengetuk pintu sambil mengucap salam dan dari dalamterdengar suaraperempuan yang menjawab salamnya sampai akhirnya pintu terbuka, dan menampakanperempuan yang seumuran dengan Hafiz.
“Punten Neng, bisa ketemu abah?” ucap Hendra dengan hati-hati dan menundukkankepalanya karena dia tau bahwa dia sedang berhadapan dengan anak Kyai, dan juga untukmenjaga pandangan. “Ohh boleh. Sebentar ya, sok atuh duduk dulu.” Ucap Hafizahmempersilakan tamunya untuk duduk sebelum akhirnya masuk kembali.
Hendra duduk di bangku yang mengelilingi meja bundar di tengahnya dan diikuti olehHafiz. Tidak lama abah-pun keluar, dan mereka bergegas berdiri dan mengucapsalam. “Assalamualaikum, Abah.” ucap Hendra sambil mencium tangan Abah.
“Waalaikumussalam.”
“Abah, Saya teh Hendra yang kemarin ditelepon, saya ingin antar ponakan saya untukbisamondok di sini.” jelas Hendra.
“Alhamdulilah, siapa nama kamu?” tanya abah pada Hafiz.
“Hafiz Al-Husain, Abah” jawab Hafiz
“Kemarin di telepon, Om kamu bilang kamu sudah hafal 30 juz, ya?” “In Sya Allah saya sudah hafal, Abah.”
Abah mulai menge-tes bacaan dan hafalan Qur’annya Hafiz, semuanya berjalandenganbaik bahkan Abah suka dengan bacaan Qur’an Hafiz.
“Alhamdulillah hafalan Qur’an kamu bagus, bacannya juga baik. Mulai sekarangkamuteh bisa belajar di sini secara gratis.” Jelas Abah. Hafiz menangis, bukan karena sedihtapi
karena terharu. Dulu dia sangat ingin pesantren tapi tidak bisa karena tak ada biaya. Tapi sekarang dia bisa pesantren tanpa mengeluarkan biaya.
“Alhamdulillah, terimakasih abah. In Sya Allah Hafiz tidak akan menyia-nyiakankesempatan ini dan Hafiz akan belajar sungguh-sungguh.” Ucapnya sambil mengusapairmata.
Hendra telah pulang satu jam yang lalu setelah berpamitan dengan kyai Hasanuddin. Kini, Hafiz telah berada di dalam asramanya, dia tidak sendiri tapi ada dua santri lainyangse-asrama dengannya. Dari Hafiz masuk dan mengucap salam mereka sama sekali belummengobrol. Hafiz menarik koper yang berada di samping kasurnya, dia mulai membukakoper dan memindahkan barang-barangnya ke dalam lemari, sampai akhirnya…
“Kamu teh santri baru ya?” tanya salah satu dari mereka yang mulai mendekat ke arahHafiz. “Iya saya anak baru, kenalin nama saya Hafiz.” Jawab Hafiz.
“Saya Abay. Kalau itu-“
“Angga.” Potong Angga yang mulai mendekat dan mereka pun bersalaman. “Semoga kamu teh bisa betah di sini.” ujar Abay.
Malam itu mereka langsung akrab. Angga dan Abay bercerita pada Hafiz tentangkeseharian mereka di pesantren. Dari kegiatan, guru-guru, teman dan masih banyaklagi sampai mereka tertidur
Hafiz dan Abay memutuskan untuk berangkat ke kelas lebih dulu. Hafiz terkejut karenaketika dia membuka pintu kelas, dia melihat santri lain yang bernama Asep yang sedangdi bully oleh tiga orang lainnya. Bukannya Abay tidak terkejut tapi dia sudah terbiasa denganhal itu. Alex dan kedua temannya sudah terkenal sering merundung santri lain. Namundemikian, tidak ada santri yang berani mengadu pada Abah ataupun majelis guru. HafizdanAbay duduk di bangku pojok paling depan, mereka memutuskan untuk tidak ikut campurdalam aksi itu.
“Kalo lo ga mau ngasih duit lo, gue pastiin lo gaakan betah ada di sini!” ancamAlex. “Milik saya, hak saya!” ujar Asep hampir tak terdengar.
“Bilang apa lo tadi?” tanya Alex memastikan bahwa yang dia dengar itu benar. Asephanyamembisu tidak menjawab, sampai akhirnya “BUGHH!” satu tonjokan melayang tepat di
wajah Asep. Hafiz berdiri, tapi dia segera ditahan oleh Abay. Abay memberi isyarat agarHafiz tidak ikut campur, tapi Hafiz tetap berjalan ke arah Alex.
“Alex!” panggil Hafiz sedikit berteriak. Semua yang ada di kelas menoleh ke arahnya, termasuk yang dipanggil.
“Dari dulu sampai sekarang ga pernah berubah ya, kamu mikir gak? Kamu itu kayak gini gakbikin kamu terlihat keren.” ujar Hafiz, sedangkan yang diajak bicara hanya tersenyumsinis.
“Lo Hafiz anak pungut itu kan? Halo, apa kabar? Lo mondok di sini juga? Emang lo sanggupbayaran bulanannya? Oh iya, mana kue-kue jualan lo? udah gak jualan? Jualan dong! Kanbiar bisa bantu nyokap lo buat bayaran pesantren, padahal gue mau beli tau-” cibir Alex
“Eh tapi gak jadi deh, nanti gue sakit perut lagi.” cibirnya lagi, sedangkan teman-temannyaikut tertawa.
“Jaga mulut kamu! gausah bawa ibu! Atau…-”
“Atau apa? lo berani ngancem gua? ingat! gue gak akan ngebiarin lo berlama-lama ada di sini!camkan itu!” ujar Alex mengancam. Telunjuknya menunjuk ke arah mata Hafiz secarabergantian, lalu melayangkan satu pukulan sebelum akhirnya dia dan teman-temannyapergi
meninggalkan kelas. Hafiz tidak peduli dengan pukulan itu, tapi yang dia khawatirkanadalahAsep yang bahkan belum dia kenal sama sekali.
***
“Fiz, kamu kok bisa kenal sama Alex?” tanya Abay penasaran. Kini mereka sedangmakan siang setelah salat zuhur.
“Iya, dia temen saya dari SD.” jelas Hafiz, sedangkan Angga hanya diammendengarkan.
“Maaf ya, tadi teh saya bukannya gak mau nolongin, cuma saya gak mau aja berurusansamamereka.” jelas Abay merasa bersalah.
“Aman kok. Lagian saya kan udah biasa digituin sama dia.” ujar Hafiz setelah itu gakadayang bersuara.
Tidak terasa sekarang Hafiz sudah hampir tiga tahun di pesantren, empat bulanlagi dialulus. Segala rintangan telah dia lewati bersama kedua sahabatnya, baginya itu semuabiasasaja. Yang menjadi permasalahan adalah Alex yang semakin menggila untuk
mengganggunya. Bahkan sekarang dia telah dijuluki sebagai “ANAK PUNGUT” tapi Hafizbisa apa? Dia benar-benar tidak tahu siapa ayahnya.
Bahkan ketika dulu dia bertanya kepada Aminah siapa ayahnya, Aminahhanyamembisu. Dari situlah Hafiz tidak pernah bertanya lagi siapa ayahnya dan dari situ-pundiamulai tidak peduli tentang sebutan “anak pungut”.
Kabar gembiranya adalah ketika Hafiz lulus nanti, dia langsung berangkat ke Al-AzharKhoiro untuk kuliah secara gratis. Bahkan biaya hidup-pun ditanggung oleh beasiswa. Bukanhanya Hafiz yang mendapatkan kesempatan itu, tapi ada empat orang lainnya yaituAbay, Angga, Ali,dan Alex.
Alex memang bukan anak yang baik, tapi dia juga bukan anak yang bodoh, bahkandiaselalu menjadi peringkat ke-dua setelah Hafiz. Hal itu yang membuat Alex semakinmembenci Hafiz karena telah merebut posisinya, karena sebelumnya Alex lah yangselalumenjadi peringkat pertama.
Malam ini seperti biasa, Hafiz dan sahabatnya sedang mengobrol sambil tidurandi ataskasurnya masing-masing. Tiba-tiba Abay bangkit dari kasur, dia mengambil tas kecil dari lemarinya, lalu kembali lagi ke kasurnnya.
“Hafiz, Angga sini!” panggil Abay pada kedua temannya. Mereka pun menurut dan dudukdi kasur Abay. Abay mulai membuka isi tas-nya, dia mengeluarkan satu benda yang membuat kedua temannya kaget seketika.
“Astaghfirullah, Abay! Kamu bawa HP? Gimana kalau nanti ketahuan sama Abah?”ujarHafiz pelan agar tidak ada yang mendengar.
“Aman, udah biar kita ga bosen.” jelas Abay
“Gelo si Abay! Kamu kalo mau melanggar jangan ajak saya!” titah Angga kemudiankembali lagi ke kasurnya.
Tak lain dengan Hafiz, dia meninggalkan Abay dengan alasan ingin pergi ke toilet. “Akuizinke toilet dulu ya, mau wudu.” ucap Hafiz bergegas pergi.
“Ikut!” teriak Abay kemudian menyusul.
Hafiz berjalan begitu cepat, sehingga Abay tertinggal jauh di belakang. Ketika Hafizinginmenuruni anak tangga, dia berpapasan dengan Alex, Rasya, dan Umam.
“Eh, anak pungut.” ujar Umam. Hafiz bergegas pergi meninggalkan mereka. Namun, tangannya segera ditahan oleh Alex.
“Lo mau kemana anak pungut?” tanya Alex.
“Stop panggil saya anak pungut!”
“Kalo bukan anak pungut, berarti anak haram? Nyokap lo kan hamil tanpa suami, kasianbanget ya lo terlahir sebagai anak kupu-kupu malam.” ujar Alex tanpa hati. Dia mendorongbadan Hafiz keras, namun Hafiz segera menghindar sampai akhirnya Alex yang tersungkurke lantai bawah.
Kegaduhan ini mengundang santri lain untuk keluar dari kamarnya. Rasya danUmammenuduh Hafiz yang telah mendorong Alex di hadapan santri lain.
Alex dibawa ke rumah sakit, luka di kepalanya tidak terlalu parah, tapi dia beraktingseolah baru saja mengalami kecelakaan besar. Berita malam itu terdengar oleh Abah. Beliaumemanggil Hafiz, Alex, Rasya, dan Umam untuk meminta penjelasan. Hati Hafiz berdetakkencang, selama ini dia adalah korban, tapi kenapa dia yang dituduh sebagai pelaku.
“Alex coba kamu ceritakeun, kumaha kitu bisa jadi seperti ini?” tanya Abah memintapenjelasan.
“Jadi kita bertiga teh lagi mau jalan ke kamar, pas di tangga teh ketemu jeung si Hafiz. Diateh minta uang, Bah. Alex kasih sepuluh ribu, terus dia minta tambahin. Pas Alex bilanguangudah habis, Hafiz langsung dorong saya.” jelas Alex.
“Benar itu Hafiz?” tanya Abah. Hafiz menggeleng, tapi belum sempat dia menjawab.
“Iya Abah saya lihat sendiri, bahkan Umam juga lihat, Bah.” potong Rasya, tidakinginmusuhnya menjawab. Sedangkan Umam hanya mengangguk. Hafiz menundukkan kepalanya, dalam hati dia berdoa dan meminta jalan keluar dari-Nya.
“Hafiz! Beasiswa kamu Saya tahan, beruntung kamu teh ga Saya keluarin dari pesantren.”Degh! Bagaikan disambar petir, semua terasa begitu hampa. Yang dia usahakan bertahun tahun kini hilang dalam satu kalimat. Sedangkan Alex dengan teman-temannya merasamenang dalam hal ini.
Akhir-akhir ini, semua orang menatap Hafiz dalam kehinaan. “Gila. Cover-nya aja bagus. Tapi aslinya, Naudzubillah.’’ cibir orang-orang padanya. Sesekali dia menangis pada
Tuhannya, karna dia yakin Allah tidak tidur, dan lihat semua yang terjadi padanya. Diajugayakin, cepat atau lambat, dia akan mendapatkan titik terang dalam kegelapan.
Siang ini, Hafiz memilih untuk tidur setelah melaksanakan salat zuhur. Sedangkan AbaydanAngga, masih mengerjakan tugas di perpustakaan. Sudah satu jamdia tertidur sampai akhirnya Abay dan Angga pun kembali ke kamar. Abay terkejut karena melihat pintulemarinya terbuka. Padahal dia ingat, tadi sebelum salat zuhur, dia telah mengunci lemarinya. Abay mengecek lemarinya memastikan barangnya tidak ada yang hilang. Sampai akhirnya-
“Angga, dompet saya hilang. Gimana ini? mana ada uang bulanan pesantren.” ujar Abaypanik, Angga pun ikutan panik. Kegaduhan itu membuat Hafiz terbangun. Sampai akhirnya, mereka memutuskan untuk mencari bersama. Tapi hasilnya nihil.
“Fiz, kamu kan…. dari tadi di kamar, kamu ga lihat orang lain masuk?” tanya Abay.
“Ga, karena saya langsung tidur pas sampai kamar-” jelas Hafiz. “Yaudah, gimana kalaukamu cek aja lemari saya.” lanjutnya.
“Maksud saya ga begitu, Fiz.” jelas Abay.
“Ga apa-apa. Coba aja, ga ada salahnya, kan?” ujar Hafiz.
Angga turun tangan, dia membuka lemari Hafiz, dan mengacak-acak isinya. Merekasangat terkejut, karena yang mereka cari ada di dalam lemari Hafiz.
“Jahat kamu, Fiz! Hampir tiga tahun kita sahabatan, tapi kamu kayak gini sama saya.”“Sumpah, saya ga tau kenapa dompet kamu bisa di lemari saya.” bela Hafiz.
Namun percuma, dia tidak ada bukti untuk membuat kedua temannya kembali percaya. “YaAllah. Apakah setelah ini ada lagi ujiannya? kalau memang ada kuatkan-lahakuyaAllah.” lirihnya dalam hati.
Sudah dua minggu Hafiz tidak berbincang dengan kedua sahabatnya. Setelah kejadiandompet Abay ada di lemarinya. Hari ini hari Ahad, di mana semua santri akan dijengukolehkedua orang tuanya. Tapi Hafiz, selama ini Hendra belum pernah datanguntukmenjenguknya. Dia hanya datang ketika liburan pesantren tiba.
Ketika semua santri kedatangan orang tuanya, Hafiz hanya mengurung diri di dalamkamar. Biasanya Abay dan Angga mengajaknya untuk bergabung bersama keluarga merekaatau ketika mereka datang ke kamar, mereka akan mengeluarkan makanan yangbanyak
untuk Hafiz. Itu semua mereka lakukan untuk menghibur Hafiz. Tapi hari ini tidak, kebiasaanitu telah hilang. “YaAllah, aku kangen Abay dan Angga yang dulu.” lirihnya dalamhati.
Alex, dan Rasya sedang mengerjakan tugas di perpustakaan. Kini mereka sibukdengankesibukan masing-masing, sampai akhirnya.
“Alex, lo beneran udah bikin Hafiz jauh dari temen-temennya?” tanya Rasya mengawali obrolan.
“Udah.” jawab Alex singkat.
“Gimana tuh caranya?”
“Dua minggu lalu, gue sama Umam masuk ke kamar mereka. Nah, kebetulan cuma adaanakharam itu lagi tidur. Terus, gue ambil dompet Abay, gue taro di lemari Hafiz.” jelas Alexbangga.
“Gokil bro!” ujar Rasya.
Abay berlari masuk ke dalam kamar. Sedari tadi dia sedang mengerjakan tugasdi perpustakaan bersama Ali.
“Kenapa kamu teh lari-larian?” tanya Angga. Tanpa menjawab pertanyaan itu. Abay dudukdi samping Hafiz.
“Fiz! maafkan saya, ya… saya udah nuduh kamu.” ujar Abay.
“Maksudnya?” tanya Hafiz tidak paham.
Abay mengeluarkan handphone-nya, lalu memutar video yang menunjukkan bahwaAlexjatuh bukan karena didorong oleh Hafiz. Justru Alex-lah yang ingin mendorong Hafiz, tapi untungnya Hafiz refleks menghindar. Sampai akhirnya Alex-lah yang terjatuh. MalamituAbay mengikuti Hafiz untuk pergi ke toilet, tapi dia segera sembunyi pada saat Hafizdihadang oleh Alex. Lalu dia memutuskan untuk merekam kejadian itu.
Setelah itu Abay memutar audio, di mana terdengar percakapan Alex bersama Rasyaketika di perpustakaan. Kini semuanya sudah terbongkar, bahwa Alex dan teman-temannyalah yang bersalah.
Siang itu mereka pergi kerumah Abah, untuk memberikan bukti bahwa Hafiz tidakbersalah. Meski Hafiz sedikit ragu, dia takut Abay dihukum karena dia membawa handphonetetapi Abay meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Sampai akhirnya…
Sabtu, 21 Januari 2023
Pihak pesantren mengumumkan, bahwa tiga santri yang terlibat dalamperistiwaperisakan, telah mendapat sanksi tegas. Ketiganya resmi dikeluarkan dari pesantren.
Pengumuman itu, terdengar oleh seluruh santri. Dikeluarkan dari peseantren padasaat menginjak kelas 12 adalah bencana besar bagi santri. Tapi itu pantas didapatkan olehAlex, Umam, dan Rasya.
Hari ini, adalah hari kelulusan Hafiz. Hendra datang ke Bandung untukikut merayakannya. Setelah acara selesai, Hafiz diajak oleh Hendra untuk pergi ke rumahAbah. Hafiz tidak tahu apa yang ingin Hendra lakukan. Kini, mereka telah duduk di ruang tamu, di sana sudah ada Abah dan Hafizah. Suasana canggung, sampai akhirnya-
“Hafiz, Hafizah. Mungkin sudah saatnya kalian tahu kalau sebenarnya kalian tehsodarakembar-” Hafiz dan Hafizah terkejut mendengar itu, kecuali Hendra.
“Ibu kalian meninggal pada saat melahirkan kalian. Abah teh ga sanggup kaloharusmengurus kalian berdua. Sampai akhirnya, ada suster yang ingin mengasuh Hafiz karenadiatidak bisa memiliki anak-” suster yang dimaksud itu adalah Amina. “Kita buat kesepakatan, di umur kamu yang ke-15, Kamu akan dikembalikan ke Abah. Allah Maha Melihat danMendengar. Sampai akhirnya, kamu kembali tepat di umur kamu yang ke -15.” jelas Abah.
Hafiz dan Hafizah menangis. Mungkin sulit menerima semuanya, tapi itu semua memangtakdir yang harus mereka terima.
Singkat cerita, sekarang Hafiz, Angga, Abay dan Ali telah menyelesaikan S-2 di Al-AzharKhoiro. Kini, mereka sudah memiliki kesibukan masing-masing. Hafiz telah memiliki tokokue yang cukup besar dan dibantu oleh Hafizah. Tidak hanya itu, bahkan sekarang dia benar-benar telah menjadi Kyai menggantikan Abah.
Hafiz, Angga, dan Abay sedang berada di toko kue milik Hafiz, mereka memang seringberkumpul di toko Hafiz setiap hari libur. Sampai pada akhirnya ada karyawan yang bernamaAnisa mendatangi Hafiz.
“Permisi, Gus Hafiz. Maaf, ada yang nyariin.” ujar Anisa.
“Siapa yang nyariin saya?” Tanya Hafiz.
“Ga tau Gus, katanya dia mau ngelamar kerja di sini. Dia nunggu di bangku nomor 14yaGus, Saya permisi.” jelas Anisa.
“ Iya baik.”
Hafiz bergegas menemui tamu-nya itu, setelah izin kepada Abay dan Angga untuk menemui tamunya. Sebenarnya pegawai di sini sudah cukup, tapi Hafiz tetap menemui tamutersebut. Setidaknya menghargai kehadirannya. Kini Hafiz telah sampai di bangku nomor 14, dia terkejut karena ternyata tamunya itu adalah Alex.
“Assalamualaikum, Alex!”
“Hafiz! Lo pemilik toko kue ini?” tanya Alex tanpa menjawab salam dari Hafiz. Telunjuknyamenunjuk ke arah muka Hafiz.
“Iya, alhamdulliah. Apa kabar, Lek?” tanya Hafiz.
“Gue permisi.” ujar Alex bergegas pergi. Tapi tangannya ditahan oleh Hafiz.
“Alex, kamu di sini dulu, di sana ada Abay dan Angga. Kamu bisa gabung sama kami.” ajakHafiz sambil menunjuk ke arah pojok ruangan.
“Hafiz! Lo lupa sama semua yang udah gue perbuat dulu ke lo dan temen-temen lo, logatauya kalo gue yang buang baju kesayangan lo, lo ga tau ya gue yang bakar buku-buku lopas mendekati waktu ujian? dan gak cuman itu, bahkan gue yang fitnah lo dan nyebarin hoaks tentang lo dan nyokap lo. Lo lupa? dan bahkan yang gue sebutin ga seberapa dari perlakuangue dulu ke lo.” Hafiz memeluk Alex. Lalu melepasnya.
“Saya udah lupain itu semuanya. Sekarang saya mau kita bersahabat dan saya minta kamubuat jadi guru di pesantren Abah. Gimana? mau?” tanya Hafiz.
Abay dan Angga pun datang. Hafiz menjelaskan kepada kedua sahabatnya tentang keputusannya. Abay dan angga pun tidak keberatan dan menerima Alex sebagai sahabat barunya.