Perempuan yang Menanam Surah di Taman Pesantren

0

Oleh: Karin Adzka Isfahany, MA Unggulan K.H. Abd. Wahab Hasbulloh Bahrul Ulum Tambakberas Jombang (MAUWH)

 

“Perempuan yang menanam doa seperti menanam bunga. Setiap lafaz ayat yang ia genggam, tumbuh menjadi cahaya di tanah pesantren yang sunyi. Dari bibirnya mengalir zikir seperti air yang menyuburkan bumi, dan dari matanya lahir kesabaran yang meneduhkan langit.”

Fajar merambat pelan, seperti jilbab putih yang disibakkan dari wajah malam. Di halaman pesantren, embun masih tergantung di pucuk rumput, berkilau seperti tasbih mutiara yang tercecer dari tangan seorang wali. 

Dinding musala masih menyimpan gema khatam Al-Qur’an semalam. Suaranya tak benar-benar hilang, seperti angin yang enggan pergi dari ranting pohon. Burung-burung mulai berkicau, lirih, seakan ingin melanjutkan doa yang tadi malam ditutup oleh para santri. Pesantren bukan sekadar bangunan, tetapi juga menjelma menjadi samudra sunyi yang dipenuhi doa.

Di antara barisan santri perempuan yang berjalan dengan langkah kecil dan khidmat, tampak Alifa. Wajahnya memang letih, bekas terjaga setiap malam untuk belajar yang sering menorehkan lingkar hitam di bawah mata, namun ada kilau yang tak bisa disembunyikan. Kilau itu bukan milik tidur yang cukup, melainkan milik hati yang terjaga. Matanya menyimpan cahaya kecil, seperti lentera yang ditiup angin namun tak pernah padam.

Alifa selalu membawa pena. Bagi sebagian orang, pena hanyalah benda remeh yang mudah hilang. Namun baginya, cangkul untuk menggemburkan tanah pikirannya, agar setiap hikmah yang jatuh bisa segera ditanam. Ia mencatat kata-kata ustazah, ia menyalin ayat, ia menuliskan tafsir sederhana. Seakan setiap huruf adalah benih yang tak boleh terbuang sia-sia.

“Kenapa kamu selalu menulis, Alifa?” tanya Salwa, teman kamar pondoknya.

Alifa hanya tersenyum, “Karena aku takut lupa. Aku percaya, ilmu yang ditulis akan tumbuh, seperti benih yang ditanam.” jawabnya penuh keyakinan.

Baginya, pesantren bukan sekadar ruang belajar. Ia memandangnya sebagai taman luas, tempat ayat-ayat suci tumbuh menjadi bunga, hadis-hadis menjelma pepohonan, dan doa-doa menggantung bagai bintang di langit malam. Di taman itu, ia menanam surah bukan di tanah, melainkan di hatinya. Ia menyiraminya bukan dengan air, melainkan dengan sabar dan linangan air mata sujud. Setiap kali membuka mushaf, ia merasa seperti sedang menyiram benih yang kelak akan mekar menjadi keberanian, kasih sayang, dan cahaya. Cahaya itu, ia yakini, akan lebih panjang usiannya daripada usia manusia, bahkan usia zaman.

Langkahnya terhenti di dekat taman kecil pesantren. Tanaman hias berbaris rapi, Ia menunduk, menyentuh daun yang masih basah oleh embun. 

“Beginilah ayat-ayat itu tumbuh,” bisiknya. 

“Dimulai dari kecil, disiram dengan kesabaran, hingga akhirnya kuat menahan badai.”

Ia ingat dawuh Nyai Ahmad Dahlan yang pernah didengarnya “Perempuan harus sadar akan tanggung jawabnya sebagai hamba Allah. Ia akan jadi ibu bagi anak-anaknya dan bangsa. Untuk itu, perlu pandai dan mendidik dengan baik.” 

Kata itu menempel di benaknya seperti ayat yang tak pernah hilang. Alifa merasa, pesantren adalah rahim kedua setelah ibunya. Tempat ia ditumbuhkan, ditempa, dan diajarkan bagaimana menjadi cahaya bagi orang lain.

Ia sering merenung, mengapa sebagian orang masih menganggap santri perempuan hanya sekadar pelengkap? Mengapa suara mereka jarang didengar, padahal mereka sama-sama penjaga ilmu?. Di dalam hatinya, ia menyimpan tekad bahwa perempuan bukan sekadar bunga di taman, melainkan akar yang mencengkeram bumi. Tanpa akar, pohon akan tumbang; tanpa perempuan, ilmu akan kehilangan tempat tumbuh. 

Pagi itu, Alifa berjalan menuju musala dengan langkah ringan. Suara sandal para santri beradu dengan kerikil, menimbulkan denting kecil yang berpadu dengan kicau burung. Suasana itu sederhana, tapi bagi Alifa, semuanya terasa agung. Ia seperti berjalan di atas permadani doa yang digelar malaikat. Ketika ikamah dikumandangkan, hatinya bergetar. Ada getaran yang sama setiap pagi, seakan Allah sedang mengetuk pintu jiwanya dengan lembut. “Bangunlah, wahai jiwa yang tenang,” bisik hatinya. 

Dalam musala kecil itu, Alifa kembali menanam surah. Bukan sekadar melafalkan huruf, melainkan menanamnya satu demi satu di taman hatinya. Ia percaya, kelak bunga-bunga itu akan mekar bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk zaman yang haus cahaya.

Di hari yang sama selepas zuhur, suasana pesantren lebih riuh dari biasanya. Angin panas menerobos jendela kelas, membuat kertas-kertas catatan santri berterbangan. santri laki-laki baru saja menyelesaikan musyawarah Bahtsul Masa’il, diskusi kitab yang setiap tahun selalu menjadi kebanggaan. Sementara itu, santri perempuan hanya diposisikan sebagai pendengar di ruang belakang.

Alifa duduk di pojok, pena di tangannya bergetar. Ia menulis menangkap setiap argumen yang meluncur dari lisan santri laki-laki. Tapi dalam hatinya ada luka kecil yang terus menganga, pertanyaan yang terus ada di kepalanya, 

“Mengapa suara perempuan tak diizinkan hadir di forum ini?” gumamnya penuh gejolak.

“Santri perempuan cukup mencatat,” 

“Biarlah santri laki-laki yang berbicara.”salah seorang ustaz pernah berkata.

Kalimat itu menempel di kepala Alifa seperti duri. Ia merasa seakan taman hatinya yang penuh bunga tiba-tiba diinjak tanpa belas kasihan.

Malamnya, ia berbaring dengan mushaf terbuka di dada. Ayat yang terbaca seolah berbicara padanya, “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang beriman, yang tetap dalam ketaatannya, yang benar, yang sabar, yang khusyuk, yang bersedekah, yang berpuasa, yang memelihara kehormatannya, yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 35). Alifa menutup matanya. Ayat itu bagai air yang menyiram dahaga. “Bukankah Allah telah menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan setara dalam pahala, setara dalam amal?” “Mengapa pesantren masih seakan menutup satu telinga bagi suara santri perempuan?”

Keesokan harinya, kesempatan itu datang. Pesantren mengadakan musyawarah terbuka, melibatkan masyarakat sekitar. Musyawarah tersebut mengangkat tema tentang Bagaimana Pesantren Bisa Berperan di Tengah Perubahan Zaman Digital. Santri laki-laki maju satu per satu, dengan suara lantang, penuh argumen. Kiai mengangguk-angguk. Namun saat giliran santri perempuan, suasana berubah. Sebagian hadirin berbisik, sebagian menunduk tak acuh.

“Perempuan bicara tentang teknologi? 

Apa yang bisa mereka pahami?” terdengar suara lirih dari barisan belakang.

Alifa berdiri. Jantungnya berdegup, seperti genderang yang ditabuh di dalam dada. Ia menggenggam kertas catatan, tapi kemudian menutupnya. Ia tahu, hari itu ia harus berbicara bukan dengan pena, melainkan dengan suara.

“Nyai Ahmad Dahlan pernah berkata,” ujarnya, suaranya bergetar tapi tegas. 

“Perempuan harus sadar akan tanggung jawabnya sebagai hamba Allah. Ia akan jadi ibu bagi anak-anaknya dan bangsa. Jika umat ini sedang bergerak ke dunia digital, bukankah perempuan juga berhak menjadi pendidik di dalamnya? Bukankah surah yang kami hafal bisa kami tanam di dunia maya, agar menjadi bunga yang mengharumkan generasi?”

Ruangan mendadak hening. Angin seolah berhenti di jendela.

“Jika kami hanya diminta mencatat, siapa yang akan mendengar suara hati kami?” ucapnya dengan lantang.

“Padahal, di setiap doa seorang ibu, ada ayat yang diam-diam tumbuh. Dan doa itu, sering kali lebih kuat daripada pidato siapa pun di ruangan ini.” Lanjutnya dengan suara tegas.

Kata-katanya meluncur seperti batu kecil yang jatuh ke permukaan telaga, riaknya menjalar pelan, tapi tak henti merambat ke segala arah. Beberapa kiai terdiam, seakan ditahan oleh air yang tiba-tiba membeku. Sebagian santri laki-laki saling pandang, seperti burung yang terbangun oleh suara petir. Dan di wajah-wajah santri perempuan, tampak mata berbinar, seolah Alifa baru saja membuka jendela di ruang yang lama terkunci rapat.

“Kenapa dia berani sekali bicara seperti itu?”
“Kalau kiai tersinggung, kita semua bisa kena.”
“Perempuan itu memang sok pintar.” suara-suara lirih terdengar di balik tirai.
Alifa mendengar suara itu. Hatinya terasa perih, seperti kaca yang retak perlahan. Namun ia menutup mata, menahan napas, berusaha menenangkan diri. 

“Ya Allah,” batinnya lirih.

“Aku hanya menanam doa. Mengapa bunga yang kutanam mereka lihat sebagai duri?”

Keesokan paginya, sebuah pengumuman menggema, seperti lonceng yang membangunkan seluruh pesantren.

“Alifa Yasmin Nayyirah, dipanggil Abah Kiai untuk ke ndalem setelah dhuha.”

Seisi pesantren seolah bergetar. Santri-santri berbisik, mata mereka penuh tanda tanya. Ada yang kasihan, ada yang puas, ada pula yang takut seakan nama mereka sendiri yang disebut. Bagi sebagian, panggilan itu adalah kehormatan, bagi yang lain, itu adalah vonis yang menyamar sebagai undangan. Langkah Alifa menuju ndalem terasa panjang, seakan setiap ubin adalah batu timbangan yang menambah berat di kakinya. Hatinya bergemuruh seperti air bah yang mencari muara, namun wajahnya tetap tenang, seperti bulan yang pasrah di tengah gelap. Ia tahu, sejak kata-katanya meluncur kemarin, jalan pulang telah tertutup, yang tersisa hanyalah jalan ke depan, meski berliku, meski penuh risiko.

Di depan pintu kayu jati, ia menarik napas panjang. Aroma kitab-kitab tua berpadu dengan bau kayu yang berumur, menguar seperti doa yang sudah ratusan kali diulang. Di dalam, menunggu Abah Kiai bersama ustaz dan santri senior, bayang-bayang mereka bergetar oleh cahaya lampu minyak, menyerupai saksi-saksi masa yang tak pernah tidur.

“Masuklah, Alifa.” Suara itu dalam, berat, tapi tak bernada marah, lebih mirip palu kecil yang mengetuk pintu hatinya.

Alifa melangkah masuk. Kepalanya menunduk, namun matanya tetap jernih seperti mata air yang tak bisa dikotori lumpur. Dadanya berdegup, bagai rebana yang dipukul berulang. Ia sadar, inilah saatnya menanggung riak yang ia lemparkan sendiri, riak yang kini telah menjelma gelombang besar.

Ia berhenti sejenak di depan Abah Kiai dengan menundukkan badan dalam-dalam, menyentuhkan tangan ke lutut sebagai tanda takzim. Napasnya tercekat, namun wajahnya tetap tenang. Setelah itu ia perlahan menekuk lutut, menurunkan tubuh dengan gerakan hati-hati, dan akhirnya duduk dalam posisi tahiyyat, kedua tangan terletak rapi di atas paha. Suara jangkrik di luar ndalem terdengar sayup-sayup, seakan menjadi orkestra sunyi yang menyulam percakapan itu. Di ruangan yang dipenuhi aroma kayu jati dan kitab-kitab berdebu, waktu seperti melambat.

Abah Kiai menutup matanya sebentar, lalu menarik napas panjang. Wajahnya keriput, namun dari setiap kerut itu terpancar cahaya pengalaman puluhan tahun, dimana cahaya itu bisa menghangatkan, tapi juga bisa membakar.

“Alifa,” ujarnya lirih namun jelas, “kau membawa api di tanganmu. Api itu bisa jadi penerang, tapi juga bisa menghanguskan dirimu sendiri. Kau paham maksudku?”

Alifa menatap ke lantai, sejenak bergulat dengan pikirannya, mata beningnya tidak berani menatap balik. “Kalau api itu bisa menerangi saudari-saudariku, biarlah saya menanggung panasnya, Abah.” Jawab Alifa.

BACA JUGA

Ruangan seketika hening. Para ustaz yang duduk di samping saling pandang. Salah seorang ustaz senior, janggutnya lebat dengan sorot mata yang begitu tajam, beliau kian mendengus pelan,
“Berani sekali engkau bicara begitu, Nak. Jangan samakan dirimu dengan Ummul Mukminin Aisyah. Zaman ini berbeda, fitnah lebih besar. Suara perempuan bisa mengguncang tatanan.” Ucap ustaz tersebut dengan nada yang tegas.

Alifa menarik napas dalam, lalu berkata dengan suara tenang namun bergetar karena tekad,
“Bukankah fitnah justru lahir ketika ilmu disembunyikan, Ustaz? Jika perempuan dibiarkan bodoh, siapa yang akan membimbing anak-anaknya? Siapa yang akan melahirkan generasi berilmu?”

Kata-kata itu menusuk seperti jarum halus. Beberapa santri senior yang duduk di sudut ruangan menunduk, entah mengangguk setuju atau takut memperlihatkan persetujuan mereka.

Abah Kiai membuka matanya perlahan, menatap Alifa lama sekali, seolah ingin membaca isi hati gadis itu. Lalu bibirnya bergerak pelan.

“Anak ini… lidahnya tajam tapi hatinya bening. Aku melihat keberanian yang jarang dimiliki santri perempuan.”

Namun setelah jeda, ia menambahkan dengan suara yang lebih berat, “Tapi jangan lupa, Alifa. Ombak yang kau lawan bukan hanya adat, bukan hanya ustaz-ustaz di sini. Ombak itu bisa menyeretmu keluar dari tanah yang kau pijak. Kau siap kalau suatu hari pesantren ini tak lagi menerima keberadaanmu?”

Kalimat itu bagai palu menghantam dada. Alifa tercekat, dadanya sesak, namun bibirnya berusaha tegar, “Jika harus terusir karena memperjuangkan ilmu, maka biarlah saya pergi dengan keyakinan bahwa langkah kecil saya ini tidak sia-sia.”

Kiai sepuh menutup pertemuan itu dengan suara berat, namun matanya mengandung makna yang tak mudah ditebak, “Pergilah, Alifa. Bawalah kata-kataku sebagai bekal. Mulai hari ini, kau bukan hanya santri, tapi juga ujian bagi pesantren ini. Dan ingat, ujian bisa memuliakan, bisa pula menghancurkan.”

Alifa menunduk hormat, lalu bangkit perlahan. Kakinya terasa gemetar, tapi hatinya anehnya terasa tegak. Saat ia keluar dari ndalem, udara malam yang dingin seperti menyalami keberaniannya. Alifa keluar dari ndalem dengan langkah perlahan, seakan baru saja melewati pintu yang memisahkan masa lalu dan masa depannya. Kata-kata Abah Kiai sepuh masih bergema di telinganya, “Kau siap kalau suatu hari pesantren ini tak lagi menerima keberadaanmu?” Kalimat itu bagai benih yang dilemparkan ke tanah hatinya, tidak langsung tumbuh, tapi menunggu hujan keberanian untuk menyiraminya.

Malam hari, ketika pondok terlelap. Alifa menyalakan lampu kecil. Cahaya redup itu menari di dinding, seolah menjadi saksi lahirnya semangat baru. 

“Ayo, kita belajar menulis,” bisiknya pada teman-teman yang awalnya ragu. 

“Huruf-huruf ini seperti benih. Kalau kita tanam dengan sabar, suatu hari akan jadi pohon yang rindang.”tegas Alifa.

Bagi Alifa, menanam surah bukan sekadar mengulang hafalan di bibir. Ia menghidupkannya dalam sabar saat dicibir, ia menjaganya dalam berani saat disudutkan, ia menyiraminya dengan kasih saat ditolak. Lambat laun, surah-surah itu menjelma taman. Taman itu bukan hanya bunga yang tumbuh di tanah pesantren, melainkan bunga yang tumbuh di dada para santri. Bunga yang mekar bukan karena matahari, tapi karena ayat. Bunga yang harum bukan karena angin, tapi karena doa.

Tak lama, tradisi kecil mulai tumbuh. Seusai belajar malam, sekelompok santri perempuan berkumpul di dekat taman mungil itu. Bukan untuk mengobrol kosong, melainkan untuk saling berbagi tafsir, saling menukar doa, saling menyulam makna. Mereka menyebutnya “Majelis Bunga” sebab di sana, setiap hati dibiarkan mekar apa adanya. 

Namun, semakin harum bunga menyebar, semakin banyak pula hidung yang merasa terganggu. Ada santri senior yang menatap sinis dari jauh, berbisik di antara langkah,
“Sejak kapan santri perempuan belajar seperti ustaz?”
“Awas, jangan sampai majlis itu berubah jadi ajang pamer.” 

Bisikan itu tipis, seperti asap yang melayang. Tapi Alifa tahu, asap sekecil apa pun bisa menyalakan api jika dibiarkan. Ia hanya menunduk, mengingat doa pertamanya, 

“Ya Allah, aku hanya menanam. Biarlah Engkau yang menumbuhkan.”

Saat semua santri terlelap, Alifa duduk sendiri di aula pondok. Bulan menggantung pucat di langit, memantulkan cahaya ke wajahnya. Ia membuka mushaf, membiarkan ayat-ayat turun ke dadanya seperti rintik hujan.

“Bila Engkau mengizinkan bunga tumbuh di tanah ini, jangan biarkan ia layu sebelum sempat memberi teduh.” bisiknya lirih.

Di dalam gelap gulitanya malam, angin berhembus pelan seperti zikir yang tak pernah putus. Namun tidak semua telinga yang mendengar bisikan angin itu penuh doa. Beberapa menyimpan ragu, bahkan iri. Di pesantren, bunga yang tumbuh terlalu indah kadang dianggap duri yang bisa melukai pohon-pohon tua yang telah lebih dulu berakar.

Kabar tentang “majelis Bunga” sebuah istilah yang kini dipakai santri-santri untuk menyebut halaman kecil tempat Alifa menanam, akhirnya sampai ke telinga Abah Kiai. Ada yang tersenyum bangga, seakan melihat rahmat baru turun di tanah pesantren. Namun ada pula yang mengerutkan dahi, menganggapnya langkah yang kelewat jauh, 

“Santri perempuan sudah cukup dengan mengaji dan mengurus dapur,” ujar satu suara dingin. 

“Untuk apa ia melangkah sejauh itu? Bunga hanya mempercantik, bukan memperdalam ilmu.” saut yang lain.

Alifa kembali dipanggil ke ndalem. Langkahnya kali ini lebih berat, seperti kaki yang menapak lumpur basah, tetapi wajahnya tetap teduh, seperti bulan yang tak hilang cahayanya meski diselubungi awan. Ia tahu, bunga yang sudah mekar tak bisa lagi disembunyikan.

Di dalam ruangan, lampu minyak bergoyang kecil, cahayanya menari di dinding kayu, seolah ikut menyaksikan. Beberapa ustaz senior duduk berderet dengan wajah dingin, mata mereka tajam seperti bilah pisau yang baru diasah. Di ujung ruangan, Abah Kiai menatapnya dengan sorot mata tajam, bukan sekadar menembus wajah, tapi seakan menembus ruh.

“Alifa,” suara beliau berat, seperti lonceng tua yang berdering pelan.

“pesantren ini bukan tempat untuk unjuk diri. Apa yang kau lakukan di halaman itu telah menimbulkan banyak pembicaraan. Apakah kau tidak takut menyalakan api fitnah?” 

Alifa menunduk menarik napas panjang. Lalu ia mengangkat wajah perlahan, matanya berkilat. Bukan dengan amarah, melainkan dengan keyakinan yang telah lama ditempa luka.

“Abah,” suaranya jernih, bagaikan aliran sungai kecil yang menyejukkan.

“saya tidak sedang menyalakan api. Saya hanya menyalakan lampu kecil, agar kegelapan tidak menelan teman-teman saya. Jika lampu itu dianggap api, biarlah saya yang terbakar. Tapi jangan padamkan cahaya yang mereka butuhkan.”

Abah Kiai menutup mata sejenak, seolah meresapi. Lalu beliau berkata lirih, namun cukup untuk mengguncang seluruh ruangan, 

“Nak, kau berbicara dengan bahasa yang lebih tua dari usiamu.”

Alifa menunduk sedikit, lalu tersenyum simpul, “Bukan karena saya pandai, Abah. Hanya karena saya mendengar bumi. Bukankah tanah ini selalu haus akan hujan, dan hati manusia selalu haus akan ilmu? Jika bunga bisa mekar dari hujan, mengapa santri perempuan tidak bisa mekar dari ilmu?” jawabnya penuh penegasan

“Jika engkau ingin menjadi cahaya,” 

“maka bersiaplah menjadi pelita yang ditiup angin, dipukul badai, bahkan dipadamkan tangan. Cahaya bukan hanya indah, Nak. Cahaya juga diuji.” ucap beliau akhirnya.

“Saya rela, Abah. Lebih baik menjadi pelita yang diuji, daripada bunga yang layu sebelum sempat memberi harum.” Alifa mengangguk pelan, suaranya bergetar namun tegas,

Air mata tipis menggenang di sudut matanya. Ia biarkan tetap di sana, seperti embun yang setia menempel di kelopak bunga, meski sebentar lagi akan tersapu matahari.

 Malam itu, di ndalem yang sunyi, percakapan antara seorang kiai dan seorang santri perempuan menjadi puncak riak yang mengguncang dasar pesantren. Dari bibir seorang perempuan muda, lahir kalimat-kalimat yang melampaui usianya, mengguncang adat yang mapan, sekaligus menyalakan harapan yang selama ini tersembunyi.

Riak yang dulu hanya getar kecil kini menjelma gelombang besar. Gelombang itu, entah akan membawa pesantren menuju pantai baru atau menenggelamkannya ke samudera perubahan tidak ada yang tahu.

Hanya satu yang pasti, nama Alifa akan selalu bergaung di lorong-lorong pesantren. Bukan lagi sebagai bisikan yang penuh curiga, melainkan sebagai doa yang bergetar, naik bersama embun menuju langit.

Alifa melangkah ke luar ndalem, malam menyambutnya dengan langit pekat bertabur bintang. Udara dingin menggesek kulitnya, tapi hatinya justru terasa hangat. Kata-kata Abah Kiai masih berputar di kepalanya, tentang cahaya, tentang ujian, tentang keberanian yang tak pernah gratis. Ia berhenti di halaman, menatap bunga kecil yang ditanamnya. Kelopaknya bergoyang diterpa angin, rapuh sekaligus tangguh. Di balik rapuh itu tersimpan keteguhan, seperti dirinya, seperti setiap perempuan yang pernah berdiri di ambang antara tradisi dan keberanian.

“Ya Allah…”  

“jika cahaya ini memang dari-Mu, biarkan ia tetap menyala, meski tubuhku harus menjadi minyak yang habis terbakar.” bisiknya lirih,

Alifa menatap bunga kecil itu, lalu menutup matanya. Dalam sunyi ia merasa hidupnya kini adalah surah yang terbuka. Surah yang tidak hanya dibaca tetapi juga dijalani, tidak hanya dihafalkan tetapi juga ditanam, yang tidak hanya berisi huruf tetapi juga kehidupan.

Surah itu akan terus bersambung dari satu mulut ke mulut lain, dari satu hati ke hati lain, dari satu perempuan ke perempuan lain, hingga bumi sendiri berhenti berputar.

Maka begitulah kisah ini menemukan namanya. “Perempuan Menanam Surah di Taman Pesantren.”

Sebab di setiap kelopak bunga yang mekar, ada ayat yang bersinar.

Setiap langkah  perempuan yang menanam doa, ada taman yang tumbuh di balik pagar tradisi.
Lorong-lorong pesantren yang pernah sunyi, akan selalu lahir perempuan mengubah bisikan menjadi cahaya.

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.