Kemanusiaan Tidak Boleh Kalah

0

Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) memahami pernyataan Presiden Prabowo tentang warga Gaza itu sebagai initial statement of goodwill (pernyataan itikad baik yang disampaikan di saat awal). Yang intinya adalah komitmen dan kesediaan Indonesia untuk berkontribusi apa pun yang mungkin untuk menolong Palestina. Yang akan terjadi selanjutnya adalah proses-proses negosiasi yang berliku.

Setelah penghancuran, siapa yang bertanggung jawab untuk pemulihannya kembali? Apa bentuk tanggung jawabnya? Bagaimana mekanismenya? Semua itu adalah pembicaraan yang harus dituntaskan dan dijalankan sampai masalahnya benar-benar terselesaikan demi kepentingan manusia-manusia Palestina, baik menyangkut kesentosaan mereka maupun martabat mereka.

Jangan lupa bahwa Presiden menyebut syarat “persetujuan semua pihak”. Itu berarti bahwa Pemerintah Indonesia tetap berpegang pada prinsip multilateral framework (kerangka kerja yang melibatkan banyak negara) dalam penyelesaian masalah-masalah internasional, dan tidak akan melakukan tindakan sepihak.

Keadaan warga Palestina saat ini sangat mengenaskan. Normalnya, mereka membutuhkan immediate relief (pengentasan segera) dari keadaan mengenaskan saat ini. Setiap orang yang melihat gambar anak-anak Gaza, pasti merasa terdorong untuk membawa mereka dan menyediakan pengasuhan yang layak. Tapi bagaimana dengan jaminan bahwa mereka tidak akan kehilangan tanah air? Disitulah kerangka kerja multilateral menjadi mutlak.

Tidak perlu telalu terpengaruh oleh retorika Presiden Trump yang bernada ethnic cleansing (pembersihan etnis). Kalaupun Trump benar-benar memaksudkan apa yang dia katakan, Amerika atau pihak mana pun tidak mungkin bisa melakukan tindakan sepihak dalam soal ini tanpa memicu perang dunia. Dan tidak ada orang waras yang menginginkan perang dunia.

Masalah Palestina adalah masalah kemanusiaan, tanggung jawab seluruh umat manusia. Saya menyeru agar setiap manusia memikirkan masalah ini dari sudut padang kemanusiaan, kemudian mencari jalan penyelesaiannya dengan pertimbangan kemanusiaan.

Kita memang memendam emosi luar biasa terhadap tindakan-tindakan Israel. Tapi demi kepentingan kemanusiaan, kita harus berpikir dengan kepala dingin untuk menemukan jalan keluar yang paling mungkin dan lebih selamat bagi seluruh umat manusia dan peradaban.

Apakah 1000 warga Palestina sungguh segera diterbangkan ke Indonesia? Jalan kesana masih berliku. Bahkan bisa saja nantinya justru disepakati cara lain yang lebih baik untuk menolong warga Gaza. Yang penting, dalam masalah ini dan masalah-masalah internasional lainnya, Indonesia tidak boleh menyerah dari kewajiban untuk “ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan atas kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” dan dari perjuangan untuk menjadikan nyata bahwa “penjajahan diatas dunia (harus) dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”. Kemanusiaan tidak boleh kalah.

 

NU Jaminan Kemaslahatan Rakyat

Saya ingin menegaskan kembali tujuan utama yang kita perjuangkan selama tiga tahun terakhir dengan segala suka-dukanya. Setidaknya, dalam periode kepengurusan PBNU saat ini, ada dua hal yang ingin kita selesaikan. Pertama, menyelesaikan konstruksi governance system.

Governance system adalah tatanan yang menjadi wadah untuk mengelola semua urusan NU dalam satu sistem terpadu. Banyak senior di sini yang sudah lama menjadi pengurus, terutama yang meniti karier dari bawah—seperti KH Hasyim Muzadi dan KH Miftachul Akhyar—pasti merasakan betapa selama ini NU sebagai organisasi jam’iyyah tidak memiliki sistem tata kelola yang mapan.

Selama bertahun-tahun, bahkan sejak saya menjadi pengurus PBNU tahun 2010, kondisi PW, PC, dan ranting ibarat gelap gulita. PBNU tidak pernah tahu kapan konferensi cabang digelar, tiba-tiba hanya menerima surat permintaan turunkan SK. Sampai akhirnya kita menemukan fakta ada PC-PC bodong.

Contohnya, satu PW pernah memiliki 29 cabang, dan 18 di antaranya tidak sah—biasanya dibuat menjelang muktamar untuk kepentingan voting. Praktik semacam ini berbahaya untuk keberlangsungan NU. Dulu mungkin bisa diatasi karena ada sosok hebat seperti Gus Dur yang mampu mengkonsolidasi NU sendirian, tapi kita tidak bisa selamanya bergantung pada figur. Governance system inilah jawabannya.

Kita sedang menyusun batu bata yang berserakan menjadi bangunan utuh. Digitalisasi dan pelatihan kader adalah dua hal yang tidak bisa ditawar. Berapa pun anggaran yang dibutuhkan, saya minta dicarikan. Siapa pun ketua umumnya nanti, sistem ini harus diteruskan. Kedua, kita perlu memposisikan NU secara tepat di tengah konstelasi bangsa. Selama ini NU dianggap sebagai kekuatan politik untuk merebut kekuasaan—ditanya berapa menteri dari NU, atau diarahkan untuk menyiapkan calon presiden. Ini keliru.

Posisi NU seharusnya sebagai jaminan kemaslahatan rakyat. Bukan soal berapa jabatan yang diraup, tapi bagaimana memastikan program pemerintah untuk rakyat miskin benar-benar terlaksana. Birokrasi sering tak mampu menjangkau akar rumput. Di sinilah NU harus hadir: memastikan bantuan sampai ke yang berhak. Validasi struktur yang kita lakukan—misalnya memverifikasi kepengurusan cabang—bertujuan agar kita tahu siapa yang bertanggung jawab di lapangan.

Dua agenda ini tidak mudah. Membangun governance system mungkin tak selesai dalam satu periode, tapi kita harus mencapai titik di mana sistem ini tak bisa dihentikan. Begitu juga reposisi NU akan rumit, tapi selama kita konsisten, imajinasi NU sebagai “sumber daya politik” akan bergeser menjadi “mitra kemaslahatan”.

Perlu diingat, 30% penduduk Indonesia sejak 2005 mengaku sebagai NU. Jangan sampai mereka menyesal karena kita abai pada tugas utama. Semua yang kita kerjakan ini adalah lanjutan dari barokah para muassis. Kita tidak bisa menciptakan barokah sendiri, tapi melanjutkan warisan mereka dengan sistem yang kuat dan posisi yang jelas: NU untuk rakyat, bukan kekuasaan.  (gusyahya.id)

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.