Oleh: Zahid Lukman
Bulan Syawal memiliki hubungan erat dengan konsep ketuhanan dalam Islam. Syawal, yang menandai akhir Ramadlan dan dimulainya idul fitri, merupakan momen untuk merayakan kemenangan spiritual dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. sebagai Rabb, Malik, dan Ilah.
QS. An-Nas: 1-3
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ – مَلِكِ النَّاسِ- إِلهِ النَّاسِ
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Aku berlindung kepada Tuhan manusia, raja manusia, sembahan manusia
Merujuk pada Tafsir Ibnu Katsir, ketiga ayat pertama surat An-Naas merupakan sebagian dari sifat-sifat Allah Swt, yaitu sifat Rububiyah (Tuhan), sifat Al-Mulk (Raja), dan sifat Uluhiyyah (Yang disembah).
Dia adalah Tuhan segala sesuatu, Yang memilikinya, dan Yang disembah oleh semuanya. Maka segala sesuatu adalah makhluk yang diciptakan-Nya dan milik-Nya serta menjadi hamba-Nya.
Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menerangkan, Rabb mengandung pengertian kepemilikan dan kepemiliharaan serta pendidikan yang melahirkan pembelaan serta limpahan kasih-sayang. Jika demikian, menyebut kata itu di sini dapat memberi kesan tentang bakal terpenuhinya permohonan ini karena yang dimaksud adalah Tuhan Pemelihara itu.
Adapun kata (مَلِكِ) Malik/Raja yang biasanya digunakan untuk penguasa yang mengurus manusia, berbeda dengan (مَالِكِ) Mālik/Pemilik yang biasanya digunakan untuk menggambarkan kekuasaan si pemilik terhadap sesuatu yang tidak bernyawa. Kalau demikian, adalah wajar apabila ayat kedua surah an-Nās ini tidak dibaca mālik dengan memanjangkan huruf (م) mīm sebagaimana dalam surah al-Fātiḥah. Di sisi lain, kesan yang ditimbulkan oleh kata Raja dari segi kekuasaan dan keagungan melebihi kesan yang ditimbulkan oleh kata pemilik.
Kalau di atas dikemukakan bahwa kata (رَبّ) Rabb mengandung makna kepemilikan, pemeliharaan, dan perlindungan terhadap pemohon, dengan kata Mālik tersurat sekaligus tersirat kerajaan dan kekuasaan-Nya untuk menggagalkan usaha siapa pun yang bermaksud jahat. Demikian, masing-masing ayat menekankan sisi yang berbeda.
Sedang, kata (إِلهِ النَّاسِ) Ilāh-in-Nās mencakup si pemohon dan yang bermaksud jahat, bahkan semua manusia. Kata (إِله) Ilāh terambil dari kata (أَلِهَ – يَأْلَهُ) aliha-ya’lahu dalam arti menuju dan bermohon. Tuhan adalah Ilāh karena seluruh makhluk menuju serta bermohon kepada-Nya dalam memenuhi kebutuhan mereka. Pendapat lain mengatakan bahwa kata tersebut pada mulanya berarti menyembah/mengabdi sehingga Ilāh adalah “dzāt yang disembah dan kepada-Nya tertuju segala pengabdian.”
Syaikhu Amin dalam thesisnya menyimpulkan bahwa Rabb jika berdiri sendiri maka yang dimaksud ialah Allah. Jika dilihat dari makna dasarnya kata rabb memiliki makna pemilik, pemelihara, pendidik, pelaksana, dan pengatur. Rabb seakar dengan kata tarbiyah, ada pendapat lain seakar dengan rabib yang bermakna pemeliharaan. Sehingga memang terdapat hubungan karena perkembangan dapat terjadi kalau ada pemeliharaan.
Malik jika dilihat dari makna dasar ialah raja. Malik biasanya digunakan untuk penguasa yang mengurus manusia, berbeda dengan malik (pemilik) yangbiasanya digunakan untuk menggambarkan kekuasaan si pemilik terhadap sesuatu yang tidak bernyawa. Kesan yang ditimbulakan oleh raja dari segi kekuasaan dan keagungan melebihi kesan yang ditimbulkan oleh kata pemilik.
Ilah dilihat dari makna dasar ialah bermakna al-ma’bud (yang disembah), namun penyembahan yang dimaksud masih bersifat umum artinya segala sesuatu yang dijadikan sesembahan dinamakan ilah, entah itu yang dibenarkan oleh Syariat Islam yakni penyembahan kepada Allah Swt maupun penyembahan yang batil yakni penyembahan terhadap selain Allah seperti berhala, matahari, manusia, roh-roh, dan lain sebagainya.
Makna rabb, malik, dan ilah yang terkandung dalam Surat al-Nas ialah, rabb berarti bahwa Dia-lah Tuhan yang mememlihara, memiliki, mengatur segala ciptaan-Nya dan mendidik manusia. Malik bermakna bahwa Tuhan-lah yang pada hakikatnya menjadi Raja dari para raja, yang menguasai seluruh makhluk khususnya merajai manusia. Adapun Ilah bermakna Dhat yang disembah oleh semua makhluk khususnya disembah manusia.
Sementara itu, pada satu kesempatan pengajian, KH. Imron Jamil menerangkan, Rabb berarti pengatur, empunya, pengurus, penjaga, yang melengkapi. Malik artinya yang punya. Adapun Ilah artinya yang disembah. Ragam makna tersebut menjadi penting bagi wujud alam dan keteraturannya, sehingga ketiganya –baik rabb, malik, ataupun ilah– termaktub dan digandeng sekaligus dalam ayat di atas.
QS. An-Nas ayat 1-3 di atas menunjukkan bahwa manusia merupakan cermin dari perwujudan Allah Swt sebagai Rabb, Malik, dan Ilah.
Masih menurut KH. Imron Jamil, bahwa lafazh alhamdu lillahi itu tidak disambung dengan malikil alamin, bukan pula ilahil alamin, tapi rabbil alamin. Hal ini dikarenakan Rabb, selain mencakup ragam makna sebagaimana di atas, juga berarti juga Yang Menguasai sebelum, ketika, dan sesudah wujudnya segala sesuatu. Maka ketika diucapkan rabbil alamin, artinya seluruh alam ini sudah dirabb oleh Allah Swt.
Termasuk makna rabb adalah yang menempatkan dan yang menjodohkan. Misalnya, dalam penciptaan manusia, Allah Swt menempatkan tangan di kanan kiri, kaki di bawah, perut di tengah, kepala di atas. Demikian juga dalam penciptaan hewan, kepala di depan, ekor di belakang. Selanjutnya ada pohon, tanaman, semuanya adalah cerminan Allah Swt sebagai Rabb. Ketika Allah Swt yang menata, pasti pantas dan baik.
Allah Swt bukan hanya jadi Tuhan yang disembah dan dimuliakan, tetapi juga yang mengatur. Sebagai gambaran, di dunia ini terdapat manusia yang hanya disembah tetapi tidak mengatur. Misalnya seorang raja, dia dimuliakan tetapi tidak langsung mengatur. Biasanya yang mengatur adalah pejabat dibawahnya, bisa jadi patih atau bahkan pejabat terendah yang langsung bersentuhan dengan rakyat. Dalam makna sempit, sang raja ini dapat dikatakan sebagai ilah tetapi bukan rabb.
Atau ada juga yang hanya memiliki, tetapi tidak bisa mengatur. Misalnya orang yang punya sejumlah hewan ternak, tetapi tidak merawat atau menggembala. Perawatan dan penggembalaan dikerjakanj orang lain. Artinya dia malik tetapi tidak sebagai rabb.
Sedangkan Allah Swt adalah Malik, Ilah, dan Rabb. Sehingga dapat disimpulkan, Ilah itu rumusnya tidak butuh tapi dibutuhkan. Malik artinya yang punya atau yang menguasai, dan Rabb maknanya komprehensif, yaitu mencipta, mengurus, menguasai.
Menurut Thāhir Ibn ‘Āsyūr, perurutan penyebutan sifat-sifat Allah dalam ketiga ayat di atas sangat serasi. Perlindungan yang dimohonkan itu menyangkut bencana yang dapat menimpa manusia. Maka, sangat wajar jika yang pertama diingatkan kepadanya atau diingatnya ialah Tuhan Pemelihara karena Dia-lah Sang Pencipta yang dapat melindungi dan membimbing (رَبِّ النَّاسِ) Rabb-in-Nās, kemudian meningkat pada mengingatkan tentang kuasa-Nya atas manusia dan seluruh makhluk. Dari sini, disebutlah (مَلِكِ النَّاسِ) Mālik-in-Nās, selanjutnya karena Allah adalah Maha Raja yang menguasai manusia, menjadi sangat wajar Dia disembah dan dipatuhi sehingga disebutlah sifat-Nya sebagai (إِلهِ النَّاسِ) Ilāh-in-Nās (Tuhan yang dipatuhi manusia).
Pemahaman tentang Tuhan sangatlah penting, karena inti dari ajaran agama Islam ialah bertauhid, mengakui hanya ada Satu Tuhan. Wallahu A’lam.