Pejuang yang Terfitnah

0

Ketika Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari menerbitkan Fatwa Jihad yang mewajibkan para santri untuk maju berperang dalam radius 94 kilometer, tak seluruh santri menyambutnya. Ada yang merasa takut akan ajal menjemputnya. Meskipun di antara para santri justru begitu bersemangat karena, dalam bayangannya, Rais Akbar umat Islam Indonesia di masa Revolusi Kemerdekaan itu, tampil di depan dengan jubah kehijauan berjihad fii-sabilillah.

Bagi kaum santri maju berperang merupakan kewajiban. Sedang mereka yang tidak berani maju berarti berkhianat– suatu tindakan yang haram dilakukan. Akal bulus pun dipakai menyikapi fatwa maju berperang itu.

Pada saat ada tank musuh di depan mata, di antara santri yang kehilangan nyali itu, memang tidak mundur. Agar tidak terkena hukum mundur berperang, yang diharamkan dan berarti pengkhianat, maka mereka berjalan miring. Dengan berjalan miring, mereka tidak terkena hukum mundur. Dengan miring mereka bisa terhindar dari serangan dan tidak berarti mundur dalam berperang.

Tentang santri yang berjalan miring, dikisahkan Kiai Muhammad Yusuf Hasyim saat mengenang masa-masa perjuangan di masa revolusi fisik (1945-1949), terutama pada saat Agresi Militer I (1947) dan Agresi Militer II (1948) yang dilancarkan tentara Belanda yang hendak kembali menjajah Indonesia.

Saya bersyukur sempat berbincang-bincang soal semangat perjuangan yang dilakukan Kiai Yusuf Hasyim, terutama ketika dalam proses produksi film dokumenter untuk peresmian Museum Nahdlatul Ulama pada 2004. Selain Pak Ud, panggilan akrab putra ragil Kiai Hasyim Asy’ari itu, kami berhasil mewawancarai Kiai Abdurrahman Wahid, Kiai Amanullah (Tambakberas), KH Aziz Masyhuri, H Choirul Anam, dan sejumlah tokoh lainnya terkait dengan perjuangan Nahdlatul Ulama di masa-masa negeri ini mengalami kemelut.

“Saya dilahirkan hampir bersamaan dengan Yasser Arafat,” tutur Kiai Yusuf Hasyim, seraya menunjukkan sejumlah foto dirinya saat menjadi anggota Tentara Republik Indonesia (TNI) yang sebelumnya dirintis lewat Barisan Hizbullah bersama Kiai Munasir Ali, Kiai Wahib Wahab dan Kiai M. Hasyim Latief Sepanjang.

Dalam bukunya, Yasser Arafat: Teroris atau Pendamai?, Alan Hart menulis tentang sang tokoh “Tersentuh Pengkhianatan” yang lahir di Kairo pada 24 Agustus 1929. Meskipun nama kecil pada surat kelahirannya adalah Mohammed, ia dipanggil Yasser sejak semula. Yasser berarti “mudah” atau secara umum “tiada masalah”.

Semangat pejuang Organisasi Pembebasan Palestina (PLO=Palestinian Liberation Organization) mengundang empati Kiai Yusuf Hasyim dalam perjalanan hidupnya. Ya, “saya dilahirkan hampir bersamaan dengan Yasser Arafat”. Putra bungsu pasangan Kiai Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqoh, tercatat lahir di Jombang pada 3 Agustus 1929 — 21 hari sebelum Yasser Arafat dilahirkan.

Sebagai pejuang K.H. M. Yusuf Hasyim kini diusulkan untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Namun, ada ganjalan yang dimungkinkan menghadang. Pemimpin pertama Barisan Ansor Serbaguna (Banser) ini, dalam perjalanan hidupnya, pernah ditahan dan menjalani sidang militer dengan tuduhan terlibat dengan pemberontakan DI/ TII.

Namun akhirnya dibebaskan karena tidak adanya bukti-bukti atas tuduhan tersebut. Syukurlah, Kiai Yusuf Hasyim bebas dari pasal tersebut. Ia hanya korban fitnah. Ia dibebaskan dari tuduhan dalam sidang militer pada 17 Agustus 1955.

Sumber primer soal fitnah yang dialami Kiai Yusuf Hasyim adalah berita pembebasannya dimuat koran Kedaulatan Rakyat edisi 21 Novemer 1955. Maka peluang untuk lolos sebagai pahlawan nasional semakin besar.

Prof. Usep Abdul Matin, ketua Tim Pengkaji dan Peneliti Gelar Pusat (TP2GP) RI, menegaskan dalam seminar pengusulan gelar Pahlawan Nasional d Masjid Al-Akbar Surabaya, pertengahan Maret lalu, tuduhan bahwa KH M Yusuf Hasyim terliat pemberontakan DI/tii tidaklah terbukti. Di samping itu, Kiai Yusuf Hasyim berhenti dengan hormat dari TNI karena alasan kesehatan, disertai ucapan terima kasih dari Menteri Pertahanan RI saat itu, Djuanda.

Perjuangan Kiai Yusuf Hasyim dalam serangkaian peristiwa di masa revolusi fisik, dibuktikan dengan adanya Piagam Penghargaan dari Panglima TNI saat itu. Sang Tokoh ini pun terlibat aktif dalam penumpasan pemberontakan Front Demokrasi Rakyat (FDR) pimpinan Musso dan Amir Sjarifuddin pada 1948.

Ia berhasil menghalau sejumlah pemuda militan pendukung FDR saat hendak menyerbu Pondok Pesantren Gontor Ponorogo. Ketika itu Kiai Yusuf Hasyim tercatat sebagai TNI. Berlanjut kemudian pada pasca-1965 ketika melawan pemberontakan G30S/PKI sebagai elite pimpinan Banser dalam membela dan menyelamatkan Negera Kesatuan Republik Indonesia saat dalam bahaya.

Tentang Banser, Kiai Yusuf Hasyim menuturkan bahwa ide pembentukan Banser, sebagai barisan paramiliter tak lepas dari referensi sahabat karibnya, Mahbub Djunaidi. Tokoh asal Betawi ini mengambil spirit Hitler melalu buku Mein Kampf.

Saya pun sempat mendapat kisah soal pasukan paramiliter ini. Dalam Mein Kampf , Hitler menulis tentang ideologinya dan menampilkan dirinya sebagai pemimpin sayap kanan ekstrem. Ia bercerita tentang kehidupan dan masa mudanya, “pertobatannya” menjadi antisemitisme (kebencian terhadap orang Yahudi) dan waktunya sebagai seorang prajurit dalam Perang Dunia Pertama.

Hitler marah besar terhadap Perjanjian Versailles dan ganti rugi yang harus dibayarkan Jerman karena Perjanjian tersebut. Ia tidak percaya pada demokrasi parlementer. Mein Kampf penuh dengan ide-ide rasis dan kebencian terhadap kaum Yahudi dan komunis.

Dalam Mein Kampf , Hitler pun menulis tentang masa depan Jerman. Ia ingin memperluas wilayah Jerman di Eropa Timur dan mengusir orang-orang Yahudi dari Jerman, karena ia yakin mereka mengancam kelangsungan hidup rakyat Jerman.

Meskipun Mein Kampf tidak merujuk pada pembunuhan massal orang-orang Yahudi di kemudian hari selama Perang Dunia Kedua (Holocaust), buku ini menunjukkan bahwa ia telah mengembangkan kebencian terhadap orang-orang Yahudi pada saat itu.

Demikian bagian dari perjalanan hidup Kiai Yusuf Hasyim. Dinamika hidupnya sebagai sosok yang tegar yang disegani lawan-lawan politiknya. Ali Moertopo, loyalis Soeharto pada saat berkuasa, pun keder dengan sikap Kiai Yusuf Hasyim.

Kiai Muhammad Yusuf Hasyim, laik dimajukan sebagai Pahlawan Nasional. Di samping militer yang ikut aktif berjuang masa kemerdekaan, bahkan umur 16 tahun sudah berjuang ikut Laskar Hizbullah. KH Yusuf Hasyim, dikenal sebagai pengasuh pesantren besar Tebuireng, pernah sebagai PBNU.

Saat menjadi politisi PPP, ia dianggap momok penguasa Orde Baru. Pada era reformasi, ia mendirikan Partai Kebangkitan Umat. Pada awal reformasi, KH Yusuf Hasyim tercatat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Terkait perjuangan para ulama, masih sangat sedikit kiai NU yang terdokumentasi dengan baik dalam negara. Tugas kaum santri untuk mendokumentasikan itu. Meski proses itu makan waktu panjang dan butuh perjuangan. Perjuangan yang tak mengenal lelah guna membuktikan Sang Tokoh terlepas dari fitnah “Revolusi Makan Anaknya Sendiri”. Kiai Yusuf Hasyim adalah pejuang yang terfitnah itu.

Riadi Ngasiran

Leave A Reply

Your email address will not be published.