Tri Chandra Aprianto (Sekretaris LPP PBNU)
Kebijakan tarif perdagangan resiprokal yang dikeluarkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menimbulkan ketidakpastian ekonomi global tahun 2025. Apakah kebijakan Trump akan merugikan atau menguntungkan bagi petani dan masyarakat pedesaan? Berikut petikan wawancara Majalah Risalah NU dengan Sekretaris Lembaga Pengembangan Pertanian Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Tri Chandra Aprianto di Jakarta, Senin 28 April 2025.
Bagaimana dampak kebijakan Donald Trump terhadap para petani NU dan masyarakat?
Hemmm,…Saya sih nggak begitu serius menanggapi kebijakan Donald Trump (nggak gubris). Bahwa penerapan kebijakan tarif oleh Presiden Amerika Serikat itu, justru malah bisa dimanfaatkan sebagai peluang untuk mencari pasar baru bagi produk industri pertanian Indonesia. Tentunya dengan memanfaatkan berbagai macam industri dan bisa memaksimalkan untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri.
Soal kebijakan Trump bukan berarti tidak ada dampaknya. Tetapi, tidak perlu di khawatirkan (nggak perlu serius – hehe). Produksi petani dalam negeri masih sangat melimpah, contohnya seperti yang dikatakan Mentan, bahwa Indonesia mempunyai biofuel 1,7 juta ton ke Amerika. Kalau ini harus dikurangi, maka akan dijadikan biofuel untuk dalam negeri, seperti B40 dan B50. Untuk B50, butuh 5,3 juta ton. Artinya tidak ada masalah.
Kita flashback jauh ke belakang ya, di tahun 1930, kita itu pernah mengalami krisis dunia. waktu itu, jatuhnya mata uang di wall street berdampak ke Indonesia juga yang saat itu masih kerajaan-kerajaan. Termasuk perkebunan yang dimodalkan dari Eropa, sehingga ketika itu terjadi krisis, ya ambruk modalnya.
Lha, meski krisis, uniknya masyarakat pedesaan masih bisa bergerak, masih bisa produksi dan seterusnya. Makanya, kenapa saya nggak begitu nanggapi serius kalau terjadi krisis kapitalisme besar begini. Karena ya itu masyarakat masih bergerak, pasar tradisional masih bergerak.
Walaupun soal-soal yang terkait dengan perkebunan besar—kopi, dan macam-macamnya—diekspor oleh perusahaan-perusahaan besar, akan tetapi masyarakatnya enggak dan tetap bisa bertahan. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri saja, masih kurang.
Makanya, lucunya negara ini. Kadang kita punya perkebunan besar yang orientasinya ekspor, tapi untuk kebutuhan dalam negeri kita malah impor. Jadi, inilah urusan yang menjadi problem atau dilema?
Apakah LPP sudah survey bahwa para petani tidak terdampak dengan kebijakan ini?
Ya sudah. Ingat, dulu itu ada namanya Saudagar Santri. Dari dulu pesantren-pesantren kita itu hidup dari perkebunan. Contohnya, Pondok Paiton Kyai Zaini (Almaghfurlah), itu Beliau jual tembakau keliling. Waktu itu, rokok-rokok tradisional bisa jalan sendiri tidak tergantung pada tembakau ekspor.
Ada lagi, misalnya, produk gula merah dari para petani, mereka pakai gula merah, gula batu (gulali)_dan kenyataannya sampai sekarang masih terus berjalan dan berkembang pesat. Mereka tidak terpengaruh dengan berbagai kebijakan yang diatas, dan jalan terus. Itu menunjukkan bahwa pasar lokal itu hidup dari situ. Jadi, kebijakan apapun soal tarif impor, soal perang dagang atau lainnya ya tidak ngaruh sama sekali, (Menurut saya lho ya, nggak pengaruh).
Sebenarnya, kita ini kan nggak pernah menghitung pasar rakyat. Bahasanya gini, yang dihitung itu makro, yang dihitung itu seolah-olah kita butuh investor, ya kan? Tapi, kita nggak pernah menghitung dari daerah Salemba Tengah sampai ke daerah Cempaka Putih (jarak 2 kiloan), berapa warung yang berjajar di sana? Itu semua rakyat, modal sendiri, dan mereka hidup dari situ.
Coba kalau dihitung, bisa berapa ratus juta setiap hari uang yang berputar di situ, dan itu tidak dianggap sebagai investasi. Pekerjaan rakyat tidak pernah dihitung sebagai investasi, dan Negara tahunya bayar pajak saja.
Sebenarnya, Negara inikan agak terlambat merumuskan. Contohnya, ya soal beras, industri beras dari Subang sampai Jakarta, Indramayu dan seterusnya, itukan perdagangannya masuk lewat pasar induk, Jakarta. Tapi mereka (para pedagang) itu banyak yang tidak diberdayakan.
Jadi, para petani sama sekali tidak terdampak dengan kebijakan Trump?
Insyaallah tidak. Dampak pengaruhnya hanya di tingkatan elit saja, para pemimpin negara yang kemudian mereka bingung merumuskan APBN dan seterusnya. Tapi kebijakan ini, lagi-lagi, sebenarnya kesempatan besar bagi NU. Kesempatan untuk masuk dan semakin kreatif dalam mengelola dalam bidang pertanian, industri pertanian, tepatnya. Kenapa? karena momentumnya sedang tepat, banyak orang kini mulai memilih jalan pangan sendiri.
Trus solusinya bagaimana?
Yaitu tadi para petani kita harus lebih kreatif lagi. Nah, langkah Presiden Prabowo dalam menghadapi kebijakan Trump, saya kira sudah tepat yakni memilih agar negara Indonesia menjadi negara pangan dengan jargon ”berdiri diatas kaki sendiri” artinya apa ya harus mandiri dan kreatif lagi.
Makanya swasembada pangan itu memang harus di dukung penuh. Karena negara ini sebenarnya sudah jelas potensinya, berbasis lahan pangan, lahan kebun, ini yang harusnya diperkuat.
Termasuk penguatan dalam sektor pendidikan, agar mindset generasi sekarang dan mendatang itu bisa dan mampu mengelola bumi Indonesia ini dengan baik. Nah, pendidikan kita saat ini, alih-alih membentuk anak-anak yang menetap dan membangun tanah kelahirannya, justru mendorong mereka untuk pergi, untuk pindah, untuk meninggalkan desanya. Maka mindset inilah yang harus diluruskan lagi.
Makanya tidak heran, kalau generasi saat ini banyak yang memilih sekolah dengan jurusan teknik yang tidak ada hubungannya dengan tanah. Ini karena orientasi negara yang terlalu berpolitik dan jauh dari akar.
Soal kemandirian, kembali ke petani, harus kita hidupkan lagi, semisal dulu ada SPPMA (Sekolah Peternakan dan Pertanian Menengah Atas), lha, apa masih ada, kayaknya SPPMA sudah nggak ada lagi, iyakan…
Apa harapannya?
Ya semoga para petani kita tetap tenang,dan lebih produktif lagi. Bahwa Prabowo pernah bilang soal delapan asta-citanya, menurut saya itu sudah bagus. Tapi tinggal sekarang, bagaimana negara punya sarana dan fasilitas, dan rakyat juga harus bekerja. Karena ini demokrasi, rakyat punya pilihan.
Dan sekali lagi, ini kesempatan besar bagi NU untuk semakin kreatif dalam mengelola industri pertanian. Seperti kemarin langkah yang diambil sahabat Ansor ’Jaga Pangan Nusantara’, dengan mengukuhkan 100 ribu Banser Patriot Ketahanan Pangan di GOR Satria Purwokerto. Mereka didaulat akan membantu pemerintah untuk menciptakan swasembada pangan melalui pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Saya kira ini program yang sangat bagus dan harus didukung, semoga bermanfaat untuk masyarakat Indonesia. (hud)