Pemerintah Musti Fokus Tangani Pelambatan Ekonomi Global 

0

Irham Ali Saifuddin (Presiden DPP K-Sarbumusi)

Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor baru sebagai bagian dari liberation day, untuk membebaskan ekonomi Amerika dari ketergantungan impor. Berbagai bidang ekonomi terdampak, termasuk sektor pertanian dan buruh. Bagaimana solusinya? Berikut petikan wawanacara Majalah Risalah NU dengan Presiden DPP K-Sarbumusi, H Irham Ali Saifuddin saat di Jakarta.    

Apa tanggapannya terhadap kebijakan trump tarif? 

Jadi adanya kebijakan baru tersebut sebenarnya cukup mengambang ya bagi Indonesia. Mungkin baru terasa dampaknya 2 – 4 bulan ke depan. Bahkan kita ini sebenarnya secara ekonomi, terutama ekonomi ketenagakerjaan sudah mulai batuk-batuk, sudah sekitar setahunan sebelum Trump tarif, lalu ketambahan Trump tarif pasti akan berat.

Pertama, misalnya sepanjang April kalau kita lihat data yang ada di pemerintah ada beberapa persoalan. Misalnya kita mengalami capital outflow sampai 32 trilliun sepanjang tahun ini. Artinya ini cukup menggambarkan bahwa banyak dana atau uang yang mestinya ketika ini menjadi isu, terkonsolidasi didalam negeri bisa dikonversi menjadi penciptaan lapangan kerja, menjadi investasi, dan kemudian snowball effect, produksinya segala macem. Nah ini keluar, dan kabur ke luar negeri.

Ditambah lagi dengan karakteristik perdagangan luar negeri Indonesia, selama ini terlalu menggantungkan komoditas. Nah padahal harga komoditas global saat ini sedang mengalami penurunan, hampir semuanya kecuali emas, termasuk oil. Karena Indonesia ini kan sebagai negara terbesar penghasil Grout Palm Oil VCO, minyak kelapa sawit. Nah, semuanya melemah sehingga dampaknya akan memperlambat siklus produksi untuk komoditas yang jadi topangan utama ekonomi ekspor Indonesia.

Bahkan sudah melemah selama kwartal pertama tahun ini, sebelum ada trump tarif. Nah dengan trump tarif, karena kita kena resiprokal 32% tentu akan melemah lagi. Jadi, jangan hanya dibaca, kita hanya kena 32% dari US, tidak seperti itu. Karena negara yang dikenakan tarif dari trump itu seluruh dunia.

Kalau dunia tidak bergerak bersama sama untuk melakukan perundingan yang produktif dengan Amerika, maka pelemahan komoditas akan terus berlanjut. Dan akan berdampak secara buruk terhadap ekonomi ketenagakerjaan di Indonesia. Misalnya, saya cerita salah satu komoditas yang paling unggul misalnya Kelapa Sawit.

Kelapa Sawit di Indonesia itu menghasilkan sekitar 20% CPO Global. Ada sekitar 5 juta pekerja atau buruh yang bekerja. Nah, ini apabila diikutkan yang bekerja di supply Chaina atau rantai pasar kelapa sawit, sampai industri olahannya, misalnya kosmetik, konsumsi makanan kayak minyak goreng, atau keluarganya. Nah, data dari Kementan, ada 16,5 juta warga Indonesia yang hidupnya bergantung kepada kelapa sawit. Pasti nanti lambat laun akan berdampak.

Di sisi lain, industri manufaktur kita, terutama padat karya, khususnya sektor garmen dan tekstil atau alas kaki, itu sudah melemah, karena banyak perusahaan global yang menjadi brand, misalnya Nike, Adidas, Uniqlo dan lainnya, itu sedang lesu permintaannya di dalam negeri karena sudah relokasi ke Vietnam, Kamboja, dan Bangladesh.

Kenapa Trump se ‘gila’ itu ya?

Iya, Trump membuat kebijakan itukan karena terpilih jadi Presiden. Karena Amerika belakangan ini ekonominya melemah. Amerika itukan hidupnya ditopang oleh hutang. Mereka terbiasa hutang, hingga setiap rakyatnya itu punya kartu kredit. Makanya, mereka melakukan efisiensi cost produksi, mereka relokasi pabrik yang brand Amerika ke negara yang biayanya lebih murah, termasuk labour costnya.

Makanya kemarin Trump kampanyenya Lets Make Amerika Great Again. Salah satunya adalah untuk merelokasi industri Amerika yang ada di luar negeri kembali lagi ke Amerika. Gitu ya…

Lalu apa solusi mengatasi dampak ini?

Menurut saya, pemerintah Indonesia tidak perlu takut untuk bernegosiasi. Karena untuk mencari solusi bukan pekerjaan Roro Jonggrang (tiba-tiba jadi) satu malam selesai. Setidaknya butuh waktu dua tahun. Amerika labour costnya sudah terlanjur tinggi. Nah, itu juga yang sebenarnya bisa menjadi bahan negosiasi pemerintah.

BACA JUGA

Solusi lain, menjalankan program pemerintah misalnya MBG (Makan Bergizi Gratis), itu bisa menghidupkan rantai pasok hingga ke pedesaan. Syukur kalau bisa! Karena memang butuh modal besar untuk membangun sarprasnya, dapur, alat dan seterusnya, tentu orang kecil, modal kecil tidak kuat melakukan itu.

Pada event mayday (1 Mei) ada gerakan apa di Sarbumusi, apakah buruh akan demo Donald Trump atau ada acara lain?

Nggaklah, kita buat event yang bermanfaat saja. Jadi, kekuatan DPP akan dipecah, sebagian melakukan acara di Monas dan sebagian acara diskusi di PBNU. Lha, mayday kita di daerah daerah akan turun jalan.

Selain itu, di event Mayday nanti, kita ingin mengingatkan pemerintah untuk lebih berhati-hati lebih bisa melakukan formulasi yang lebih tepat, tidak gegabah. Substitusi ekonominya tidak semudah itu. Misalnya gini, tidak kemudian sektor padat karya garteks dan misalnya kemarin Sritex ada 12 ribuan sekian itu ya. Belum lagi kita berbicara standar pendapatan segala macam itu tentu berubah. Nah, ini harus ditinjau ulang.

Konkritnya, pemerintah sebaiknya fokus penanganan masalah ekonomi, wabilkhusus untuk menarik investasi, terutama investasi asing sebesarnya ke Indoneisa. Dan terutama sebisa mungkin didatangkan investasi yang sifatnya manufaktur padat karya, sehingga bisa menyerap tenaga kerja.

Makanya dalam konteks ini pemerintah perlu segera menyiapkan penguatan skenario bantalan sosial (Program perlindungan sosial). Misalnya program jaminan kehilangan pekerjaan, nah itu program kayak gitu sebenarnya apa. Jadi, harus benar diterjemahkan ke dalam program yang lebih operasional yang benar bisa dijalankan, dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, terutama yang kehilangan pekerjaan.

Jadi menarik investor adalah solusi terbaik?

Iya, solusi menarik investasi adalah satu satunya cara yang masih bisa dilakukan oleh pemerintah. Karena untuk pertumbuhan ekonomi satu yang penopang ekonomi growth kita itu kan 60% lebih konsumsi rumah tangga, berikutnya adalah dampak dari pedagang luar negeri, termasuk komoditi yang kita ekspor, baru kemudian industri manufaktur.

Nah, investasi yang masuk ke Indonesia itu kemudian berubah menjadi dikonversi dalam bentuk penyerapan tenaga kerja melalui industri-industri olahan, industri manufaktur. Nah, untuk membuat industri tumbuh di sini, negara ini butuh likuiditas, sedangkan likuiditas kita sedang tidak cukup. APBN kita segitunya sekitar 3.4 triliun. Rupiah kita sedang terdepresiasi.

Jadi, jangan lihat 3000 sekian triliun rupiahnya ya, itu harus dikonversi ke USD. Karena rupiah kita nggak ada gunanya. Karena rupiah kita nggak bisa buat transaksi perdagangan. Apapun menggunakan USD.

Persoalan lain, Indonesia tahun ini sudah harus membayar hutang yang jatuh tempo yang jumlahnya sekitar 800 Triliun, sehingga kemudian kita nggak punya cukup APBN. Belum lagi, pemerintah sejak awal ngotot untuk program MBG dan Danantara. Tentu porsi dari APBN kita yang akan diputer pemerintah untuk belanja negara, yang selama ini belanja negara menjadi salah satu instrumen terbesar untuk menggerakkan ekonomi di bawah, sehingga ekonomi di bawah akan begerak, orang akan belanja dan itu akan menjadi domestic consumption.

Dalam rumus economic growth, itu akan melambat semua. Nah, karena terjadi pelambatan-pelambatan akan berdampak pada penciptaan lapang kerja. Karena orang daya belinya turun. Kalau daya belinya turun nanti manufaktur akan menurunkan jumlah volume produksinya, kalau volume produksinya turun ya pasti karyawannya akan turun, efisiensi dan berujung PHK.

Apa tuntutan dan harapannya? 

Pertama, Pemerintah harus fokus penangaan masalah situasi ekonomi sekarang, karena pelambatan ekonomi global dan trump tarif dengan mendatangkan investasi sebesar besarnya.

Kedua, Pemerintah harus melibatkan tangan buruh dalam melakukan deregulasi, agar tidak melakukan kesalahan yang sama ketika membuat UUD Omnibus cipta kerja.

Dan Ketiga, Sarbumusi mengusulkan kepada pemerintah untuk menanggung jaminan sosial 20% penduduk usia kerja yang diambil dari penduduk bekerja pengahasilan paling rendah. Sehingga dapat menghindarkan buruh dari kemiskinan ekstrim. Trimakasih. (huda/anisa).

Leave A Reply

Your email address will not be published.