Sifat Tamak yang Menjerumuskan Seseorang dalam Lembah Kehinaan

0

Syaikh Ibnu Athâillah al-Sakandarî berkata: Mâ Basaqat Aghsânu Dzulli, Illâ ‘Alâ Badzri Thama’in, artinya “Tidaklah cabang-cabang kehinaan itu tumbuh melainkan di atas benih ketamakan”.

Bila mencermati pernyataan al-Sakandarî di atas, kita akan menemukan dua kata kunci yang menjadi starting point dari kajian ini, yaitu tamak dan kehinaan. Artinya, kehinaan seperti merendahkan diri secara berlebihan atau menerima penghinaan, biasanya muncul dari adanya sifat tamak atau keinginan berlebihan akan sesuatu. Dengan kata lain, ketika seseorang terlalu tamak, ia mungkin rela merendahkan dirinya sendiri untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya secara berlebihan. Jika mengacu pada teori hukum kausalitas, sikap tamak dan kehinaan merupakan dua variabel yang saling mengikat satu sama lain, sehingga disebut Conditio Sine Qua Non. Maksudnya adalah suatu perbuatan dianggap sebagai sebab dari akibat jika tanpa adanya perbuatan itu, akibat tidak akan terjadi.

Selanjutnya Ibnu Abbâd al-Randî pen-syarah pernyataan al-Sakandari berpendapat bahwa kata “Basaqa” sebagaimana termaktub di atas, mempunyai mashdar “al-Busûq” yang berarti “tumbuh dan panjang”. Dalam frasa bahasa Arab seringkali ditemukan: “Basaqat al-Nakhlah Busûqan Idzâ Thâlat” yang berarti Pohon kurma itu menjulang tinggi (tumbuh tinggi) jika ia memanjang (menjadi tinggi). Hal ini senada dengan firman Allah s.w.t. dalam al-Qur’an: “Wa al-Nakhlah Bâsiqâtin wa al-Aghshân”, artinya: “Dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai ranting yang bersusun-susun”. (QS. Qaf, 50:10). Kata al-Aghshân pada ayat tersebut bermakna beberapa cabang, ia juga merupakan bentuk jamak dari kata al-Ghusnu, yaitu sesuatu yang bercabang dari batang pohon. Ia juga bisa dijamakkan menjadi al-Ghusûn, sedangkan kata al-Badzr adalah biji yang ditanam. Semua yang termaktub dalam ayat di atas merupakan ungkapan metaforis yang indah dalam menggambarkan sifat tamak yang dimiliki oleh manusia yang tak mampu menjaga hatinya.

Sifat dan sikap tamak termasuk salah satu penyakit jiwa yang paling berbahaya serta aib yang merusak hubungan seorang hamba dengan Allah s.w.t., karena itu adalah pangkal dari segala bencana. Dikatakan demikian, karena ia merupakan maifestasi keterikatan kepada manusia seperti berlindung, ketergantungan, dan penghambaan terhadap mereka. Apabila seorang hamba sudah terikat, berlindung, tergantungan, apalagi sampai menghambakan diri kepada manusia lainnya, maka ia sudah berada dalam kubangan kehinaan dan kerendahan yang tiada tara tandingannya. Untuk itulah mengapa tidak halal bagi seorang mukmin untuk menghinakan dirinya sendiri lewat anasir-anasir sebagaimana disebutkan di atas. Sikap menghambakan diri kepada manusia akan membuka celah bagi dirinya untuk dimanfaatkan oleh orang lain demi hal-hal negatif. Maka, jika ada seseorang yang terus-menerus dimanfaatkan, mungkin perlu mengevaluasi apakah sikapnya selama ini terlalu serakah akan penerimaan atau karena takut kehilangan.

Di samping itu, sifat tamak bertentangan dengan hakikat iman yang mensyaratkan adanya kemuliaan. Kemuliaan yang dimiliki oleh orang-orang beriman hanya bisa diraih dengan mengarahkan cita-citanya hanya kepada Allah s.w.t., ketenangan hati kepada-Nya, dan kepercayaannya hanya kepada-Nya bukan kepada selain-Nya. Inilah kemuliaan yang Allah anugerahkan kepada hamba-Nya yang beriman. Allah s.w.t. berfirman: “Sesungguhnya kemuliaan itu hanyalah milik Allah, Rasul-Nya dan milik orang-orang mukmin” (QS. Al-Munafiqun, 63:08). Jika dipahami secara mendalam, ayat ini hendak menegaskan bahwa kemuliaan itu merupakan sifat orang-orang mukmin, sedangkan kehinaan merupakan sebagian dari sikap orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Allah s.w.t. berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina”. (QS. Al-Mujadilah, 58:20).

Banyak sekali wisdom atau pesan moral yang disampaikan para ulama dan orang-orang shaleh mengenai bahaya sifat tamak ini. Di antaranya adalah monolog yang disampaikan oleh Abû Bakar al-Warrâq al-Hakîm: Seandainya ditanyakan kepada ketamakan: “Siapakah ayahmu”? Ia akan menjawab: “Keraguan terhadap takdir”. Dan jika ditanyakan kepadanya: “Apa pekerjaanmu”? Ia akan menjawab: “Mengumpulkan kehinaan”. Dan jika ditanyakan kepadanya juga: “Apa tujuanmu”? Ia akan menjawab: “Keterhalangan dari rahmat Allah”. Senada dengan itu, Abu al-Hasan al-Warrâq al-Naisâbûrî menegaskan: “Barang siapa merasakan dalam dirinya kecintaan berlebih terhadap sesuatu dari dunia, sungguh ia telah membunuh dirinya dengan pedang ketamakan. Dan barangsiapa tamak terhadap sesuatu, ia akan terhina dan binasa dalam usahanya”.

Walhasil, orang yang mempunyai sifat tamak pasti rusak agamanya, begitupun ia kehilangan cahaya keimanannya. Dalam kitab al-Tanwîr disebutkan: “Periksalah keberadaan sifat wara’ pada dirimu lebih sering ketimbang engkau memeriksa hal lainnya. Sucikan dirimu dari sifat tamak terhadap makhluk, karena seandainya orang yang tamak itu mandi di tujuh lautan sekalipun, ia tidak akan mampu mensucikannya, bahkan ia akan berputus asa lantaran usaha dalam mensucikan dirinya itu menjadi sia-sia, selama sifat tamak masih bersemayam dalam jiwanya”.

Ada kisah menarik mengenai hal itu, yakni suatu ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. datang ke Basrah dan memasuki masjid di dalamnya. Beliau mendapati para pembawa cerita sedang berkisah, lalu ia menghentikan mereka dari aktivitas tersebut, sampai ia mendatangi Hasan al-Bashri. Ali berkata: “Wahai pemuda, aku akan menanyakan kepadamu mengenai satu hal. Jika engkau mampu menjawabnya, aku akan membiarkanmu untuk terus bercerita. Namun jika tidak, aku akan menghentikanmu seperti aku menghentikan teman-temanmu itu. Hasan al-Bashri berkata: “Tanyakan apa yang engkau mau!”. Kemudian Ali bertanya: “Apa yang menjadi raja atau penguasa bagi agama?”. Hasan menjawab: “Sifat wara’”. Selanjutnya Ali bertanya lagi: “Apa yang merusak agama?”. Hasan menjawab: “Sifat Tamak”. Ali berkata: “Duduklah! Orang sepertimu pantas berbicara kepada orang banyak”.

Al-Sakandarî berkata: Aku mendengar guru kami berkata: Di awal perjalananku di kota pelabuhan Iskandariyah, aku mendatangi seseorang yang mengenalku. Aku membeli sepotong kaca seharga setengah dirham, lalu aku berkata dalam hati: Mungkin dia tidak akan mengambil uangnya dariku. Lalu terdengar olehku sebuah suara yang tidak didengar oleh orang lain lain. Suara itu berpesan kepadaku bahwa keselamatan dalam agama adalah meninggalkan sifat tamak terhadap makhluk. Orang yang tamak tidak akan pernah merasa kenyang, karena secara leksikal, kata tamak itu berasal dari kata “طمع” yang kesemua hurufnya berongga, seperti: Thâ’, Mîm, dan ‘Ain. Kemudian beliau berkata: Wahai muridku, hendaknya engkau mengangkat cita-citamu dari makhluk dan jangan merendahkan diri untuk mereka, karena bagianmu dan kemurahan Allah s.w.t. telah mendahuluimu, dan ketetapan-Nya telah lebih dulu tampak nyata.

Dalam ajaran tasawuf, tamak merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya karena bisa merusak kehidupan spiritual seseorang. Dari uraian di atas,, kita bisa memahami bahwa ketamakan bukan hanya soal keinginan berlebihan terhadap harta, tapi juga muncul karena kurangnya keyakinan terhadap takdir dan rezeki yang sudah ditentukan oleh Allah. Para ulama sufi menjelaskan bahwa orang yang tamak sebenarnya sedang meragukan bahwa Allah sudah menjamin rezekinya. Akibatnya sangat serius, karena implikasinya tidak hanya merusak hubungannya dengan agama, tapi juga memadamkan cahaya keyakinan di dalam hatinya. Salah satu kisah yang memberikan pelajaran penting sebagaimana diuraikan di atas adalah tentang seseorang yang membeli kaca murah di Iskandariyah. Ia sempat berpikir, “mungkin penjualnya tidak akan meminta bayaran”. Meskipun kelihatannya sepele, pikiran itu sudah menunjukkan benih ketamakan. Dari situ kita belajar bahwa menjaga kebersihan hati itu dimulai dari hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari. Wallâhu A’lam bis Shawâb.

 

(Transkip pengajian Syarah Hikam Rais Aam PBNU, KH Miftchul Akhyar live di TVNU pertemuan ke-87).

Leave A Reply

Your email address will not be published.