Musim haji tahun 23 Hijriyah atau Oktober 544 M. Hari Jumat, 8 Zulhijjah 23 atau 18 Oktober 644, Sayidina umar tengah mengadakan inspeksi musim haji tahun itu di sekitar Mekah. Ia didampingi Sayyidina Ali. Persitiwa ini dicatat sebagai haji terakhir khalifah.
Khalifah kedua ini tengah mangamati jemaah haji dan sangat ingin bertemu dengan jemaah haji asal Yaman. Ia pernah mendengar Rasululah bersabda tentang orang Yaman yang bernama Uwais Al-Qarni. Sayidina Umar bahkan diperintahkan untuk meminta doa ampunan kapedanya, karena ia penghuni langit.
Rasulullah pernah bersabda, “Allah mencintai hamba-Nya yang suci hatinya (ashfiya), tersembunyi jati dirinya (akhfiya), tidak berbuat dosa (abriya), penampilannya terlihat kusut (sya’tsah), wajahnya terlihat dipenuhi debu jalanan, perutnya kempis (khamishah), di mana jika mereka meminta izin bertemu para pejabat tinggi mereka tidak diberikan izin. Jika mereka ingin menikahi perempuan cantik, tidak diterima. Jika mereka ingin hadir, tidak diundang. Jika mereka hadir ke suatu tempat, kedatangan mereka tidak membuat orang gembira. Jika mereka sakit tidak ada yang menjenguk, dan jika mereka mati tidak ada yang melayat.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang seperti itu?”
“Dia adalah Uwais Al-Qarni.”
“Siapakah Uwais Al-Qarni?” mereka bertanya.
“Dia adalah orang yang matanya memerah, dua pundaknya lebar, tingginya sedang, kulitnya sangat gelap, janggutnya dekat dadanya, matanya selalu melihat ke tempat sujudnya, tangan kanannya di letakkan di atas tangan kirinya, dia membaca Al-Quran, menangisi dirinya, mengenakan dua pakaian lusuh yang tidak menarik perhatian, berkain dengan kain dari wol dan selendang dari wol. Dia tidak dikenal di bumi, namun dikenal di langit. Jika dia bersumpah, niscaya Allah akan kabulkan sumpahnya. Ketahuilah, di bawah ketiak kirinya ada bidang yang putih, dan saat datang hari kiamat akan dikatakan kepada orang-orang ahli ibadah; ‘Masuklah kalian ke dalam surga’. Sementara kepada Uwais dikatakan; ‘Bangun dan berilah syafaat’. Maka Allah memberikan syafaat bagi kepada orang-orang sejumlah bilangan warga suku Rabiah dan Mudhar. Hai Umar, hai Ali, jika kalian berdua berjumpa dengannya, mintalah kepadanya agar dia memintakan ampunan kepada Allah bagi kalian berdua.”
Umar bin Al-Khathab dan Ali bin Abi Thalib mencarinya selama sepuluh tahun, namun tidak dapat menemukannya. Dan pada akhir tahun menjelang kewafatannya, Sayidina Umar berdiri di bukit Abu Qubais Mekah dan memanggil dengan suara sangat keras, “Hai para jemaah haji dari Yaman, apakah di antara kalian ada Uwais?”
Beberapa orang tersentak kaget mendengarnya apalagi setelah tahu bahwa itu suara Amirul Mukminin. Maka seorang lelaki tua dengan jenggot panjang berdiri, dan berkata, “Kami tidak tahu siapa itu Uwais? Namun saya punya saudara yang bernama Uwais, dia orang yang paling tidak dikenal, paling miskin, paling tidak pantas untuk diantarkan ke hadapan baginda, dia memelihara unta kami, dia sosok yang hina di antara kami.”
Mendengar itu, Umar terlihat sedih, dan seakan dia tidak menerima pernyataan tadi. “Di mana saudaramu itu? Apakah dia juga sedang berada di tanah suci ini untuk menunaikan haji?” tanya Umar.
“Iya,” jawab laki-laki tua itu.
“Di mana dia bisa ditemui?”
“Di Arafah.”
Maka Umar bin Al-Khathab dan Ali bin Abi Thalib segera berangkat ke Arafah. Arafah belum begitu ramai karena semua jemaah haji masih sebagian di Mekah dan di Muzdalifah. Dan di sana, keduanya mendapati Uwais sedang shalat di bawah pohon yang tidak begitu tinggi. Sementara unta-unta yang digembalakannya seolah berjaga di sekelilingnya.
Kedua sahabat Rasulullah itu lalu mengikat keledainya pada sebuah pohon tak jauh dari posisi laki-laki itu.
Kemudian keduanya menjumpainya.
“Assalamu ‘alaika wa rahmatullah.”
Mendengar salam keduanya, Uwais mempercepat salatnya dan lalu menjawab salam dua laki-laki itu.
Kemudian keduanya bertanya, “Siapakah gerangan Anda?”
“Saya hanya Penggembala unta dan pekerja yang menerima upah.”
“Kami tidak bertanya tentang gembala, juga tentang pekerja, yang kami tanya siapa nama Anda?”
“Abdullah (hamba Allah)”
“Kami tahu penduduk langit dan bumi seluruhnya adalah hamba-hamba Allah, siapakah namamu, nama yang diberikan oleh ibumu?”
“Memangnya siapakah kalian berdua? Apa yang kalian berdua inginkan dariku?” tanya Uwais.
Keduanya menjawab, “Nabi kami Muhammad menceritakan kepada kami tentang Uwais Al-Qarani. Beliau juga menceritakan kepada kami tentang mata yang kemerahan bercampur biru. Juga mengabarkan bahwa di bawah ketiak kirimu ada warna putih, maka tunjukkanlah itu kepada kami. Jika memang begitu, berarti engkaulah orangnya.”
Uwais pun menunjukkan warna putih di bawah ketiak kirinya. Dan ternyata memang terdapat warna putih. Maka keduanya menciumnya. Dan berkata, “Kami bersaksi bahwa engkau adalah Uwais Al-Qarani. Maka mintakan ampunan kepada Allah bagi kami. Semoga Allah juga mengampunimu!”
“Iya saya Uwais.”
“Saya tidak mengkhususkan istighfarku untuk diriku juga tidak bagi seorang pun dari keturunan Nabi Adam. Namun saya mintakan kepada seluruh orang yang beriman di daratan, lautan, yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, juga bagi yang memeluk Islam, baik lelaki maupun perempuan. Hai dua orang tamuku, engkau telah dijadikan Allah untuk membuat diriku jadi dikenal orang, dan membuat keadaanku diketahui orang banyak. Siapakah kalian berdua?”
“Yang ini adalah Umar, Amirul Mukminin. Sedangkan saya adalah Ali bin Abi Thalib.” Mendengar itu Uwais segera berdiri, dan mengucapkan, “Assalamu ‘alaika wahai Amirul Mukminin warahmatullahi wa barakatuh. Juga untukmu, hai Ali bin Abi Thalib. Semoga Allah membalas kalian berdua atas jasa kalian kepada umat ini, dengan balasan yang sebaik- baiknya.”
“Demikian juga engkau, semoga Allah memberikan balasan yang sebaik-baiknya.”
“Tetaplah di sini, semoga Allah merahmatimu, sampai saya masuk Mekah. Kemudian saya datang lagi kemari dengan membawa nafkah dari sebagian gajiku, dan kelebihan dari sebagian pakaianku. Tempat ini adalah tempat perjanjian kita untuk bertemu kembali.”
“Wahai Amirul Mukminin, tidak ada janji ketemu kembali antara kita. Saya tidak akan melihatmu lagi setelah hari engkau mengenalku. Apa yang akan saya lakukan dengan uang itu? Juga dengan pakaian itu? Apakah engkau tidak melihat saya memakai kain dari woll dan selendang dari woll? Kapan engkau melihatku mengubah kebiasaan berpakaian seperti ini? Apakah engkau lihat sendalku berjahit? Sejak kapan engkau lihat saya membuat sandal itu rusak? Apakah engkau tidak lihat bahwa saya mengambil upah dari gembalaan ini sebanyak empat dirham, dan kapan engkau lihat saya menggunakan uang itu? Wahai Amirul Mukminin, antara diriku dan dirimu terdapat perjalanan yang menanjak yang hanya dapat dilewati oleh orang yang kelelahan, tersembunyi jati dirinya dan lemah dirinya, maka ringankanlah bebanku! semoga Allah merahmatimu.”
Ketika Umar mendengar hal itu, dia memukul tanah dengan cemetinya. Kemudian dia berucap penuh penyesalan dengan suara keras dan terbata-bata, “Seandainya Umar tidak pernah dilahirkan oleh ibunya! Seandainya ibu Umar mandul sehingga tidak mengandung dirinya! Siapakah yang berani mengambil dunia dengan segala tanggung jawabnya.”
“Wahai Amirul Mukminin, berjalanlah Tuanku ke arah sana, sehingga hamba bisa berjalan ke arah sini.” Kemudian Umar berjalan ke arah Mekah. Sementara Uwais menuntun unta-untanya ke arah yang berbeda. Dan orang-orang pun mengambil untanya. Selanjutnya memberikan upah untuk penggembala dan kemudian menuju tempat wukuf mereka. Uwais memusatkan perhatiannya untuk ibadah. Senja mulai nampak di barat.
Wali Besar
Uwais bin Amir lahir di desa Qarn, Asir, Yaman tahun 594 H di Yaman 28 tahun sebelum Hijrah. Ia gugur (bersama 70.000 syuhada) 13 safar 37 H atau 31 Juli 657 dalam perang Shiffin di wilayah Suriah. Kini di dekat makamnya dibangun sebuah masjid yang diberi nama Masjid Uwais Al-Qarni.
Dikutip secara bebas dari ‘Uyunul Hikayat oleh Imam Ibnul Jauzi terbitan Darul Kutub Ilmiyah Beirut, 1971 (hikayat ke 15 dan 16, halaman 31-38) dan dilengkapi bahan-bahan dari Siyar A’lamin Nubala karya Adz-Dzahabi dan Hilyatul Awliya karya Alhafidz Abu Nu’aim. (MH)