Fikih Digital: Ketika Lirboyo Membuktikan Bahwa Santri Salaf Melek Digital

0

Izzulhaq At Thoyyibi

Era digital ini mengharuskan banyak hal untuk tidak lepas dari teknologi digital. Interaksi manusia satu dengan lainnya sebagian besar tidak lepas kaitannya dengan digital, dari konteks ekonomi, pendidikan, hingga kegiatan sosial lainnya.

Santri salaf dengan turats-nya (kitab kuning), menjadi kelompok sosial yang sering diremehkan di era digital ini. Mereka diremehkan karena melihat kehidupan santri yang sebagian besar terisolasi dari perangkat-perangkat digital, terutama smartphone. Juga karena mereka melihat pendidikan santri yang menggunakan kitab turats dianggap kuno dan sudah tak relevan.

Anggapan-anggapan bahwa santri tidak melek digital tersebut menjadi terasa tidak tepat setelah Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur menerbitkan sebuah buku berjudul Fikih Digital: Kontekstualisasi Fikih Dalam Dunia Digital. Sebuah buku yang membahas isu-isu digital dalam perspektif hukum Islam.

Buku ini disusun oleh santri wisudawan Ma’had Aly Lirboyo Tahun Akademik 2024. Namun ditulis pada saat mereka masih semester V – VI pada tahun 2023. Benar, buku ini bukan ditulis oleh pengasuh maupun guru pesantren, melainkan ditulis oleh santri. Membuktikan bahwa santri yang masih berstatus di pondok pesantren pun sebenarnya sudah memiliki cukup wawasan dalam dunia digital.

Sumber dan Analisis

Sumber yang digunakan dalam kepenulisan buku ini terdiri dari Al-Qur’an, Hadis, beserta banyak kitab turats dari ulama yang berbeda-beda. Ada lebih dari 100 kitab yang digunakan referensi dalam kepenulisan ini. Di antaranya adalah kitab tafsir Al-Qur’an, kumpulan hadis, fikih, ushul fiqh, dan sebagainya.

Tafsir Al-Qur’an merujuk pada beberapa tokoh, sepeti Imam al-Qurthubi, Thahir ibn Asyur, Jalaluddin al-Suyuthi, Fakhr al-Din al-Razi, dan sebagainya. Kitab hadis merujuk pada Sahih al-Muslim, Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, Sunan al-Turmudzi, dan sebagainya, Kemudian kitab fikih dan ushul fiqh merujuk pada puluhan ulama, seperti Abu Hamid al-Ghazali, Imam al-Nawawi, Zainuddin al-Malibari, dan lain-lain.

Analisis yang digunakan dalam kepenulisan ini tidak sekedar dari pemahaman tekstual dari suatu kitab yang dipaksakan untuk diterapkan dalam konteks modern. Namun, analisis juga dilakukan secara kontekstual. Dalam paradigma fikih, hal ini biasa dikenal dengan fikih manhaji, dan salah satu prinsipnya adalah ilhaq al-masail bi-nazhairiha, menyamakan hukum suatu kasus dengan kasus yang telah ada jawabannya dalam kitab.

Metode analisis dari kepenulisan ini secara tidak langsung membuktikan bahwa literatur yang dianggap kuno ini tidak bisa serta merta dianggap tidak relevan diterapkan dalam konteks modern. Relevan atau tidaknya suatu literatur kuno adakalanya bergantung pada bagaimana pembaca memahami, apakah secara tekstual-literal belaka, ataukah ada analisis rasional.

Hasil analisis dari kepenulisan buku ini juga tidak sekedar membahas sisi hukum halal dan haram saja, tapi juga menguraikan bagaimana kita sebagai muslim secara bijak menyikapi berbagai isu digital ini.

Pembahasan Dalam Buku

Buku ini terdiri dari 6 pokok pembahasan, di antaranya adalah edukasi, virtualisasi ibadah, revolusi bisnis, kultur digital, kejahatan siber, dan paradigma dakwah di internet.

Bagian pertama buku ini membahas isu edukasi yang mengalami digitalisasi. Di antaranya terdiri dari hukum aplikasi Al-Qur’an, apakah dianggap sebagai mushaf yang menyebabkan wajibnya suci dari hadats saat memegangnya, ataukah bukan mushaf. Kemudian membahas hukum belajar Al-Qur’an dan hukum belajar agama secara daring, dan dibahas juga bagaimana status guru google.

Bagian kedua dari buku ini fokus pada isu digitalisasi fikih ibadah, seperti hukum salat secara virtual, zakat dan kurban melewati aplikasi gadget, nikah online, juga menentukan kiblat dan hisab dengan aplikasi.

Bagian ketiga terfokus pada isu revolusi bisnis dan ekonomi di dunia modern, yang terdiri dari jual beli online melewati marketplace, cryptocurrency, dan sistem transaksi paylater.

Kemudian pada bagian keempat banyak dibahas isu-isu populer, yakni kultur-kultur baru yang muncul di era digital, seperti silaturrahmi secara online, chatting, voice call, dan video call dengan lawan jenis, game online, meme, klarifikasi, flexing, like follow dan subscribe, curhat di media sosial, dan algoritma media sosial.

Lalu, pada bagian kelima buku ini diuraikan tentang potensi kejahatan di dunia siber, di antaranya adalah isu mengenai hoaks, black market, copyright, pornografi, hacker, hate speech, judi online, dan VPN.

Bagian keenam atau terakhir dalam buku ini fokus menguraikan paradigma-paradigma dakwah yang ada di internet. Paradigma yang dibahas di antaranya adalah isu radikalisme, strategi dakwah di media sosial, clictivism, dan kritik kepada pemerintah

Cocok Untuk Masyarakat Muslim Secara Luas

Jika beberapa buku keislaman hanya cocok dibaca oleh orang yang sudah memiliki banyak pemahaman agama Islam secara detail, hanya cocok untuk kalangan santri saja, hanya cocok untuk NU atau Muhammadiyah saja, Buku ini tidak demikian, seluruh kalangan Muslim cocok untuk membaca buku ini.

Dikatakan demikian karena di sana terdapat banyak referensi dari beragam mazhab dan latar belakang ulama. Setidaknya, buku ini mencakup pemahaman empat mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali), dan didukung dengan ulama-ulama lain dari empat mazhab ini dengan latar belakang kehidupan yang berbeda-beda.

 

Identitas Buku

Judul Buku: Fikih Digital: Kontekstualisasi Fikih dalam Dunia Digital

Penulis: Tim Pembukuan SAMUDRO Wisudawan Mahasantri Ma’had Aly Lirboyo, Tahun Akademik 2024

Tahun: Cetakan III, November 2023 M

Penerbit: Lirboyo

Press

Tebal: xxxii + 232 hlm

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.