RISALAH NU ONLINE, JAKARTA – Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Abdul Muiz Ali (Kiai AMA), menegaskan bahwa pajak tidak dapat disamakan dengan zakat maupun wakaf. Menurutnya, pajak berlaku secara umum, baik bagi Muslim maupun non-Muslim.
“Sedangkan zakat adalah kewajiban bagi umat Islam dengan ketentuan sudah sampai kena wajib zakat dan harus didistribusikan kepada kelompok tertentu,” jelas Kiai AMA, dikutip dari MUIDigital, Jumat (15/8/2025).
Beliau menerangkan, perintah zakat telah termaktub dalam sejumlah ayat Al-Qur’an. Salah satunya dalam QS At-Taubah ayat 60 yang menjelaskan distribusi zakat ke dalam delapan kelompok: fakir, miskin, amil zakat, muallaf, memerdekakan budak, orang yang berhutang, di jalan Allah, dan ibnu sabil.
Selain itu, Kiai AMA juga menyinggung kaidah fikih yang membolehkan penguasa membuat kebijakan selama mengandung maslahat, yaitu tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manuthun bil maslahah. Hal ini sejalan dengan perintah dalam QS An-Nisa ayat 59 yang mewajibkan umat Islam menaati Allah, Rasul, dan ulil amri (penguasa).
Lebih lanjut, beliau menegaskan bahwa penarikan pajak di Indonesia diatur dalam undang-undang. “Meski sifatnya memaksa, aturan kewajiban bayar pajak oleh rakyat kepada pemerintah bertujuan untuk keperluan negara yang kembali pada kemaslahatan rakyatnya,” tegasnya.
Kiai AMA juga mengingatkan amanat Ijtima Ulama MUI dalam keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V Tahun 2015. Di antaranya, pemerintah diharapkan menerapkan pungutan pajak yang adil dan seringan mungkin, khususnya bagi masyarakat berpendapatan rendah.
“Dengan tidak membebani tarif pajak yang bertumpuk dan memberikan pembebasan pajak bagi usaha yang belum menghasilkan keuntungan. Selain itu, zakat dapat dikurangkan dari pajak terutang, bukan dari nilai pendapatan kena pajak,” ungkapnya.
Di sisi lain, beliau mendorong pemerintah untuk mencari sumber-sumber pendapatan negara selain pajak, agar rakyat tidak terlalu terbebani dengan tarif yang tinggi.
(Anisa)