Suatu hari, beberapa bulan setelah Harun Al-Rasayid diangkat sebagai khalifah pada Dinasti Abbasiyah di Baghdad, ia memanggil tiga ulama besar di zamanya untuk dijadikan qadli (hakim) untuk wilayah Syarqiyah, Baghdad.
Pertama yang diundang adalah Imam Waki’ bin Aljarah, seorang ulama yang lahir tahun 129 H (745 M). Ia adalah murid Imam Sufyan Tsauri. Kemudian Imam Abdullah bin Idris yang lebih sepuh. Ia lahir tahun 120 H (736 M). Selanjutnya, Imam Hafs bin Ghiyats Annakha’i yang paling tua, lahir tahun 117 H (734 M).
Harun Al-Rasyid sendiri lahir tahun 148 H (766 M). Masih terbilang sangat muda ketyika dinobatkan sebagai khalifah pada usia 22 tahun, yaitu tahun 170 H.
“Kami mengundang tuan-tuan untuk mengisi jabatan qadli yang kosong di beberapa daerah. Semoga tuan-tuan bersedia karena kami melihat kapasitas keilmuan tuan-tuan dan integritas yang tidak diragukan lagi. Bagaimana?” katanya sambil turun dari kursi singgasananya berwarna keemasan.
Imam Waki’ yang duduk disamping Harun menjawab pertama. “Wahai Amirul Mukminin. Mohon maaf. Saya ini sudah tua. Tidak pantas memiliki dan diberi jabatan. Saya lebih suka menghabiskan waktu saya untuk mengajar dan belajar. Penolakan saya bukan karena apa pun selain karena faktor usia dan menghormati Amirul Mukminin.”
Harun kemudian memandang kepada laki-laki kedua yang duduk di tengah, Imam Abdulah bin Idris. Ia lebih tua tapi tampak lebih tegas dan suaranya lantang. “Bagaimana Tuan Abdullah bin Idris yang kami hormati.”
“Jika Imam Wakif yang lebih muda dari saya saja menolak karena usia, tentu saya lebih berhak beralasan seperti itu. Saya takut usia saya menjadi penghalang keadilan yang menghancurkan nama Amirul Mukminin. Mohon maaf Amirul Mukminin, saya mempersilahkan Amirul Mukiminin mencari orang lain yang lebih pantas dari saya,” kata Ibnu Idris.
Terlihat Harun sedikit gusar. Mengapa mereka menolak jabatan dengan gaji sebesar 30 Dinar. Satu dinar setara dengan Rp 7.500.000 dihitung dengan harga emas tahun 2025, karena satu dinar itu seukuran 4,25 gram emas murni.
Maka, giliran Hafz bin Ghiyats yang sedikit lebih tua. “Bagaimana syaikh panutan kami, apakah bersedia mengisi jabatan itu?” tanya Harun.
“Iya saya bersedia,” jawabnya, mengagetkan. Jawaban itu menggetarkan dua sahabatnya. “Jabatan ini perlu dan yang mengisi harus yang mengerti agama. Seperti Al-Qadli Abu Yusuf Al-Hanafi (lahir tahun 113 H/729 M). Rakyat tercerahkan dan hukum berjalan semestinya. Itu alasan saya,” katanya menyakinkan.
Batapa bahagia Harun terlihat dari raut mukanya. Seorang pegawai istana telah menyiapkan tiga kantong uang yang masing-masing berisi 1.000 dirham (satu dirham bernilai sekitar Rp 100.000 karen terdiri dari hampir 3 gram perak).
“Mohon maaf para imam, ini persembahan ikhlas saya sebagai pengganti jarih payah tuan-tuan bersedia datang ke istana kami,” kata Harun. Ia menyerahkan sendiri pundi-pundi itu.
Namun, imam Waki’ kembali menyarahkan uang itu setelah menerimanya. ”Paduka sudah mendapat pahala dengan memberi kami. Tapi, kami lebih suka Paduka berikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan.”
Imam Abdullah bin Idris yang dikenal sangat keras pendapatnya itu langsung menolaknya tanpa ada alasan sedikitpun. Sebaliknyta, Hafs bin Ghiyats menerimanya. “Kami yang datang berhak menerimanya sebagai imbalan,” katanya. Harun Al-Rasyid setiap harinya selalu bersedekah 1.000 dirham dari kantongnya sendiri.
Ibnu Idris kemudian menghampiri Hafs dengan pandangan geram. “Aku tak menyangka engkau yang lebih tua dariku masih bersedia menerima jabatan,” katanya.
“Ini bukan sekedar jabatan tapi tempat aku berijtihad mewujudkan keadilan,” jawabnya.
“Sejak saat ini aku tak akan mengajakmu biacara. Jangan pula engkau ajak bicara aku dengan alasan apa pun walaupun aku tidak berseteru denganmu.”
Abu Yusuf yang mendengar Hafs menerima jabatan itu lantas berkomentar kepada para murinya; “Catatlah putusan-putusan unik Hafs nanti selama menjabat sebagai qadli.”
Surat Khalifah
Suatu saat di tahun 192 H atau 797 M muncul sebuah kasus yang melibatkan sorang laki-laki bernama Marzaban, kepercayaan istri Khalifah Harun Al-Rasyid. Kasus jual beli unta dengan pedagang asal Khurasan mengakibakan Marzaban masuk pengadilan.
Hafs mengadilinya dan kemudian harus memenjarakan Marzaban. Tapi, atas intervensi ibu negara Marzaban bisa bebas. Tapi, tak lama kemudian, Hafs kembali diadili karena ada tuntutan baru dari pedagang Khurasan itu. Maka pengadilan kembali digelar.
Qadli Hafz mengadili dengan seksama kasus ini sebagai data baru dari kasus sebelumnya yang telah dipenjarakan. Ibu negara meminta Harun untuk menulis surat kepada Hafs agar tetap membebaskan Marzaban. Harun kleberatayn. Tapi, karena ditekan terus akhirnya tak bisa tidak, ia menulis surat kepada Hafs agar membebaskan Marzaban.
Tapi, ketika utusan Harun ini datang menyampaikan surat itu, Hafz selalu menjawab: “Nanti dulu aku akan menyelesaikan pengadilan yang pelik ini.”
“Tapi, ini tugas dan perintah dari Amirul Mukiminin,” kata utusan khusus itu. Hafs tak menggubrisnya.
“Tuan, ini surat dari Amirul Mukminin, apakah Tuan tidak mau menerimanya?”
“Tunggu sampai saya menuntaskan tugasku. Aku juga tengah melaksanakan tugas Amirul Mukminin untuk menangani perkara. Tunggulah di ruanganku aku tengah memeriksa beberapa orang saksi,” kata Hafz. Suasana pengadilan sedikit keras dan sering terdengar teriakan.
Menjelang Asar, Hafz akhirnya memutuskan bahwa Marzaban bersalah tidak menepati janji dan harus dihukum. Putusan sudah diketuk. Petugas pengadilan langsung mengeksekusi Mazahan masuk kurungan kota Baghdad tak jauh dari istana dan Gedung mahkamah.
Hafs masuk ke ruangannya dan menemui utusan Amirul Mukminin. Surat itiu dibuka dan dibacanya. Isinya bertentangan dengan putusan yang baru saja dijatuhkan.
“Keputusanku itu putusan pengadilan yang mengikat yang tak siapapun membatalkan,” kata Hafs.
“Apa yang harus aku sampaikan?”
“Katakan saja kepada Amirul Mukminin bahwa keputusan itu sudah dibuat dan diputusakn secara syariah,” kata Hafs, tegas.
“Lantas, jika saja engkau baca surat itu apakah keputusannya bisa berbeda?”
“Aku bertangungjawab kepada Allah dan Amirul Mukminin juga sama. Sampaikan salam saya kepada Amirul Mukminin dan sampaikan kepadanya bahwa suratnya sudah saya terima dan saya telah melaksanakan putusan yang ada.”
“Sadarkah engkau dengan apa yang telah engkau lakukan tadi? Engkau menolak menerima dan membaca surat Amirul Mukminin. ”
Lalu, utusan itu kembali menemui Khalifah Harun dan melapor. Anehnya, Harun justru tertawa dan berkata kepada pengawalnya, “Kirimkan uang sebanyak tiga puluh ribu dirham kepada Hafsh bin Ghiyats.” Lalu, petugas bendahara istana Yahya bin Khalid melaksanakannya. Dia berjumpa Hafsh yang sedang berjalan pulang.
“Wahai qadhi, hari ini tuan telah membuat Amirul Mukminin senang dan menyuruh saya mengantarkan uang tiga puluh ribu dirham kepadamu. Apa sebenarnya yang telah terjadi?”
“Semoga Allah menyempurnakan kebahagiaan Amirul Mukminin, senantiasa memelihara, menjaga, dan melindunginya. Saya tidak melakukan apa-apa. Saya mengerjakan apa yang biasa saya kerjakan sehari-hari, tidak lebih dari itu.”
“Benarkah hanya karena hal itu yang membuat Amirul Mukminin bahagia,” kata Yahya.
Sebaliknya, isteri Harun naik pitam. “Kamu harus mencopot Hafs.” Namun, Harun menolaknya. Tetapi, karena desakan keras sang istri akhirnya Harun memindahtugaskan Hafs dari kantor pengadilan Syarqiyah ke kantor pengadilan di Kufah yang berjarak 170 kilometer. Hafs bin Ghiyats menjadi qadhi Kufah selama tiga belas tahun hingga wafat.
Putusan-putusan perkara yang ditangani Hafs dibaca oleh Abu Yusuf yang kemudian ditagih janji penilaiannya. “Celaka kalian! Hafs tulus bekerja untuk mendapat ridla Allah dan dia mendapatkan taufik-Nya.”
Dikutip bebas dari Uyunul Hikayat karya Imam Ibnu Jauzi hal 223-225 terbitan Darul Kutubil Ilmiyah, Beirut, Libanon, dilengkapi Al-Wullat wa Kitabul Qudlat karya Muhammad bin Yunus Al-Kindi terbitan Al Aba Al Yasu’iyyin, Kairo, Mesir tahun 1908. (Musthafa Helmy)