Uqban lunglai memasuki rumahnya di tepian sungai Dajlah (Tigris). Ia tak bersemangat ketika istrinya, Dawiyah menyambutnya mesra. Baghdad tengah mengalami cuaca panas yang tinggi. Sungai Tigris telah menandakan dangkalnya dengan riak yang gagap.
“Bagaimana?” tanya Dawiyah, mendekat.
Uqban pulang memeriksa ladangnya yang ditanami semangka, labu, dan beberapa buah lainnya. Jika ia selama ini sukses dan bisa menghidupi keluarganya dengan cukup, tapi tahun ini Uqban harus menerima kenyataan. Gagal panen.
“Gagal. Tahun ini kita tidak menyembelih kurban,” katanya lesu sambil melepas surban penutup kepalanya. Anaknya, Hiwar tengah memainkan mainan dari kayu oak yang dibeli dari pedagang Turki. Ketika mainan itu menyentuh kaki Uqban, segera Dawiyah mengambilnya dan menyerahkan kembali kepada anaknya.
“Ya tak mengapa. Allah yang memberi kita semua dan kali ini belum memberinya,” kata Dawiyah sambil meninggalkan suaminya di ruang tamu.
“Sebentar,” sergah suaminya sambil menggapai tangan isteri yang 15 tahun dinikahinya itu.
“Mungkin Abban bisa meminjami kita uang sehingga kita bisa berkurban besok,” kata Uqban.
Dawiyah mengangguk. “Engkau yang datang,” katanya.
“Denganmu.”
“Iya.”
Kedatangan keluarga Uqban disambut baik saudagar Abban yang terkenal pedagang sutera. Keduanya memang sesama saudagar yang sering bertamu dan bertemu. Mereka sengaja datang setelah berbuka puasa Arafah. Suara takbir mulai membahana.
“Sungguh kehormatan ada tamu agung,” kata Abban sambil mengeluarkan makanan Turki, nasi bumbu dalam terong besar yang kerap disebut dengan Imam Bayeldi.
Setelah basa basi bincang situasi bisnis, Uqban mengutarakan keinginannya meminjam uang 1.200 dirham.
Abban lagsung menyetujuinya.
“Bawalah dan jangan kau pikirkan pengembaliannya. Semampumu dan boleh sampai kiamat,” katanya, sedikit berseloroh.
Uang itu masih disegel dalam kantung kain dalam pecahan 20 dirham. (Mata uang dirham dan dinar mulai dibuat dinasti Abbasiyah sejak Khalifah Harun Al-Rasyid tahun 132 H atau 749 M.) Uqban sudah menghitung bahwa uang ini nanti akan belikan kambing untuk disembelih sisanya untuk makan-makan dengan keluarga. Sebab, keluarga Uqban dari Basrah akan tiba, begitu juga keluarga Dawiyah dari Kirkuk yang sedang dalam perjalanan dengan kereta kuda.
Ujian
Baru saja Uqban dan Dawiyah duduk dan hendak membuka bungkusan uang itu, rumahnya ada mengetuk. Ternyata, saudagar yang bernama Sayid Hasyim. Ia masih berdarah Hasyim, kakek Rasulullah. Pada zaman itu Bani Hasyim termasuk mendapat tunjangan dari kerajaan.
Sayid Hasyim bercerita bahwa ia mengalami kesulitan keuangan dan ia ingin meminjam uang kapada Uqban. Ia menemui isterinya. “Apa aku harus bicara sebenarnya kepada bahwa kita juga kesulitan,” kata Uqban.
“Jangan. Kita harus berbaik sangka kepada Allah. Tidak perlu diceritakan penderitaan yang tengah menguji kita.”
Uqban menerima nasihat istrinya. “Lalu?”
“Kita bantu dia. Lalu, apa yang ingin engkau lakukan?” tanya Dawiyah.
“Saya akan membagi dua uang dalam kantong ini.”
“Jika begitu, berarti engkau tidak berbuat apa-apa. Engkau datang nenemui orang biasa, lalu dia memberimu uang sebanyak seribu dua ratus dirham. Kemudian, ada seseorang yang memiliki ikatan darah erat dengan Rasulullah datang menemuimu, lalu engkau hanya ingin memberinya separuh dari apa yang diberikan kepadamu oleh orang biasa itu. Berikan semua uang itu kepada kawanmu Sayid Hasyim itu,” kata Dawiyah.
Uqban semula termangu sejenak. Uqban mengambil kantong uang yang ada dan menyerahkan semuanya kepada Sayid Hasyim.
Ternyata, di malam itu juga Abban, pengusaha sutera itu mendatangi rumah Sayid Hasyim dengan tujuan yang sama, meminjam uang. Maklum Sayid Hasyim juga pengusaha minyak wangi. Tak banyak bicara Sayid Hasyim langsung menyerahkan uang 1.200 dirham itu kepada Abban. Tapi, ketika melihat kantong uang yang bersegel dengan cap cincinnya itu, dia pun tahu bahwa kantong itu adalah kantong yang dia berikan kepada Uqban. Menjelang tengah malan, Abban menemui Uqban dan menceritakan apa yang terjadi. Mereka tertawa terbahak-bahak.
Usai salat Idul Adha di masjid Kerajaan, Perdana Menteri Yahya bin Khalid Al-Barmaki datang dan mengundang Uqban dan seluruh keluarga untuk makan-makan. Al-Barmaki juga mengundang Abban dan Sayid Hasyim dan keluarga. Memang, para saudagar itu sangat akrab dengan perdana menteri pemurah yang murid Imam Abu Yusuf Al-Qadli itu.
“Maaf, tuan-tuan mulia, saya terlambat mengutus utusanku kepada tuan-tuan, karena saya baru sibuk mengurus keperluan Amirul Mukminin Harun Al-Rayid.”
Uqban lantas bercerita tentang perjalanan ajaib kantong uang itu. Al-Barmaki tersenyum dan kemudian tertawa sambil menepuk bahu Uqban dan Abban. Sayid Hasyim menyaksikan dari dekat.
Tiba-tiba Al-Barmaki yang masih mengenakan baju terindah untuk Idul Adha karena mendampingi Khalifah Amirul Mukminin itu lantas memanggil pelayan istana yang bertubuh kekar. Ia membisikkan sesuatu kepada pelayan yang mengenakan seragam biru dan surban merah itu. Sementara tiga saudagar tengah menikmati makanan terlezat yang disajikan perdana Menteri yang disebut pemegang cincin kerajaan.
Pengawal tadi dibantu dua pelayan lain keluar dengan membawa sepuluh pundi-pundi berwarna merah bata. “Pelayan, tolong bawa ke dekat sini,” kata Yahya Al-Barmaki kepada pelayannya itu.
Setiap pundi-pundi itu bersisi 1.000 dinar dalam pecahan sepuluh dinar. Satu dinar bernilai 10 dirham. Al-Barmaki kemudian memanggil Uqban, Abban dan Sayid Hasyim.
“Silahkan, setiap kalian mendapatkan 2.000 dinar. Alias dua pundi-undi. Ayo silahkan ambil.”
Tapi, tiga sudagar tak percaya, apakah ini jebakan. Mereka termangu. Perdana Menteri Barmaki kembali memintakan “Ayo, ambillah itu hadiah dariku karena kalian saling menyayangi sesama kalian tanpa peduli nasib kalian sendiri.”
Sisa empat kantong. “Nah, mana Dawiyah,” teriak Barmaki.
Dawiyah muncul diiringi isteri-isteri dua saudagar Baghdad dan juga isteri Al-Barmaki. “Apa gerangan yang mulia perdana menteri,” kata Dawiyah.
“Karena engkau adalah yang terbaik dari semua orang ini, maka terimalah empat pundi-pundi yangh berisi 4.000 dinar ini untukmu. Semoga Allah memberi berkah dan membawa kejayaan ekonomi negara.”
Unta
Sore itu mereka bertiga berkorban masing-masing seekor unta yang nilainya 100 Dinar perekor. Keluarga Ubqan dari Basrah dan keluarga Dawiyah dari Kirkuk menikmati pesta pora makanan di sore Idul Adha. Sambil bertakbir mereka menikmatinya.
Cuaca malam itu begitu indah disemai taburan bintang, seindah hati mereka yang senantiasa merajut cinta dengan sesama, tanpa rasa iri, dengki dan kebancian sedikitpun mewarnai hatinya.
Dikutip bebas dari Uyunul Hikayat karya Imam Ibnu Jamaluddin Abu Faraj Al-Jawzi dari hikayat ke 106 (Hikayah fil Jud wal Itsar) halaman 125-126, terbitan Dartul Kut
ub Al-Islamiyah, Beirut. (Musthafa Helmy)