Analisa Seorang Pemuda Islam

0

Oleh: Ahmad Chalid Mawardi (1954).

Pengantar

Ahmad Chalid Mawardi adalah tokoh besar NU yang wafat Juli 2024 lalu. Ia dikenal sebagai jurnalis, politisi, ulama, dan diplomat dengan jabatan Duta Besar RI untuk Suriah dan Libanon.

Ia lahir pada 11 September 1936 di Surakarta. Chalid adalah putera dari pasangan Kiai Mawardi dan Nyai Hj Mahmudah binti KH Masyhud yang pernah memimpin Muslimat NU. Keduanya merupakan tokoh penggerak di Kota Surakarta.

Chalid tercatat pernah menjadi ketua GP Ansor, anggota DPR dari Partai NU, PPP dan terakhir menjabat sebagai Mustasyar PBNU.

Tulisan ini dimuat dalam majalah Gema Muslimin edisi nomor 2, Februari 1954 koleksi perpustakaan PBNU. Tulisan ini ditulis ketika Chalid masih belia, berusia 18 tahun dan tengah aktif di IPNU. (MH)

Pada minggu-minggu terakhir ini, banyak dan kerap kali kita dengar suara-suara baik yang diucapkan secara tidak disengaja oleh orang-orang Islam sendiri, maupun yang sengaja didengungkan oleh pihak-pihak tertentu yang mengiaskan seolah-oleh Umat Islam Indonesia sekarang ini telah berpecah belah dengan maksud ‘mengail ikan dalam air keruh’agar dapat membingungkan umat Islam sehingga dalam kebingungan itu mereka dapat mengambil keuntungan untuk kepentingannya.

Sebenarnya apabila kita mau membuka mata kita selebar-lebarnya. apa yang sedang terjadi di kalangan umat Islam di negara kita ini, kita akan melihat dan tahu bahwa umat Islam masih kompak, masih bulat, masih tetap satu tujuan dan satu cita-cita, dan kita akan menyesalkan orang-orang yang mendengung-dengungkan adanya perpecahan di kalangan umat Islam Indonesia.

Akan tetapi yang nyata dan benar ialah jalan yang ditempuh oleh golongan umat Islam untuk mencapai tujuan dan cita-cita yang sama itu berbeda-beda, tidak sama. Kita akui ini, dan ini adalah soal biasa dalam suatu negara yang berazaskan demokrasi.

Yang hendak kami sajikan disini ialah bagaimanakah sikap seorang Islam, terutama para pemuda jang belum secara aktif menjalankan politik suatu kepartaian akan menghadapi persimpangan jalan dari berbagai golongan Islam itu. Suatu persimpangan jalan yang klimaks daripadanya akan merupakan suatu pertentangan politik yang membahayakan kebulatan dan kekompakan yang kami sebutkan diatas.

Suatu pertentangan politik yang boleh kami umpamakan sebagai permainan api didalam rumah atap yang apabila ada orang-orang yang berkhianat pada kita atau kita lengah, akan hanguslah rumah itu dan kita sendirilah yang rugi.

Marilah kita sekarang menengok ke belakang sedikit sejarah timbulnya pertentangan dan adanya jalan yang berbeda-beda itu. Dahulu sebelum kita mengenyam udara kemerdekaan di Indonesia ada dua golongan yang besar pengaruhnya, yaitu golongan Nahdlatul Ulama dan golongan Muhammadiyah. Perbedaan diantara kedua golongan ini hanya terbatas pada tidak sejalan dalam beberapa detail cara beribadah. Akan tetapi walaupan tidak sama jalannya, kedua golongan ini NU dan Muhammadyah saling membiarkan dirinya berjalan di atas rel masing-masing. Mereka tidak satu cara, tapi mereka tidak saling jelek menjelekkan. Mereka tidak sejalan, tapi mereka tidak sampat pukul memukul. Mereka tetap rukun dan damai. Tidak ada cerita kafir mengafirkan atau munafiq memunafiqkan.

Tapi sekarang, setelah kita menghirup udara kemerdekaan dimana terjamin hak-hak kita untuk berfikir dan berbicara, sering kita sampai jemu mendengarkan orang-orang yang memunafiqkan ulama, mengkafirkan sesama orang Islam, berdasarkan karena ulama dan orang-orang Islam itu dalam perjuangan mencapai cita-citanya bekerja bersama dengan golongan bukan Islam, dan membelakangkan sesama Islamnya. Padahal mereka itu juga tahu bahwa duduk dalam kursi Pemerintahan itu bukannya tujuan yang terakhir. Ini hanja satu jalan saja untuk mengejar cita-cita yang prinsipil, yaitu cita-cita yang sama itu tadi.

Kami kira semua golongan Islam sama-sama ingin bekerja sama juga, baik didalam maupun di luar gelanggang Pemerintahan. Tapi kerja sama ini bukanlah merupakan suatu keharusan mutlak yang melaraskan tujuan sesuatu golongan untuk memuaskan golongan yang lain. Ini harus diinsyafi dan janganlah malahan saling mengufurkan memunafiqkan.

Tentunja diantara kita akan bertanja: Mengapa sampai terjadi hal yang demikian itu, toh mereka masih tetap satu tujuan dan satu cita-cita?. Jawab kami adalah: mungkin didalam salah satu golongan Islam sekarang ini ada pihak yang tidak menyukai adanya Umat lslam yang bersatu bulat dan kompak dan saling menguatkan yang lain. Mungkin ada orang-orang tertentu yang apabila Ummat Islam bersatu, dimana segala sesuatu masalah harus dikembalikan pada jalan Allah akan kehilangan kedudukannya. Dan sebaliknya berusaha adanya persimpangan jalan Umat lslam, dimana faham mana berselisih itu, mereka malah dibutuhkan oleh salah satu golongan lslam sebagai orang-orang yang pandai berbicara dan pandai main siasat dan dengan begini mereka masih tetap memegang kedudukannya.

Orang-orang semacam inilah yang harus kita koreksi, kita cari dan kita persona non gratakan dari kampulan kita. Orang-orang inilah yang dinamakan aventurier yang memainkan agama untuk politiknja. Janganlah malahan kita ikut membantu mereka dalam menyalakan api pertengkaran seperti terjadi di daerah-daerah.

Umat Islam, terutama para pemudanya, dalam keadaan yang bagaimanapun juga harus awas dan menjaga diri agar tubuhnja tidak kemasukan anasir-anasir yang dapat merusakkan kesatuan dan ukhuwwah, agar tetap terpeliharalah potensi Umat lslam Indonesia, karena Umat Islam yang merupakan golongan terbesar dalam masyarakat Indonesia ini mempunjai tanggung jawab terbesar pula untuk menyelamatkan negara dan bangsa.

Sebab-sebab timbulnya pertentangan yang kedua adalah perlombaan diantara partai-partai Islam untuk memperoleh kekuasaan dalam pemerintahan dan pengaruh dalam masyarakat. Tujuan ini adalah biasa, bahkan seharusnya sebagai partai politik. Apa guna sesuatu partai timbul kalau tidak berusaha memperoleh pengaruh dalam masyarakat sebanyak-banyaknya dan menduduki kursi pemerintahan untuk mencapai maksud dan tudjuannya? Sekarang ini yang harus kita sesalkan dan kita sayangkan ialalı adanya golongan yang ingin tetap diatas dan tidak menghendaki kemajuan golongan lainnya. Mereka mengajukan saran dan pendapatnya di muka masyarakat Islam agar para ulama, kiai-kiai itu jangan ikut berpolitik, jangan ikut mengurus negara. Serahkan saja hal itu kepada kaum intelektualist academicus.

Saudara-saudara kaum Muslimin. Kami sebagai seorang pemuda yang sedikit banjak pernah melihat pendidikan dan Ilmu-ilmu yang diberikan di pondok-pondok pun pernah pula duduk di bangku sekolah umum tentunya juga tahu waIaupun belum banyak, bahwa memang pelajaran yang diberikan di sekolah-sekolah dan di pondok-pondok itu jauh berbeda. Umpamanya saja pelajaran tatanegara. Pelajaran ini yang diberikan di sekolah-sekolah umum terutama ketatanegaraan ala negara Barat atau ala sistem Komunis-Marxis. Juga ada peladjaran ketatanegaraan Islam tapi sama sekali tidak sempurna dan tidak sedalam pelajaran yang diberikan di pondok-pondok. Tentunya para ulama dan kiai-kiai keluaran pondok (pesantren) itu tidak bisa dan memang tidak mau kalau disuruh mengatur negara secara Demokrasi Barat yang kebudayaan dan peradabannya sangat jauh menyimpang dari ajaran lslam: atau secara Komunis yang sama sekali tidak mengenal dan tidak menghargai hak tiap individu. Tapi ketatanegaraan yang mereka kehendaki dan mereka perjuangkan ketatanegaraan jang betul-betul Islam dan diridlai oleh Allah. Hal inilah yang menjebabkan kiai dan ulama itu sekarang giat dalam soal politik, dan selama mereka masih berdaya dan pintu demokrasi masih terbuka luas, selama itu pula mereka itu tetap mempergunakannya untuk mencapai idamannja, dan tidak akan menyerahkan cita-cita untuk diperjuangkan kepada sembarang orang yang tidak mengerti apa yang diidamkan itu. Karena didikannya yang walaupun banyak tetapi kosong dari pengetahuan tentang ke lslaman apalagi hukum Islam.

Sebab-sebab pertentangan selanjutnya ialah adanya suatu golongan yang dengan begitu saja tidak mengakui islamnya golongan lain. Apabila golongan pertama itu sedang terpakai dalam percaturan politik. Adanya suatu golongan yang seolah-olah merasa dirinya sajalah yang berhak membawa suara Umat lslam seluruh Indonesia, seolah-olah hanya mereka sendiri sajalah yang boleh memerintah negara kita ini atas nama Umat Islam. Itulah orang-orang yang mau monopoli Umat Islam untuk kepentingau politiknya.

Saudaraku Muslimin seluruhnja. Kalau negara kita ini kami umpamakan sebagai rumah yang sudah tiris, tiangnya sudah lapuk, padahal angin puyuh Internasional terus mengamuk, yang menghanyutkan rumah kita ini agar terseret dalam blok-blok dunia yang sedang bertengkar untuk dijadikan kawan bergelut, apakah lantas kita musti tanya lulu siapa yang herhak memperbaiki rumah? Menurut hemat kami, siapa yang dapat dan sanggup memperbaiki rumah itu wajib memperbaikinya tidak perduli dari golongan mana dia berasal. Sebab rumah itu bukan kepunyaan golongan Islam saja. Nationalis saja. Komunis saaja atau lain-lainnya saja, tapi kepunyaan seluruh rakyat yang berada di bawah naungan rumah itu, dan seluruh rakyat bertanggung jawab atas roboh dan tegaknya. Kita Umat Islam seluruhnya juga bertanggung jawab, baik di hadapan dunia International maupun dihadapan Allah. Kalau rumah itu selesai kita perbaiki, tinggallah kita beradu kekuatan tentang siapa jang boleh mendiami dan menguasai rumah itu.

Akhirnya sebagai pemuda, kami berseru kepada sesama Pemuda Islam, agar hati-hati meletakkan diri didalam arus pertentangan politik diantara partai-partai Islam yang sekarang ini sedang terjadi dan dinyalakan oleh golongan tertentu dan orang-orang tertentu, dan mengusahakan terwudjudnja ukhuwwah dan tekad bulat diantara Ummat Islam seluruh Indonesia dalam perjuangan yang semata-mata didasarkan pada keridlaan Allah, yang merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan cita-cita Umat lslam seluruhnya. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Leave A Reply

Your email address will not be published.