Nikmatnya Uang Halal

0

Sudah hendak tutup gerai Abdullah ibnu Mubarak di utara kota Baghdad. Tiba-tiba seorang laki-laki tua menghalangi pintu gerainya. Ibnu Mubarak membiarkan laki-laki tua itu masuk.

“Tuan, kami sudah tutup, pegawai kami sudah pulang. Rembulan juga sudah tinggi,” kata Ibnu Mubarak sambil tersenyum berseloroh.

“Maaf, aku tak ingin membeli barangmu,” kata laki-laki beraksen Persia itu.

“Lalu,” kata Ibnu Mubarak sambil menyiapkan tempat duduk buat laki-laki yang berusia sekitar 60 tahun itu.

“Aku hanya ingin pinjam duit. Aku terdesak dan besok subuh sudah harus membayar hutang-hutanku,” katanya.

“Tidak bisa tuan tunggu besok pagi,” kata Ibnu Mubarak.

“Tolonglah aku. Aku mengenalmu meski engkau tak mengenalku. Semoga Allah meringankan semua urusanmu dunia dan akhirat,” kata laki-laki itu sambil mencoba menggeser kursinya agak manjauh dari pintu.

“Baik,” kata Ibnu Mubarak. “Berapa kebutuhan Tuan?”

“Tuju ratus dirham.”

Ibnu Mubarak lantas mengambil secarik kertas dan menuliskan angka di situ. “Berikan kertas ini kepada bendaharaku Shalah di gedung sebelah,” kata Ibnu Mubarak.

Tak lama kemudian Shalah datang menghadap. “Tuan, laki-laki itu hanya membutuhkan 700 dirham. Tapi, kenapa Tuan memberinya 7.000 dirham?”

“Mengapa?”

“Harta kita akan berkurang dan bahkan habis,” kata Shalah.

Ibnu Mubarak tersenyum. “Tak mengapa harta kita habis. Usia kita juga berkurang dan akan habis. Berikan seperti yang aku tulis,” kata Ibnu Mubarak.

Shalah segera memberikan uang itu dalam kantong kasar. Ia juga membagi uang sisanya untuk karyawan yang berjumlah 22 orang. Upah mereka dan bonus harian diberikan.  Kemudian Shalah membagi uang sisanya dalam tiga kantong yang nilainya sama.

Satu kantong untuk keperluan keluarga Ibnu Mubarak dan anak-anaknya. Satu kantong untuk persiapan menunaikan ibadah haji tahun depan bersama karyawan dan keluarga. Satu kantong lagi untuk disedekahkan kepada lima ulama besar yang hidup di zaman itu.

 

Harta Halal

Lima ulama besar itu adalah Imam Sufyan Ats-Tsauri (97-161H/716-778M), Imam Sufyan bin Uyainah (107-198H/725-815M), Imam Fudail bin Iyadh (107-108H/723-803H), Imam Muhammad bin Sammak (wafat tahun 183H/798M) dan Imam Muhammad bin Ismail bin Ulayyah (110-193H)/929-809M). Besarnya bantuan melalui pertimbangan senioritas dan perannya di masyarakat.

Sufyan Tsauri mengatakan, “Sungguh diriku tidak punya hajat untuk mengerahkan umurku seluruhnya untuk menjadi semisal Ibnu Mubarak.” Sedang Ibnu Uyainah mengatakan, “Aku melihat untuk membandingkan dengan para sahabat, hanya berbeda dalam hal shuhbah (bersahabat) dengan Nabi Muhammad.”

BACA JUGA

Ibn Mubarak pernah berkata kepada Fudhail bin Iyadh, “Kalaulah bukan karenamu dan para sahabatmu tentu aku tidak akan berniaga”. Ia juga selalu berinfak kepada fakir miskin pada setiap tahunnya 100.000 dirham. Ia juga pernah membayar hutang seorang pemuda sebanyak sepuluh ribu dirham diam-diam dan baru diketahui setelah Ibnu Mubrak wafat.

Imam Ad-Dzahabi  menyebut Abdullah ibnu Mubarak Al-Handhali Al-Marwazi yang lahir tahun 118 H di Merv (Persia) sebagai Syaikhul Islam, pemimpin ulama ikhlas di zamannya dan seorang ahli hadis yang bergelar al-Hafiz. Ia  penah dipuji Harun Al-Rasyid. “Demi Allah, inilah raja sesungguhnya, bukan seperti kerajaanku; sekumpulan orang-orang bangsawan,” katanya setelah dilantik sebagai khalifah Abbasiyah.

Abdullah bin Mubarak kemudian kaget mendengar Ibnu Ulayyah diangkat sebagai qadli kota Bagdad beberapa hari setelah Harun Al-Rasyid. Sebelumnya, ia mewanti-wanti Ibnu Ulayyah tak menerima jabatan qadli. Tapi, jabatan ia terima ketika Ibnu Mubarak keluar kota.

Mendengar itu ia segera memanggil Shalah, bendahara perusahaannya. “Jangan kau kirim pundi-pundi untuk Ibnu Ulayyah,” katanya sambil geram.

“Tapi, sudah dibawa Ubaidillah. Dia menuju sana.”

“Susul!“

“Untuk ulama lainnya?”

“Tetap kirim.”

Ubaidillah tersusul dan pundi-pundi itu ditarik kembali. “Bagikah dengan teman-temanmu,” kata Ibnu Mubarak. Shalah, Ubaidillah dan karyawan yang lain gembira mendapat tambahan 1.000 dirham. Mereka mendengar suasana pesta pelantikan beberapa pejabat baru kekhalifahan termasuk Qadli ibnu Ulayyah.

Menjadi pertanyaan besar ketidakhadiran Ibnu Mubarak dalam pelantikan itu. Padahal ia undangan istimewa,  ulama besar Bagdad. Imam Suftan Ats-Tsauri dan Sufyan bin Uyainah tidak karena datang karena keduanya tinggal di luar Bagdad.

Sore hari itu juga Ibnu Ulayyah ke rumah Ibnu  Mubarak. Dari jauh Ibnu Mubarak melihat kedatangan kereta kuda pejabat, ia lantas pergi jalan, sehinga Ibnu Ulayyah tak bertemu. Ia kembali ke rumahnya lewat tengah malam setelah menghabiskan waktu dengan Ibnu Sammak mengkaji hadis-hadis Rasululah.

Ibnu Ulayyah kaget tak dapat lagi kiriman uang. Berkali-kali ia menanyakan itu melalui surat, namun tak pernah dibalas. Bahkan ketika keduanya sempat berjumpa di masjid setelah salat Jumat bersama Amirul Mukminin, Ibnu Mubarak tak acuh. Jabat tangan dan pergi meninggalkan Ibnu Ulayyah termangu sendiri.

Ibnu Ulayyah mencoba menanyakan kepada Ibnu Sammak dan Fudhail bin Iyad. Keduanya tak tahu. “Aku tidak meminta dan tidak mengharap. Ibnu Mubarak yang memaksa memberiku,” kta Fudhail.

Dijauhi Ibnu Mubarak menjadi masalah sendiri. Ibnu Mubarak bukan orang biasa. Ia ulama ahli hadis yng juga dikenal dekat dengan Allah. Masih terngiang kata-katanya.  “Adakalanya amalan sedikit menjadi banyak disebabkan niat, dan adakalanya amalan besar menjadi kecil gara-gara niat”.   “Barangsiapa yang meremehkan para ulama maka akhiratnya telah hilang. Barangsiapa memandang remeh  penguasa maka ia kehilangan dunia. Dan barangsiapa yang memandang bodoh saudaranya maka harga dirinya telah pergi”.

Dalam suatu kesempatan Ibnu Ulayyah bisa berjumpa dengan Ibnu Mubarak yang baru pulang dari Khurasan.

“Mengapa sikapmu berubah kepada saya, Tuan?.”

“Tanggalkan jabatan dan kembalilah menjadi ulama panutan,” kata Ibnu Mubarak sambil pergi.

Ibnu Ulayah tercenung lama. Uang dari Ibnu Mubarak adalah uang halal yang sangat indah dinikmati. Berkah. Kemudian ia meninggalkan jabatan itu melalui surat kepada Amirul Mukminin. Kembali Ibnu Mubarak memeluknya.

Ibnu Mubarak meninggal pada tahun 181 H pada usianya 63 tahun. Namanya harum hingga kini dan sering disebut dalam khazanah keilmuan.

Dikutip bebas dari ‘Uyunul Hikayat’ karya Imam Ibnu Jauzi kisah ke 218 halaman 213-214, Darul Kutibil Islamiyah, Beirut, dan ‘Abdullah Ibnu Mubarak Imamul Qudwah’ karya Muhammad Usman Jamal, terbitan Darul Qalam, Damaskus, 1419/1998 dan ‘Siyaru A’lamin Nubala’ karya Adz-Dzahabi. (Musthafa Helmy).

Leave A Reply

Your email address will not be published.