Catatan Gerilya Seorang Kiai (1947)

0

Pengantar

Tulisan ini merupakan bagian pertama dari buku Hari-hari Revolusi Indonesia (Catatan harian 24 Juli-12 November 1947) yang ditulis dengan huruf Arab Pegon oleh KH Abdul Chalim Siddiq. Beliau adalah adik dari KH Mahfudz Siddiq (Ketua PBNU) dan kakak KH Ahmad Siddiq (Rais Am PBNU). Diterbitkan oleh Bildung Nusantara, 2025.

Dalam pengantar Kiai Muhammad Aly bin Abdul Halim, setidaknya ada tiga tahap penting pada masa revolusi tahun 1947 yang dialami Kiai Abdul Chalim. Tahap pertama, saat mengungsi dari Talangsari ke sekitar Jember. Tentara Belanda datang menyerang. Rumah dan kami lumbung padinya dibakar. Kiai Chalim disertai dua anaknya; Aly dan Wardah.

Tahap kedua, mengungsi ke Blitar. Kiai Dhofir dan Van der Plas (gubernur Belanda untuk Jawa) datang menemuinya dan berbincang dalam Bahasa Arab. Pada Juni 1949, pindah ke Surabaya. Tahap ketiga, yaitu pulang kembali ke Jember dan dinas di Kantor Urusan Agama (KUA) Jember, KUA Situbondo, KUA Lumajang, KUA Jombang dan KUA Bondowoso. Pada tahun 1960, naik haji dan lalu mendirikan Pondok Pesantren Asshidiqi Putri (Ashri). Pondok Ashri memiliki santri sebanyak lima ratus orang sampai akhir hayat beliau.

Pada tahun 1970, Kiai Chalim wafat. Jumlah pentakziah yang hadir luar biasa, lautan manusia. Menjelang penguburan, kerandanya hancur jadi rebutan massa.

Silahkan menyimak bagian tulisan dari 260 halaman buku ini. (MH)

 

Di rumah itu ada Kiai Fahrurrozi dengan istrinya. Saya lihat mukanya pucat pasí. Saya terus menemui Saudara Dhofir (adik ipar), saya tanya: apakah tidak ngungsi? Toh di sini kita ini percuma saja. Lebih baik kita mengumpulkan tenaga dan kekuatan di luar kota.

Dhofir menjawab: tidak, batalionnya tetap di sini saja. Sebab kalau kita kelihatan ngungsi, oleh rakyat tentu bakal dicap penakut dan penghianat. Saya -kata saya- ngungsi sambil mengumpulkan kekuatan di luar kota dan kamu di dalam kota memberi laporan keadaan kota kepada saya.

Tapi Dinda jangan tinggal dalam rumah sini, sebaiknya di pondok. Sebab di rumah pikiran saya berbahaya. Begitu juga perkakas rumahmu, yang penting- penting taruh saja di pondok. Ia menjawab: endak, biar saya tetap saja dalam rumah ini. Sebab nanti kalau ada apa-apa saya gampang berlari keluar lewat belakang. Saya lalu keluar menuju ke pondok. Tetapi tidak jadi istirahat dalam pondok sebab kapal terbang terus-menerus lalu di atasan kita.

Oleh karenanya saya pergi ke tengah pohong (singkong) melindung di sana. Adapun ngantuknya mata bukan main. Tidak lama Dhofir dan istrinya, Fahrurrozi dan istrinya, datang turut berlindung di tengah pohongan. Saya tanya: ada apa?? la cerita tengah membuka bannya montor (mobil) dan onderdilnya montor yang penting-penting, ada suaranya montor, jadi saya berlari-kata Dhofir. Waktu saya bercakap-cakap tiba-tiba terlihat pada saya seseorang duduk di pojok pekarangan sebelah barat selatan. Ia melepaskan pandangannya ke arah kita di tengah tebuan. Jadi saya curiga.

Oleh sebab itu saya terpaksa pindah tempat. Akhirnya saya mencoba tidur dalam pondok, tetapi mata tidak bisa tidur karena kapal terbang terus beredar di atasan kita. Jam 12 zuhur saya mencuci pakaian dan terus mandi. Lalu sembahyang zuhur. Lalu saya tinggal seorang diri berpikir macam-macam.

Akhirnya saya keluar ke kidul-nya pondok. Kira-kira 25 langkah saya berhenti, meneduh di bawah pisang sambil melihat ke sana ke sini kalau ada orang (mata-mata musuh) yang mengintai. Benar, ada seorang dari utara berjalan ke selatan. la berpakaian petani sebelah kanannya mbendul seakan-akan berulang dan di belakangnya diikuti seorang anak pengarit.

Setelah dia melihat saya, ia pura-pura berhenti di bawah pohon mangga, sedang anak pengarit tadi diperintah berjalan ke timur. Saya tidak berkecil hati, karena Tuhan Allah berfirman: Sesungguhnya kematian yang kalian lari darinya tetap akan menemukan kalian. Saya terus bangun meneruskan niatan akan pergi ke Talangsari. Belum sampai di muka orang yang saya curigai, ia bangun berjalan ngidul Talangsari mendahului saya.

Mungkin ia ingin tahu ke mana saya pergi. Sampai di akhir selatan saya bersembunyi, dan dia menoleh melihat pada arah saya tadi. Lama, kira-kira sampai lima menit. Saya tetap bersembunyi. Sesudah dia capai mencari saya tidak ada, ia terus ke selatan. Sesudah saya tidak tampak dia, saya berjalan pelan-pelan ke barat melewati lain jalan terus ke rumah Kiai Ghozali.

Sampai di sana saya mengetahui anak-anak Hizbullah sama tidur di masjidnya Kiai Ghozali. Sulton saya tegur supaya tentara kita Hizbullah tidak ditaruh sini, sebab di sini banyak mata-mata musuh. Baiklah supaya dipindah saja. Sulton memberi keterangan bahwa anak-anak ini baru dihimpun dari tempat yang terpencar. Lantaran mereka masih payah, jadi saya istirahatkan dahulu di sini. Nanti tentu akan saya pindah ke lain tempat yang sunyi.

Kiai Ahmad (Hizbullah) datang memberitakan bahwa Cina-Cina banyak sekali yang menjadi petunjuk tentara. Dia merasa susah karena bertetangga dengan Cengho! yang mengetahui sehari-harinya Kiai Ahmad. Dia kalau pulang tentu bakal ditunjuk. Oleh sebab itu ia turut keluar kota bersama-sama kita. Haji Syekh dan Bukhori idem.

Waktu itu datang kepala kampung membawa berita bahwa mulai nanti malam ini di kota-katanya- diadakan jam malam, dari jam 6 magrib sampai jam 6 subuh. Dan petinggi Jember Kidul mulai kemarin hingga hari ini belum pulang kembali. Sebelum magrib saya masuk ke dalam rumahnya Kiai Ghozali, tidur- tiduran karena badan merasa panas. Haji Syekh memberitahu bahwa orang-orang yang sudah menjadi mata-mata dan penunjuk jalan serta penunjuk nama-nama pemimpin tentara kepada Belanda:

1. Si A tukang potong Kampung Tengah.

2. Si B Kebun.

3. Si C Belanda Kampung Kebun. Dan tadi ini rumahnya Amirudin dimasuki Belanda dengan Cina torinya dipasang. Amirudin dicari tidak ada.

Bakda salat isya Sulton masuk menemui saya berunding akan membentuk markas rahasia, saya setuju. Lalu saya diajak ini malam juga keluar kota untuk membentuk markas tersebut. Saya tidak keberatan, tapi saya dalam keadaan sakit. Sulton keluar, Haji Syekh datang masuk mengajak supaya saya pada malam ini juga keluar kota bersama- sama Hizbullah. Kemudian Haji Syekh keluar dan Kiai Ahmad masuk memberi pil pada saya.

Kira-kira jam 10 kita berangkat melewati sawah-sawah, bawahnya pring- pringan (pohon bambo), melewati sungai Jompo, kembali lagi karena keliru jalan. Lalu melintasi sungai Bedadung. Akhirnya sampai di Tegal Besar menuju ke masjid yang sunyi. Sesudah mereka menempat di itu masjid, saya pergi ke rumah tempat istriku muda mengungsi, tapi….. dia tidak ada.

Menurut keterangannya orang situ, dia bersama-sama Nuroniyah kembali ke Condro, tetapi Kiai Alwi tadi ada di langgarnya. Saya terus minta antar ke tempat Kiai Alwi. Sesudah saya ketemu beliau saya tanya apa sebabnya Nuroniyah kembali ke Condro. Beliau memberi jawaban tidak tahu padahal sudah dilarang tidak boleh kembali. Kira-kira jam 01.30 beliau saya ajak ke Condro menyatakan kembali betul atau tidak, dengan diantar oleh dua orang pengawal.

Kira-kira jam 02.30 kita sampai di Condro dan istriku ternyata ada, dan kembali ke Condro karena Nuroniyah kembali. Ia tidak kerasan tinggal seorang diri di Tegal Besar, jadi turut kembali apalagi ada pesan saya supaya selalu turut ke mana Nuroniyah pergi. Kemudian seorang anak buah Hizbullah datang memberi laporan bahwa pada siang tadi ada tentara Belanda masuk ke rumah Nyonya Lindiman, lalu bercakap-cakap bahasa Belanda.

Pada tadi sore saya ke rumahnya Kasbun (Hizbullah), anak dari tukang perasnya sapinya Lindiman. Nyonya Lindiman datang ke rumah orang tuanya Kasbun, bilang: kamu pulang. Bun. la begitu baik. Dan besok pagi kita semua harus ngungsi ke Serut, ya. Laporan itu saya pikir sungguh mengandung maksud.

Dahulu sebelum Belanda masuk Jember Nyonya Lindiman pernah berkata kepada saya tidak akan ngungsi sekalipun ada serangan Belanda. Kalau sudah ditakdirkan mati mesti mati juga sekalipun ngungsi ke manapun. Itulah keterangannya dahulu. Tetapi kena apa sekarang dia akan ngungsi sesudah didatangi Belanda? Tentu begini: tentara Belanda itu bertanya di mana tempat-tempat tentara. Oleh Nyonya Lindiman dijawab bahwa penduduk Condro sini semuanya sebelum Belanda datang sangat semangat, berlatih terus siang dan malam. Jadi penduduk Condro sini semuanya termasuk golongan ekstrimis.

Oleh sebab itu, Condro akan dinetralisir. Maka supaya tidak mengenai Nyonya Lindiman, jadi Lindiman harus ngungsi. Itulah ‘hati-hati dari manusia dengan berburuk sangka’. Tafsiranku yang saya dasarkan hadis. Dengan sebab itu hatiku berdebar-debar ingin lekas-lekas memindah istri ke lain tempat. Seketika itu istriku dan istri Kiai Alwi ini jam juga harus keluar dari Condro.

Ke mana? Kiai Alwi memberi petunjuk ke Ajung. Kita semuanya terus tata-tata dan pada jam 02 itu malam berangkat berjalan kaki melewati galengan-galengan (pematang) sawah, naik-turun, nyeberang sungai Bedadung. Tengah jalan istriku cerita bahwa sandalnya yang jatuh di lumpur waktu dia kembali ke Condro terdapat kembali, alhamdulillah. Hatiku sangat lega karena dengan terdapatnya sandal yang sudah hilang itu berarti selamatnya kita. Pendapat saya ini saya kira dasarnya pada hadis Qudsi: Aku tergantung prasangka hamba-Ku. Jika ia berprasangk baik, maka baik juga baginya. Begitu juga jika ia berprasangka buruk, buruk pula baginya. Kira pada jam 03.30 kita sampai ke tempat yang kita tuju, yaitu rumahnya Haji Mansur (yang ditolong). Jarak dari Condro ke Ajung itu kira-kira ada 7 kilometer. Saya terus tidur karena sangat payah dan hampir tidak sahur. (*)

Leave A Reply

Your email address will not be published.