RISALAH NU-ONLINE, JAKARTA – Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah, KH Ubaidullah Shodaqoh, menyatakan bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Presiden kedua RI, Soeharto, dinilai masih terlalu cepat. Pernyataan ini disampaikan di Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jakarta Pusat, pada Senin (10/11/2025).
Menurut kiai yang akrab disapa Kiai Ubaidullah ini, keputusan tersebut perlu dilihat dengan penuh pertimbangan, mengingat sejarah kelam masih membekas dalam memori kolektif bangsa.
“Terlalu dini memberi gelar pahlawan pada Soeharto. Luka itu masih menganga. Jadi, mudah-mudahan saja kita bisa mengambil hikmah dari realita ini,” ujar Kiai Ubaidullah, menekankan pentingnya pembelajaran dari peristiwa sejarah.
Lebih lanjut, Kiai Ubaidullah menyoroti logika pemberian gelar yang semata-mata berdasarkan lama kekuasaan dan pembangunan. Ia menegaskan bahwa pembangunan merupakan kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap pemimpin.
“Pahlawan karena lama berkuasa toh yang digunakan uang rakyat. Yang namanya pembangunan itu kewajiban. Seorang pemimpin wajib-wajib saja (melaksanakan pembangunan),” jelasnya.
Kiai Ubaidullah juga mengingatkan kembali peristiwa tragis tahun 1998, di mana pengorbanan para mahasiswa dan elemen masyarakat menjadi bagian dari catatan sejarah yang tidak terhapuskan.
“Apa yang telah terjadi ini (pemberian gelar pahlawan Soeharto) merupakan pelajaran bagi kita semua, bagaimana perjuangan teman-teman 98 anyir darahnya masih bisa tercium,” ucapnya dengan nada prihatin.
Meski mengakui bahwa dinamika politik di Indonesia kerap menghadirkan kebijakan yang perlu diterima sebagai sebuah kenyataan, Kiai Ubaidullah menegaskan bahwa peran masyarakat, khususnya Nahdlatul Ulama, untuk terus menyuarakan nilai-nilai kebenaran dan keadilan tidak boleh padam.
“Tapi inilah suatu kenyataan perpolitikan yang ada di Indonesia,” katanya. “Meskipun kita akui sejarah itu milik penguasa, milik pemenang, tetapi realita tidak bisa diubah. Kita bisa memberi catatan-catatan saja. Bahwa tugas kita untuk terus berjuang.”
Kiai Ubaidullah menyampaikan kekhawatirannya bahwa pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan dapat menimbulkan kontradiksi dengan suara-suara moral dan perlawanan terhadap ketidakadilan di masa lalu. Hal ini, menurutnya, berpotensi menghambat kemajuan bangsa.
“Suara-suara moral dan perlawanan jadi kontradiktif dengan diangkatnya Soeharto sebagai pahlawan. Nilai-nilai mana yang harus kita ikuti?” tanyanya secara retoris. “Yang jadi kekhawatiran saya kita akan berjalan di tempat.”
Ekalavya