Oleh: Alfi Ni’mah (Mahasantri Marhalah Ula Ma’had Aly Situbondo)
“Bib, kemari nak!” Seru seorang laki-laki berusia sekitar enam puluh tahunan dari ruang muthalaahnya.
“injih Bah” Ahbib langsung menghampiri ruang muthalaah Abahnya ketika mendengar dirinya dipanggil. Ia berjalan menggunakan lutut ketika sampai di pintu ruangan tersebut, kemudian ia duduk berhadapan dengan Abahnya yang sedang membaca sebuah kitab. Dengan posisi duduk tahiyat awal dan kepala menunduk, ia menunggu dawuh dari Abahnya.
Sepuluh menit berlalu, sang Abah menutup kitabnya, tanda muthalaahnya telah usai.
“Sampean sekarang sudah selesai kan mondoknya?”
“injih Bah.” Ahbib menjawab sambil tetap menunduk ta’dzim.
“Abah dengar kamu dapat predikat the best baca kitab, waktu kelulusan kemarin”
“injih Bah, benar.” Ahbib menjawab dengan masih terus menunduk. Sementara sang Abah mengamati mukanya dengan tatapan yang teduh.
“Nak, tolong ambilkan kitab ma’man min al-dalalah yang ada di baris nomor dua!” Ujar sang Abah sambil menunjuk rak kitab yang berada di sebelah kanannya menggunakan ibu jarinya. Ahbib pun segera mengambil kitab karangan kiai Nawawi Abdul Jalil yang dimaksud Abahnya tersebut.
“Bacakan untuk Abah bagian mukadimah nak!” Sang Abah memberikan titah. Ahbib membuka bagian awal dari kitab tersebut dan hendak melakukan apa yang dititahkan oleh Abahnya. tetapi ada keanehan terjadi. Seorang Ahbib yang pada waktu kelulusannya mendapat predikat the best baca kitab, mengungguli tiga ribu lulusan lainnya, ketika Abahnya meminta membacakan bagian mukaddimah dari suatu kitab, yang umumnya berisi pujian untuk allah serta selawat untuk rosulllah, hanya bisa diam. Mulutnya bungkam tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Isi otaknya kosong. Kelihaiannya dalam membaca kitab selama ini seakan menguap ke udara tanpa sisa. Padahal kitab tersebut telah dikhatamkanya sebanyak tiga kali selama di pesantren. Bahkan dia sempat mengajarkan kitab tersebut kepada adik tingkatnya. Entah mengapa kali ini di depan sang abah yang merupakan salah seorang ulama’ masyhur, ia tidak bisa membaca kitab sama sekali.
Sang abah hanya menatapnya dengan tatapan yang tetap teduh. tak ada kilatan marah pada rona mukanya. masih sama seperti tatapan pertama kali ia memanggil Ahbib. Yang ditatap tak kuasa menitikkan air mata karena merasa sangat bingung dan malu atas peristiwa aneh yang baru saja ia alami.
“Bib..” Sang Abah memanggil namanya dengan suara yang halus, namun bisa menggetarkan hati Ahbib.
“selama ini sampean mondok hanya sibuk belajar nak! Sampean tidak pernah berkhidmah. Tidak pernah rekoso, uripe mulyo terus.”
Ahbib makin menunduk dalam tangisnya. Ia menyadari sesuatu yang selama ini luput dari perasaanya.
“ balio nang mbah yai Nurul Huda, khidmaho seng tenan, seng istiqomah lan ikhlas. Belajar urip rekoso! Uripe kanjeng nabi lan para salafus salih mbiyen gak onok seng gak rekoso nak! Balio saiki, ojok muleh nang abah sakdurunge mbah yai Nurul Huda ngutus muleh!”
“(kembalilah ke mbah yai Nurul Huda, berkhidmahlah yang serius, yang istiqomah dan ikhlas. Belajar hidup susah! Perjalanan hidup nabi dan para salafus salih dahulu tidak ada yang tidak susah nak! Kembalilah sekarang, jangan pulang ke abah kalau tidak di suruh pulang oleh mbah yai Nurul Huda!)”
Setelah sang abah menyelesaikan dawuhnya, Ahbib beringsut maju untuk mencium tangan abahnya. Sekalian pamit untuk berangkat ke pesantren lagi. Sang Abah mencium ubun-ubunnya lama sembari melafadzkan doa-doa untuknya.
Malam itu pula Ahbib berangkat ke pesantren menggunakan bus angkutan antar kota. Biasanya ia diantarkan oleh supir yang merupakan khadimnya menggunakan mobil pribadinya yang super mewah. Kali ini ia memilih untuk menggunakan angkutan umum untuk kembali ke pesantren. Ia benar-benar melepas segala kemewahan dan jubah kebesaran yang selama ini menjadi perangkat kehidupanya. Ia bertekad untuk menjalankan apa yang menjadi perintah sang Abah.
Ketika berada di dalam bus yang sangat berdesakan, ia duduk bersebalahan dengan seorang pemuda yang sangat tampan, putih, bersih. Aura wajahnya sedap di pandang. Wangi badanya harum dan suaranya sangat menenangkan jiwa.
“sampean gus Ahbib putra yai Salman?” Tanya pemuda tersebut.
“injih, benar” Ahbib menjawab dengan ramah dan sopan.
“Abah sampean itu benar, ngutus sampean balik lagi ke mbah yai Nurul Huda.” Pemuda tersebut tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuat Ahbib terkejut. Awalnya dia mengira pemuda tersebut mengenalnya karena ia adalah salah satu dari ribuan santri Abahnya. Tapi bagaimana bisa pemuda yang baru ditemuinya di bus ini mengetahui kisah dia dan Abahnya yang baru terjadi tadi siang. Dan siang tadi hanya ada dia dan abahnya yang berada di ruang muthalaah.
“sampean siapa? Kok bisa mengetahui kisah saya dengan Abah yang baru terjadi tadi siang.”
Pemuda tampan tersebut tersenyum dengan senyuman yang bisa membuat siapa saja yang melihat menjadi bahagia.
“saya adalah seorang hamba yang kisah hidupnya mirip dengan sampean.” Ahbib makin dibuat bingung dengan pemuda tampan di sebelahnya. Tapi di tengah kebingungan tersebut hatinya juga merasakan bahagia yang sangat, yang penyebabnya tidak di ketahui oleh Ahbib.
“maksud sampean bagaimana?” Tanya Ahbib kebingungan.
“Saya dahulunya adalah seorang sultan yang sangat kaya. Hidup saya selalu bergelimang harta dan kemewahan. Saya tidak pernah merasakan susah selama hidup. Tapi pada suatu hari ada suara tanpa rupa yang mengingatkan saya, bahwa bukan untuk hidup yang seperti itu, saya di ciptakan.”
Ahbib seperti mengenal kisah yang dipaparkan oleh pemuda tampan tersebut. Sepertinya dia pernah membaca cerita yang mirip seperti itu dalam salah satu kitab karangan imam Nawawi Banten. Ahbib mencoba mengingat-ingat. Kemudian mulutnya tiba-tiba bertanya, walaupun pertanyaan itu tidak masuk akal.
“Apakah sampean Ibrahim bin Adham?”
“iya, saya Ibrahim bin Adham.”
Jawaban pemuda tersebut membuat Ahbib bingung sekaligus terkejut. Bagaimana bisa di zaman ini ada orang yang mengaku bahwa dirinya adalah Ibrahim bin Adham. Di tengah kebingungannya, pemuda tampan di sebelahnya tiba-tiba menghilang, lenyap dari pandangan Ahbib. Ahbib memukul pahanya keras. ternyata dia merasakan sakit. Ia sadar bahwa ini adalah peristiwa nyata, bukan mimpi.
Ahbib segera mengetahui bahwa ini adalah pertanda sekaligus penyemangat yang Allah berikan untuknya. Ia bertekad untuk melakukan titah dari Abahnya sepenuh hati.
Beberapa jam kemudian Ahbib sampai di pesantrennya dan segera menuju ndalem mbah yai nurul huda untuk menemui beliau.
“lah, kok balik gus, bukanya sampean sudah lulus dan sudah pamit ke saya kemarin?” Mbah yai nurul huda menyambutnya dengan pertanyaan sarkastik. Tidak biasanya beliau seperti itu pada Ahbib.
“injih mbah yai, dalem diutus Abah balik dateng panjenegan” Ahbib menjawab dengan menunduk, tidak berani mengangkat kepalanya.
“oh, kalau begitu sampean tunggu sini, tunggu sampai saya datang” Kata mbah yai dengan muka datar. Kemudian beliau berlalu pergi menggunakan mobil.
Matahari sudah tenggelam di ufuk barat tapi tidak ada tanda mbah yai akan datang dan Ahbib masih setia menuggu. Pada hari esoknya pun mbah yai belum juga datang dan Ahbib masih menunggu tanpa mengeluh. Pada hari ketiga mbah yai datang dan menghampiri Ahbib yang masih setia duduk di tempat yang sama dengan posisi kepala tetap menunduk.
“gus, man Kirno seng biasa ngurus kandang sapiku wingi sedo”
“(gus, man Kirno yang biasa mengurus kandang sapi saya kemarin meninggal).” Mbah yai memulai pembicaraan.
“Injih mbah yai, dadose pripun?” Ahbib bertanya memastikan perintah apa yang akan ia terima.
“aku pingine sampean seng nggantikno man Kirno yo!”
“(aku pinginnya sampean yang menggantikan man Kirno ya!)”
“injih mbah yai, ndereaken”
Setelah mbah yai nurul huda memberikan titah, beliau berlalu masuk ke dalam kamarnya dan tidak pernah menemui Ahbib lagi.
Hari-hari Ahbib ia habiskan untuk memberi makan dan membersihkan kotoran ratusan ekor sapi mbah yai. Malamnya ia habiskan untuk istirahat, muthalaah serta bermunajat kepada Allah. Rutinitas tersebut ia lakukan setiap hari. Di samping itu ia juga melakukan riadlah puasa. Kemewahan dan pangkat sosial tinggi selama ini benar-benar ia lepaskan. Hingga ketika pengabdiannya genap tujuh tahun, mbah yai nurul huda yang selama ini tidak pernah menemuinya tiba-tiba memanggilnya. Ahbib pun segera bergegas menuju ndalem mbah yai nurul huda.
“gus, sampean nang kene wes cukup, saiki balio nang abahe. Lanjutno syiar abahe sampean. mugo-mugo sampean pinaringan ridho teko gusti Alloh.”
“(gus, sampean di sini sudah cukup, sekarang kembalilah ke Abahnya. Lanjutkan syiar Abah sampean. Semoga sampean mendapat ridla dari Allah).”
Mendengarnya Ahbib tak kuasa menitikkan air mata. Ia beringsut maju untuk mencium tangan mbah yai Nurul Huda. Mbah yai mencium ubun-ubunnya lama sembari melafalkan doa-doa. Persis seperti yang di lakukan Abahnya dahulu.
Perjalanan pulang ia tempuh menggunakan bus angkutan kota. Ketika sampai di depan lapangan parkir rumahnya yang berada di seberang jalan gang, ia turun dari bus. Melihat banyaknya mobil yang terparkir di sana membuat ia terheran-heran. Karena sepertinya hari ini tidak ada jadwal acara besar di rumahnya. Ahbib melangkah menuju rumahnya. Ketika sampai di pintu depan, ia makin terkejut karena ia di sambut oleh kiai Hasbullah – sahabat karib Abahnya. Beliau langsung memeluk Ahbib sambil menangis.
“sampean yang sabar yaaa gus.”
“ada apa yai?” tanya Ahbib bingung.
“abah sampean sudah kapundut.” Mendengar itu Ahbib tidak bisa berkata apa-apa. tubuhnya kaku, tangan dan kakinya bergetar hebat dalam pelukan Kiai Hasbullah. Ia hanya bisa menangis memasrahkan semua takdir yang telah di gariskan oleh Rob-Nya.
Esoknya, setelah upacara penghormatan terakhir untuk Abahnya, yang didatangi oleh ratusan ribu orang. Ahbib diajak bicara oleh Kiai Hasbullah. Di samping beliau ada seorang gadis menggunakan abaya hitam yang sangat cantik, berkerudung merah marun, kontras sekali dengan warna kulitnya yang kuning cerah. Gadis tersebut sangat cantik, mirip dengan muka kiai Hasbullah yang tampan. Ahbib langsung jatuh cinta ketika pertama kali melihatnya.
“gus, apakah sampean bersedia untuk menjadikan putri saya sebagai teman hidup? Seminggu sebelum Abah sampean berpulang beliau berpesan agar menyampaikan keinginannya, bahwa beliau ingin berbesan dengan saya. Guna menyambung silaturahmi.”
“kalau memang begitu dawuh dan keinginan Abah, saya berkenan. Izinkan saya untuk mempersunting putri Anda.” Ahbib menjawab dengan mantap.
Dua minggu Setelah percakapan singkat tersebut. Ahbib pergi menuju rumah Kiai Hasbullah bersama keluarga besarnya untuk meminang putri cantik beliau.
Setelah berbagai kesedihan dan perjalanan sulit yang ia tempuh ia akhirnya membina bahtera rumah tangga dengan bahagia. Ia di karuniai anak-anak yang menggembirakan. Dia menjalankan amanat yang di berikan oleh mbah yai Nurul Huda melanjutkan syiar Abahnya. Dan kini pesantren warisan K.H. Salman Al-Faris tersebut berkembang makin pesat dengan puluhan ribu santri di bawah asuhan kiai muda yang kredibilitas kealimannya sangat diakui yaitu K.H. Muhammad Ahbib Muhammada.
قال سيدنا محمد ابن العلوى المالكي المكىي الحسني:
ثبات العلم بالمذاكرة
وبركاته بالخدمة
ونفعه برضىى الشيخ