Oleh: KH. R Ahmad Azaim Ibrahimy
Tulisan ini disarikan dari pengajian Kitab Tafsair Jalalain oleh KHR Ahmad Azaim Ibrahimy. Membahas QS. Al-Hijr ayat 99. Mari kita simak selengkapnya
QS. Al-Hijr: 99
(وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ)
Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).
Ayat 99 dari Surat Al-Hijr di atas, secara tekstual, tertulis dalam Tafsir Jalalain sebagai berikut:
{واعبد ربك حتى يأتيك اليقين} الموت
(Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini) yaitu ajal.
Sembahlah Tuhanmu sehingga datang kepada engkau al-yaqinu, keyakinan, artinya kematian. Kenapa al-yaqin ditafsiri sebagai kematian? Karena kematian itu diyakini pasti terjadi dan menimpa seseorang.
Memang ada sebagian penafsiran yang melihat secara tekstual. Sembahlah Tuhanmu sehingga datang kepadamu keyakinan. Sholat saja terus meskipun belum mencapai derajat puncak keyakinan. Karena dengan terus melaksanakan sholat, pada akhirnya akan yakin.
Dengan terus melaksanakan shalat, pada akhirnya shalat akan membimbing untuk berhenti dari kemaksiatan. Karena ketika orang shalat, otomatis detik-detik disaat melaksanakan shalat, sudah terhenti dari kemaksiatan. Begitu takbiratul ihram tangannya sudah bersedekap, tidak lagi berpotensi untuk mencuri, tidak menulis kata-kata yang penuh kebencian. Sementara itu lisannya juga fokus dengan bacaan shalatnya.
Kalau kemudian durasi shalatnya diperpanjang tidak hanya yang lima waktu, katakanlah lima waktu ini menghabiskan sepuluh menit, maka ada lima puluh menit, waktu yang bebas dari maksiat. Masih ada sisa dua puluh tiga jam sepuluh menit yang berpotensi maksiat. Tapi kalau kemudian ada qobliyah–ba’diyah, berkurang lagi potensi maksiatnya.
Ada efek atau dampak positifnya, begitu shalat selesai, orang tidak ingin langsung berbuat maksiat, tapi masih merasakan aura dan energi positif. Maka beruntunglah kalau kemudian dibimbing oleh hidayah taufiq Allah dalam hitungan detik, menit, dan jam berikutnya, sudah menjadi orang yang terkontrol perbuatan, sikap, dan perkataannya hingga masuk waktu shalat berikutnya. Dengan demikian, durasi antara shalat sebelumnya ke shalat berikutnya aman.
Lihatlah sejarah. Bagaimana cara Allah membimbing umat jahiliyah masuk Islam. Sisa-sisa jahiliyah masih ada, sampai pada akhirnya bersihlah semua perilaku jahiliyah.
Misalnya tentang minuman khamr. Tidak langsung dilarang, tetapi diberi peringatan. Khamr itu ada manfaatnya, namun lebih besar mafsadatnya. Dalam ukuran tertentu, kandungan alkohol yang ada memang bisa memberikan manfaat untuk tubuh, tetapi dalam dosis yang berlebihan akan menjadi bencana bagi pikiran, akal, dan tubuh.
Lihat bagaimana di belahan dunia. Ada satu negara yang penduduknya terjangkit narkoba, maka tergeletak di trotoar dengan kondisi sakau. Ada yang terlentang, menungging, miring, dsb. Mereka seperti zombie, manusia tapi jiwanya sudah tidak ada.
Belum lagi terjadinya pembunuhan, perampokan, kekerasan, dsb. Semua itu terjadi karena faktor ketagihan khamr dan segala macamnya.
Kembali ke zaman jahiliyah. Beberapa sahabat memang tidak minum khamr. Ada yang masih minum khamr tapi dalam takaran, karena belum ada ketegasan ayat tentang larangannya. Lalu turun ayat:
لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنتُمْ سُكَارَىٰ
janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk (An-Nisa:43)
Maka dikurangi durasinya. Orang tidak lagi minum khamr menjelang waktu salat. Tidak minum khamr menjelang waktu zhuhur. Mungkin pagi hari dia masih minum khamr, tapi diatas jam sepuluh menghindar, karena khawatir kondisi mabuk sampai lepas waktu zhuhur. Zhuhur ke ashar pendek, maka otomatis dihindari, tidak minum khamr. Ashar ke maghrib lebih pendek lagi, maka aman dari minum khamr. Maghrib ke isya aman. Isya ke subuh, nah ini banyak orang minum khamr, karena dianggap durasi waktunya lama. Subuh masih bisa bangun dan shalat setelah pulih dari pengaruh minuman keras.
Begitu sampai pada kebiasaan minum khamr dengan menyiasati waktu sempit, maka turun:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Al-Maidah: 90)
Ayat di atas tegas. Sehingga seluruh kota Madinah dari rumah-rumah para sahabat banjirlah minuman khamr. Gentong-gentong berisi tuak dipecahkan sehingga lorong-lorong Madinah banjir minuman keras. Karena dulu, khamr itu seperti suguhan, ibarat teh atau kopi yang setiap ada tamu datang disuguhkan sebagai penghormatan.
Begitulah salah satu contoh bagaimana proses Allah mendidik umat. Maka beribadah pada-Nya adalah salah satu solusi untuk mencegah potensi perbuatan buruk.
Bagaimana dengan orang yang sama sekali tidak solat? Ya sudah, setanlah yang menguasai pikirannya. Terserah setan, akan diapakan orang kafir itu. Jangan heran ketika ada orang kafir terlihat baik-baik saja, padahal hidupnya sudah dikuasai musyrik kepada Allah, menyembah selain Allah.
Lihat bagaimana orang non-muslim kadang terlihat santun, ramah, dermawan, berperadaban, dsb. Semuanya terjadi karena setan sudah tidak peduli untuk mengganggu kebaikan-kebaikan itu. Inti dari kehidupannya sudah diambil, kunci surganya sudah dirampas.
Ada yang mengatakan, orang kafir justru berakhlak dan baik hati, tapi muslim sering bertengkar, mendengki satu dengan lainnya. Kata siapa? Perang dunia itu siapa yang memimpin?
Sementara kita sekarang diserang. Katanya Islam itu agama kasih sayang, tapi kenapa ada pedang? Ya, pedang itu adalah untuk membela diri. Pedang itu adalah untuk mengeluarkan tumor dalam tubuh umat ini. Sudut pandang berbeda itu adalah karena ke-yaqin-an. Wallahu a’lam.