Oleh:
Muzahidin Lukman (Redaktur dan Mahasiswa S3 Pengkajian Islam Bidang Ekonomi UIN Syahid Jakarta)
Judul di atas mungkin terasa aneh. Gus Dur, sapaan akrab Abdurrahman Wahid, disandingkan dengan kata ekonomi. Lazimnya, kata kunci yang mendampingi Gus Dur adalah plural, negara, bangsa, agama, moderat, politik, budaya, demokrasi, pendidikan, dan masih ada ragam kata lainnya. Kata ekonomi, jarang terdengar atau tertulis berdampingan dengan Gus Dur. Hal ini mengkonfirmasi apa yang disampaikan Greg Barton dalam Biografi Gus Dur bahwa Presiden RI keempat itu tidak begitu minat dengan persoalan hitung-hitungan ekonomi.
Bila demikian, apa maksud ekonomi Gus Dur? Secara sederhana dapat dimaknai sebagai percikan pemikiran, ide, konsep, atau gagasan ekonomi Gus Dur dan praktik atau kebijakan ekonominya saat menjabat presiden.
Pemikiran ekonomi Gus Dur
Dalam suatu sistem ekonomi tercakup nilai-nilai, kebiasaan, adat istiadat, hukum, norma-norma, aturan-aturan berikut kesepakatan akan tujuan bersama serta otoritas dan kekuasaan untuk mengerahkan sumber daya yang ada untuk tujuan bersama. Sistem perekonomian yang dianut oleh suatu bangsa (negara atau sekelompok masyarakat) tergantung dari doktrin, mazhab, atau aliran pandangan ekonomi, yang pada gilirannya juga dipengaruhi oleh seperangkat nilai (set of values) yang dianut oleh bangsa atau kelompok masyarakat tersebut (seperti adat, kebiasaan, norma-norma, kepercayaan, ideologi, falsafah). Demikian juga seorang Gus Dur, juga mempunyai gagasan sistem ekonomi yang diimplementasikan pada saat menjabat Presiden Republik Indonesia pada kurun 1999-2000.
Abdurrahman Wahid memiliki concern dalam ranah ekonomi. Terbukti dengan keterlibatannya di LP3ES bersama Dawam Rahardjo. Gus Dur membaca buku-buku dan melihat fakta tentang ketimpangan ekonomi yang terlalu dalam antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Gus Dur berusaha menemukan solusi, ia ingin mengkonsolidasikan masyarakat ekonomi lemah supaya mampu meningkatkan kemampuan ekonomi mereka.
Banyak hal dalam ekonomi yang dikupas oleh Gus Dur. Sesekali Gus Dur seolah mendukung salah satu pokok pikiran sistem ekonomi sosialis, terkadang mengkritik juga, disertai memuji sistem kapitalis, meskipun dalam waktu yang bersamaan pula melakukan kritik habis-habisan terhadap kapitalis. Selain sistem ekonomi kapitalis dan sosialis, tentu sistem ekonomi Islam tidak luput dari perhatiannya, baik komentar positif maupun komentar negatif jika menurut Gus Dur dipelukan. Hal ini terlihat dalam beberapa tulisannya.
Dalam beberapa tulisan lainnya, Gus Dur menyebut bahwa kemaslahatan umum (maslahah al-ammah) merupakan orientasi dan maksud dari syariat Islam (maqasid al-syariah) yaitu memelihara dan menjaga terpenuhinya unsur-unsur kepentingan publik.
Nilai-nilai kemaslahatan publik inilah yang menjadi tumpuan pemikiran Gus Dur. Hal ini sejalan dengan pemikiran yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873) yang disebut dengan paradigma utilitarianisme. Utilitarianisme termasuk dalam kelompok filsafat etika, disamping terdapat aliran-aliran lainnya seperti natularisme, hedonisme, idealisme, vitalisme, dan etika teologis. Utilitarianisme dipahami sebagai pandangan tentang sebuah tindakan yang secara moral dapat benar atau salah tergantung dari konsekuensi tindakannya untuk kebahagiaan manusia.
Mencermati latar belakang pemikiran Gus Dur dapat ditelusuri dari tradisi intelektual pondok pesantren yang kosmopolit. Sebab, tradisi intelektual pondok pesantren selalu bergumul dengan pemikiran ulama internasional dari kitab-kitab yang dibacanya. Artinya, membaca kitab berarti membaca tradisi dan sejarah dunia, khususnya dunia Islam. Sehingga wajar, jika Gus Dur punya pola pikir yang kosmopolit dan mendunia. Kegemaran mengembangkan pola pikir yang universal, yang dimulai sejak kecil sampai pada usia muda, kemudian bersentuhan dengan pemikiran dan peradaban Barat, membuat Gus Dur intens dalam pergumulan pemikiran.
Khazanah pemikiran Gus Dur mengakomodir dua pendekatan, yaitu tekstual dan kontekstual. Antara tekstual dan kontekstual perlu dirumuskan dengan baik, kapan nash diambil teksnya dan kapan dipahami konteksnya.
Pertama, nushus nash (pendekatan literal); dalam menggunakan nash lebih terfokus pada hal-hal yang bersifat ibadah makhdlah dan persoalan teologi. Sedangkan dalam kemasyarakatan, Gus Dur lebih menggunakan pendekatan kontekstual.
Kedua, ruhun nash (pendekatan kontekstual); pendekatan yang tidak hanya mengambil makna teks, tetapi lebih banyak mengambil substansi atau nilai-nilai yang terkandung dalam nash. Hal ini didasarkan pada realitas kehidupan yang dinamis, sehingga muncul kaidah:
النصوص إذا كانت متناهية والوقائع غير متناهية وما لا يتناها لا يضبطه ما يتناها علم قطعا أن الإجتهاد والقياس واجب الإعتبار حتى يكون بصدد كل حادثة إجتهاد
“nash itu terbatas, sedangkan perkembangan kontemporer terus dinamis”.
Tentang ekonomi Islam, Abdurrahman Wahid berpandangan bahwa tidak ada teori tentang ekonomi Islam, yang ada adalah etika atau moral ekonomi yang dilandasi pada nilai-nilai ajaran Islam.
Dalam kaidah fiqh disebutkan:
تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة
“kebijakan dan tindakan pemimpin atas rakyat yang dipimpin harus sejalan dengan kemaslahatan mereka”.
Ungkapan di atas berlaku juga dalam kebijakan bidang ekonomi. Orientasi ekonomi harus memperjuangkan nasib rakyat kecil serta kepentingan orang banyak. Hal ini, dalam bahasa Arab disebut maslahah yang diterjemahkan dengan sejahtera. Adapun dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, masyarakat sejahtera dirumuskan sebagai masyarakat adil dan makmur.
Masalah ekonomi khususnya dalam perspektif fiqh mendapat perhatian Gus Dur karena berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Ia menekankan orientasi ekonomi mengarah pada keadilan, kemaslahatan, dan kemakmuran bersama. Menurutnya, orientasi itu menjadi penting dalam konsep ekonomi.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa selain terlihat sepak terjangnya dalam ranah toleransi, pembelaan terhadap kaum lemah, dan lain-lain, Gus Dur juga memiliki kepedulian terhadap ranah ekonomi rakyat kecil. Gus Dur meyakini, bahwa stabilitas dan legitimasi eksistensi negara secara politik, dan bahkan eksistensi individu, itu juga harus ditopang dengan kemapanan ekonomi.
Kebijakan ekonomi Gus Dur
Secara singkat, ketika memimpin pemerintahan RI pada 1999 – 2001, sumbangan Gus Dur terhadap pemikiran dan tindakan ekonomi dapat digambarkan misalnya: pemikiran tentang Islam yang mengedepankan prinsip “keadilan” yang dapat menjawab problematika klasik globalisasi, kemudian memiliki pandangan bahwa sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi pancasila atau ekonomi ala Indonesia sejatinya sudah sejalan.
Selain itu, juga mengkritik syariatisasi perbankan, karena pada prinsipnya selama masyarakat Islam masih melangsungkan kultur Islam, maka tidak perlu mati-matian mengupayakan lembaga-lembaga yang dianggap mewakili Islam. Selanjutnya, tidak mempermasalahkan dikucurkannya permodalan untuk rakyat kecil dengan bunga rendah, kemudian konsep bahwa pemimpin haruslah memiliki motivasi untuk mengembangkan pemberdayaan masyarakat, serta memikirkan pentingnya kedudukan keadilan sosial dan meratanya distribusi pendapatan.
Saat itu Gus Dur menghadapi dua permasalahan utama dalam implementasi program reformasi. Pertama, program tersebut mencakup sejumlah isu yang timbul dari persyaratan reformasi struktural. Kedua, kapasitas pemerintah untuk mengimplementasikan program cenderung terbatas, dikarenakan persoalan seperti kurangnya koordinasi antara menteri-menteri ekonomi serta konflik antara pemerintah dengan Bank Indonesia yang baru mendapatkan status independen. Birokrasi pun dipenuhi ketidakpastian akan arah proses reformasi ekonomi ke depan. Selain itu, desentralisasi (otonomi daerah) serta memburuknya hubungan pemerintah dengan parlemen juga membuat reformasi ekonomi pada periode ini kurang berjalan mulus.
Gambaran kondisi tersebut dijawab oleh sejumlah kebijakan dan capaian Gus Dur dalam bidang ekonomi adalah: melawan tekanan IMF, perekonomian tumbuh positif untuk pertama kali sejak reformasi, dan ketimpangan turun.
Pertumbuhan ekonomi yang berada di minus 3 saat ditinggalkan Presiden Habibie, tumbuh hingga ke 4,9 persen di tahun 2000. Yang lebih penting, pertumbuhan ekonomi ini dibagi merata. Sebelum krisis ekonomi 1997, indeks ketimpangan atau rasio gini sangat tinggi. Gus Dur yang tak menginginkan kesenjangan jadi akar konflik sosial, berhasil menurunkan rasio gini hingga 0,31, atau terendah dalam 50 tahun terakhir. Terdekat dengan pencapaian ini hanya era Soeharto pada 1993 dengan gini ratio 0,32. Bedanya, Soeharto perlu 25 tahun untuk menurunkan gini ratio hingga ke angka 0,32 (1993). Sedangkan Gus Dur hanya perlu kurang dari dua tahun untuk menurunkan koefisien gini ratio dari 0,37 (1999) ke 0,31 (2001).
Lebih lengkapnya kebijakan ekonomi masa pemerintahan Gus Dur diantaranya adalah: menaikkan pertumbuhan ekonomi, menurunkan angka kemiskinan, utang luar negeri turun, sedangkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Kemudian berhasil melakukan dua kali growth sehingga mengurangi beban utang negara sebesar 4,15 milar USD, melaksanakan optimum debt management, contohnya dengan teknik debt to nature swap yang menukar utang dengan kewajiban pelestarian hutan, dan mendapat berbagai dana hibah sehingga dapat mengurangi utang negara.
Tingkat inflasi saat pemerintahan Gus Dur terhitung rendah dikisaran 5% setahun. Saat itu juga memberikan kredit lunak bagi pelaku usaha ekonomi mikro, memberlakukan hukum pajak yang lebih ketat bagi kalangan elit, dan melaksanakan growth story yang mengakibatkan naiknya ekspor Indonesia.
Kebangkitan sektor properti juga dirasakan saat pemerintahan Gus Dur. Dalam periode itu juga menerbitkan beberapa program nasional yaitu pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, perbaikan lingkungan rumah tinggal, subsidi air bersih, kompensasi kenaikan harga BBM dibidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan angkutan umum. Kemudian menjaga harga beras tetap stabil, sedangkan petani tetap memperoleh kesejahteraan yang layak karena pemerintah melalui Bulog membeli beras bukan gabah, dalam dua tahun pemerintah tidak melakukan impor beras.
Perlindungan terhadap konsumen minyak dalam negeri dengan cara menstabilkan harga sawit, juga menjadi kebijakan Gus Dur. Selain itu, membuat kebijakan kelautan dan kemaritiman, memberikan perlindungan pada rakyat kecil, seperti kasus petani cengkih yang dikembalikan haknya untuk dapat menjual cengkih secara langsung tanpa perantara.
Dalam kebijakan internasional, melakukan kunjungan luar negeri dengan tujuan menguatkan ekonomi Indonesia, menggaet investor.
Beberapa kebijakan ekonomi tersebut mencerminkan keberpihakan Abdurrahman Wahid kepada kemaslahatan umum. Gus Dur melihat bahwa agama harus dipahami sebagai ajaran yang membawa kepada perubahan yang lebih baik dan kesejahteraan bagi umat manusia (al-maslahah al-‘ammah) dan bukan sebaliknya, ajaran yang hanya menguntungkan pribadi dan kelompok tertentu sehingga agama dipakai sebagai tameng dalam melanggengkan kekuasaan dan penindasan.
Untuk Gus Dur, Al-fatihah ……
–Diolah dari beragam sumber–