Mbah KHA Wahab Hasbullah dan Mbah KH Bisri Syansuri adalah teman baik ketika nyantri di Pesantren Syekhona Kholil di Bangkalan dan nyantri di Mekah. Seperti kita ketahui, Kiai Wahab berasal dari Jombang, Jawa Timur dan Kiai Basri berasal dari Tayu, Pati, Jawa Tengah.
Kiai Bisri secara usia lebih tua. K.H. Abdul Wahab Hasbullah lahir 31 Maret 1888 dan wafat 29 Desember 1971. Kiai Bisri Syansuri lahir 18 September 1886 dan wafat 25 April 1980. Usianya hampir terpaut dua tahun, Keduanya tercatat sebagai tokoh penting Nahdlatul Ulama (NU) baiuk ketika menjadi Jamiyyah dan partai politik.
Kiai Wahab mengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum yang didirikan Kiai Shihhah, kakek Mbah Wahab. Sementara Mbah Bisri merupakan pendiri Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif, Denanyar. Ia adalah pendiri pesantren itu.
Hubungan yang sangat baik itu membuat Kiai Wahab tidak ingin kehilangan Mbah Bisri. Karena itu Mbah Bisri dinikahkan dengan adik Mbah Wahab, Nur Khadijah bint Hasbulah. Mbah Wahab tidak ingin Mbah Bisri jatuh ke tangan orang lain, karena tahu Mbah Bisri adalah Mutiara yang langka.
Setelah menikah Mbah Bisri memboyong Nyai Nur Khadijah ke Denanyar, sebuah desa di pinggiran kota Jombang yang berjarak sekitar 6 kilometer dari Tambak Beras, tempat Kiai Wahab tinggal. Jarak itu sekarang semakin dekat setelah dibuka jalan baru yang menghubungkan Tambak Beras dengan Denanyar.
Denanyar kemudian menjadi pesantren wanita pertama di Indonesia karena didirikan pada tahunj 1917, setelah menikah dengan restu KH Hasyim Asy’ari dan tentu saja KH Wahab Hasbullah. Sebagai perbandingan, Madrasah Diniyah Puteri Padang Panjang, Sumatera Barat didirikan tahun 1923.
Hubungan itu semakin baik dengan cara saling mengirim makanan, baik antara Nyai Wahab dengan Nyai Bisri. Bahkan hubungan ini tidak terpengaruh meskipun Nyai Nur Khadijah meninggal dunia dan Mbah Bisri menikah lagi.
Kiai Bisri sewaktu nyantri di Bangkalan dan Mekah memiliki sahabat bernama Kiai Mahmud Shiddiq yang memiliki puteri bernama Nadzifah, janda dengan seorang anak satu. Kiai Bisri kemudian menikahi Nadzifah tahun 1950-an.
Nadzifah melanjutkan semangat Nyai Nur Khadijah dalam menghidupkan dan mengembangkan pesntren yang semakin besar. Begitu juga hubungannya dengan Kiai Wahab. Nadzifah adalah anak sahabat Kiai Wahab juga. Pula, Bunyai Wahab yang terakhir berasal dari Bangil yang masih memiliki hubungan kekerabatan.
Bahkan hingga dua ulama itu menjadi pejabat tinggi negara hubungan itu semakin baik. Kiai Wahab menjadi nanggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung) dan Kiai Bisri menjadi anggota DPRRI. Pada tahun-tahun sebelum Gestapu 1965 meletus, Kiai Wahab selalu mengajak Kiai Bisri ke Jakarta dengan mobil Opel Kapitan buatan Jerman tahun 1960 bewarna biru tua. Mbah Wahab duduk di depan bersama supir, dan di belakang Mbah Bisri, Nyai Nadhifah dan Nyai Wahab.
Pada giliran makan, cerita KHA Roqib Wahab, Mbah Wahab mengajak Mbah Bisri dan Nyai Nadizah makan di restoran. Kiai Bisri selalu menolak. Nyai Nadzifah ikut Kiai Bisri, menolak. Keduanya minta dibungkus dan akan memakannya di dalam mobil.
Alasanya, “Man Bisri dan Bik Nadfifah tidak suka makan dilihat orang,” kata Kiai Roqib, putera bungsu Mbah Wahab itu.
Mbah Bisri dan Nyai Nadifah akhirnya makan di mobil. Dan ketika mobil berhenti karena lampu merah, beberapa orang secara tidak sengaja melihat Kiai Bisri yang tengah makan.
Kiai Wahab tersenyum. “Bisri, ternyata biar di dalam mobil juga ada yang melihat,” seloroh Mbah Wahab kepada Mbah Bisri. Mbah Bisri yang serius itu hanya tersenyum.
Mbah Wahab mafhum bahwa Mbah Bisri adalah orang yang sangat berhati-hati dalam menjaga diri, yang dalam bahasa santri disebut wirai. Mbah Wahab sebenarnya sama namun cara berwirai yang berbeda. (MH)