RISALAH NU ONLINE, JAKARTA – Jelang pemilihan umum (pemilu) yang bakal digelar besok, Rabu 14 Febuari 2024, Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof Dr Asrorun Niam Sholeh mengajak semua pihak untuk menjaga kondusifitas.
Prof Niam menambahkan, hal ini untuk mewujudkan pemilu 2024 yang damai dan bermartabat sesuai dengan tujuan bernegara.
“Pemilu merupakan instrumen untuk mewujudkan tujuan bernegara, yang di antaranya adalah mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan umum,” kata Prof Niam seperti dilansir dalam laman Mui digital, Selasa (13/2/2024).
Prof Niam menekankan, menjaga kondusifitas menjelang pemilu bertujuan untuk mewujudkan pesta demokrasi yang damai, adil, jujur dan bermartabat.
Selain itu, kata Guru Besar Ilmu Fikih Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, menjauhkan dari perilaku yang curang, intimidatif, koruptif dan tindakan melanggar hukum lainnya.
Lebih lanjut, Prof Niam mengingatkan masyarakat untuk memberikan hak pilihnya secara baik dan bertanggung jawab dalam mewujudkan kepemimpinan publik yang baik.
“Karenanya, memilih pemimpin yang mampu menjaga agama dan mampu mengurusi urusan masyarakat, kebangsaan dan kenegaraan hukumnya wajib,” tegasnya.
Sebaliknya, Prof Niam menegaskan, para pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golput, kemudian terpilih pemimpin yang dzalim dan tidak kompeten, maka tindakan itu haram dan berdosa.
Ketua MUI Bidang Fatwa ini menjelaskan, dalam memilih pemimpin harus didasarkan pada pertimbangan kompetensi untuk mengemban amanah kepemimpinan agar mewujudkan kemaslahatan.
“Setelah mendengar visi misi calon dalam masa kampanye, saatnya kita kontemplasi dan memilih sesuai hati yang jernih, meminta pertolongan Allah SWT agar diberi pemimpin yang shidiq atau jujur, yang amanah atau dapat dipercaya,” kata Prof Niam.
Prof Niam menambahkan, dalam memilih pemimpin juga didasarkan pada yang tabligh atau kemampuan eksekusi, serta yang fathanah atau memiliki kompetensi.
Oleh karena itu, Prof Niam menegaskan, tidak boleh memilih pemimpin didasarkan kepada sogokan atau pemberian harta semata. “Orang yang akan dipilih atau yang mencalonkan diri juga tidak boleh menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih, seperti menyuap atau dikenal serangan fajar hukumnya haram,” jelasnya.
Prof Niam menegaskan, praktik tersebut yang dikenal dengan serangan fajar hukumnya haram bagi pelaku maupun penerimanya. Guru Besar Ilmu Fikih Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta ini mengungungkapkan, para pelaku dan penerima serangan fajar juga hidupnya tidak akan pernah berkah.
Hukum Serangan Fajar
Prof Niam menyampaikan, Majelis Ulama Indonesia juga telah menetapkan Fatwa tentang Hukum Permintaan dan atau Pemberian Imbalan atas proses pencalonan pejabat publik.
Penetapan fatwa tersebut dalam Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia di Kalimantan Selatan pada 2018. Berikut isi ketetapan fatwa tersebut:
1. Suatu permintaan dan/atau pemberian imbalan dalam bentuk apapun terhadap proses pencalonan seseorang sebagai pejabat publik, padahal diketahui hal itu memang menjadi tugas, tanggung jawab, kekuasaan dan kewenanganya hukumnya haram, karena masuk kategori risywah (suap) atau pembuka jalan risywah.
2. Meminta imbalan kepada seseorang yang akan diusung dan/atau dipilih sebagai calon anggota legislatif, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan publik lain, padahal itu diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangannya, maka hukumnya haram.
3. Memberi imbalan kepada seseorang yang akan mengusung sebagai calon anggota legislative, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan public lain, padahal itu diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangannya, maka hukumnya haram.
4. Imbalan yang diberikan dalam proses pencalonan dan/atau pemilihan suatu jabatan tertentu tersebut dirampas dan digunakan untuk kepentingan kemaslahatan umum. (hud/rls)