Kota Ashkelon atau Asqalan adalah kota tua yang bayak menyaksikan peristiwa sejarah sejak nabi-nabi. Ashkelon adalah kota kecil indah di utara Gaza dan di selatan Ashdod. Kota pantai ini memiliki jarak sekitar 75 kilometer ke Jerussalem. Warga di sini acap sebulan sekali menunaikan salat di Masjidil Aqsha dengan menaiki keledai.
Mereka bangga karena Asqalan pernah disebut dalam sebuah daisth Rasulullah: “Awal urusan ini adalah kenabian dan rahmat, kemudian berikutnya kekhilafahan dan rahmat, kemudian berikutnya kerajaan dan rahmat, kemudian berikutnya pemerintahan dan rahmat, kemudian mereka saling merebutnya sebagaimana gigitan keledai, maka wajib bagi kalian untuk berjihad, dan sesungguhnya sebaik-baik jihad kalian adalah ribath (terikat), dan sebaik-baik ribath adalah di ‘Asqalan”.
Di wilayah Asqalan dan Gaza ini terdapat makam Sayidina Hasyim, buyut Rasulullah. Juga di sini tempat dilahirkan Imam Syafi’i RA. Banyak ulama lahir di kota ini sejak dibukanya Jerussalem menjadi wilayah Islam oleh Khalifah kedua Sayidina Umar bin Khattab.
Sebagai kota pantai yang menjadi pintu gerbang niaga dan budaya, kota ini menjadi kota yang hidup yang membawa serta cara hidup negara lain. Hammad, seorang pemuda miskin menjadi pemungut cukai tidak resmi. Orang di sini menyebutnya tukang palak setiap barang masuk dan keluar dari Asqalan. Tak ada yang berani termasuk gubernur Asqalan karena Hammad memiliki pasukan pemuda yang siap mati membela tuannya.
Namun, pada Jumat, 30 Syakban tahun 335 atau bertepatan dengan 30 Maret 947, kota ini ‘digemparkan’ dengan kehadiran pemuda geng Hammad yang memasuki masjid Asqalan dengan mengenakan baju serba putih dan menutup kepala mereka dengan surban. Mereka kenakan wewangian dan merapikan janggut dan kumis mereka seolah hendak menikah.
Abu Diyab, laki-laki pemberani kota itu menolak mereka masuk masjid. “Jangan membuat onar di masjid,” katanya kepada salah satu anggota geng Hammad.
“Tidak. Kami justru ingin bertobat,” kata anak muda itu sambil menarik Hammad untuk membelanya.
“Benar Tuan Abu Diyab kami ini hendak bertobat.”
Abu Diyab melepas pegangannya dan membiarkan mereka masuk dan memilih saf terdepan sehingga bisa berhadapan langsung dengan khatib dan imam. Mereka menyisakan tempat untuk takmir majid dan muazzain. Kini ia bisa berhadapan langsung dengan sang khatib, ulama besar Asqalan, Syekh Yazid Al-Asqalani.
Ibu Hammad, Hanna sempat heran melihat perubahan Mahmad yang serta merta mencari jubah putih peningalan ayahnya. Tak seperti biasa, ia mencium tangan ibunya sebelum ke masjid. Hanna, sang ibu hanya bisa menatap aneh.
Siapa tak kenal Mahmad yang hiduonya hanya untuk bermabuk-mabukan, bermain judi dan malak siapa saja. Berkali-kali ia menikmati hukuman kurungan dan cambuk dari gubernur. Tapi, tak mempan untuk bisa mengubahnya. Lingkungan Hammad sehari-hari adalah sekumpulan anak muda yang kotor. Tapi, kali ini mereka seperti tersadar untuk bergerak ke masjid.
“Jika kalian semua tahu keutamaaan yang ada pada bukan Ramadhan maka niscaya kalian semua akan berharap seluruh tahun ini Ramadhan,” kata Syekh Yazid mengutip sebuah hadis.
Ia bercerita tentang seorang ulama besar murid Imam Abu Hanifah yang bernama Daud At-Thai. Dia sorang ulama besar. Bahkan seorang ulama menyebut, jika saja Daud hidup di zaman nabi-nabi Bani Israel tentu kehidupannya akan dikisahkan Allah. Daud yang wafat tahun 165 Hjiri atau 781 ini pada awal Ramadan 163 bermimpi bahwa ia memasuki surga. Dia duduk di tepi telaga yang indah. Cuaca sejuk. Ia melihat bidadari-bidadari cantik bercanda riang. Belum pernah ia melihat wanita secantik ini.
Daud kemudian membaca: Lailaha ilallah Muhammadur Rasulullah. Para bidadari berhenti bercanda dan ikut membaca kalimat yang sama.
“Siapakah kalian?”
Serempak mereka menjawab, “Kami diperuntukan bagi oang yang senantiasa bertahmid kepada Allah, puasa, rukuk dan sujud selama bulan Ramadan.” Ini, kata Syekh Yazid, mengingatkanku pada sebuah hadis bahwa surga itu merindu kepada empat kelompok: pembaca Al-Quran, orang yang senantiasa menjaga lisannya, orang yang suka memberi makan orang lapar dan mereka yang puasa di bulan Ramadan.”
Jelasnya, kata Syekh Yazid, sejak nanti malam kita laksanakan salat tarawih bersama, dan nanti malam mulai sahur dan besok kita berpuasa yang menjadikan dosa-dosa kita diampuni Allah. Allah menyediakan surganya untuk kita yang puasa Ramadhan.
Tangis Ramadhan
Hammad dan teman-temannya menitikkan air mata mendengar Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka.
Sejak salat Jumat Hammad sudah tidak lagi pulang ke rumahnya. Ia lebih asyik di masjid. Ia mencoba mengulang kemampuannya membaca ayat suci Al-Quran. Ternyata masih ada ingatan cara baca yang benar. Ia banyak membaca istigfar, salat, zikir, tahlil, tasbih dan takbir.
Usai Asar ia pulang manemui ibunya Hanna.
“Ummi, aku minta maaf atas semua kesalahan dan kelakuanku,” katanya.
Umi Hanna memeluknya erat. “Allah menerima tobatmu di bulan yang suci ini.”
Sejak azan magrib dikumandangkan ia sudah menuju masjid kota dan menunaikan salat tarawih. Ia tak cukup mengikuti jemaah masjid yang bertarawih 20 rekaat, ia menuju musalla rumah seorang alim yang biasa melaksanakan salat tarawih dengan mengkahatamkan Al-Quran setiap malamnya salat 100 rekaat.
Hammad baru mereasakan keindahan hidup. Ia berterima kasih diberi kesempaan bertobat dan mereguk rahmat Ramadhan. Demikian juga teman-teman gengnya yang juga mulai bertobat.
Hammad hanya sahur dengan tujuh butir korma dan beberapa teguk air Zamzam yang didatangkan dari Mekah selama blan Ramadhan. Sejak subuh hingga siang ia tingal di masjid, iktikaf. Air matanya mencucur. Ia menyesali kehidupan hampa selama ini yang dibugkus kesenangan.
Sore hari ia mendengarkan pengajian kitab Al-Muwatha’ yang diasuh sorang ulama kenamaan kota Gaza. Senja itu ia berbuka korma tujuh butir dan air madu segelas. Kembali ia menekuni ibadah malam haru.
“Engkau tidak pulang nak?” tanya Umi Hanna.
Hammad menggeleng. Ia lebih suka tinggal di masjid. Ia berjanji pulang besoknya.
Yang ibu, Hanna menitikkan air mata menatap Hammad yang berubah.
Umi Hanna sangat kaget ketika seorang dari masjid mengabarkan bahwa Hammad meninggal di masjid. Ia tak kuasa menangis karena tersekat dengan kebahagiaan yang bakal dialami sang anak semata wayangnya. Banyak orang yang menyalatinya.
Malam hari Ummi Hanna bermimpi melihat Hammad mengenakan banju bagus dan dikeliling bidadari.
“Apa yang dilakukan Tuhan kepadamu?” tanya Umi Hanna.
“Allah mengampuni semua dosaku berkat Ramadhan dan menempatkanku di surge-Nya terindah.”
Dikutip bebas dari Duratun Nashhin karya Syekh Usman bin Hasan Al-Khubuwi (ulama abad 13) terbitan Thaha Putra, Semarang, halaman 8. (Musthafa Helmy)