Dan…, Ribuan “Syamsul” pun Bermunculan
Dan…, Ribuan “Syamsul” pun Bermunculan
Namanya, Syamsul Arifin. Perawakan tidak terlalu tinggi. Kulit coklat. Lengan berisi. Bisep penuh. Suara bertenaga. Sudah lebih 10 tahun ia mengejar aliran riyal ke tanah Ibn Saud.
Senin pagi saat sarapan, Senin (10/5), ia melempar senyum. Menyapa rekannya sesama anggota Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH). Para PPIH punya jadwal sarapan di lantai 5 daerah kerja (daker) Makkah. Kawasan Syisa.
Dari cara dan dialeknya menyapa, tidak sulit untuk menebaknya dia berasal dari mana. “Madura”. Ya dari “Pulau Garam”. Di Indonesia, suku ini lagi viral. Jadi bahan perbincangan. Dari pengusaha berkelas hingga pedagang kopi. Gara-garanya “Maduramart”.
Warung kelontong yang diplesetkan sebagai “mart” sebagaimana kakak tua mereka, Alfamart dan Indomaret. Duo minimarket yang dalam dua dekade terakhir menyebar bak jamur. Membelit dan membuat warung kelontong terpaksa menyingkir atau terbenam perlahan.
Dari jalan-jalan ibu kota hingga lingkungan perumahan kelas RS dan RSS–rumah sederhana dan rumah sangat sederhana. Kini, hegemoni mereka mendapat saingan. Warung Madura. Warung yang berdenyut sepanjang waktu. 24 jam tiada henti. Hingga duhur menjelang kiamat; kelakar mereka.
Bakat dan naluri “bertahan hidup” mereka luar biasa. Di mana ada lentera, ke situ “madura-madura” ini berdatangan. Satu satu. Lama-lama menggurita. Lama-lama membentuk kampung. Kampung besar. Kampong Madureh.
Dikirim ke Kampung
Syamsul, nama sapaannya, mengaku memang mengejar remah-remah riyal. Ditabung. Dikirim ke kampung. Dan membangunnya jadi sentra kehidupan baru. Saat MCH Mekkah bertanya, ia lupa kapan tepatnya lahir. Tawanya berderai bagai cemara. Terbang bersama ribuan burung merpati.
“Biasa, Pak. Tahunya ya pas mau kerja ke sini,” kata pemuda asal Konang, Blega, Bangkalan, Madura ini. Ya pas buat paspor itu, katanya. Tanya orang tua, cuma dijelaskan tanda-tandanya. Tapi tahunnya tidak tahu.
Syamsul mengaku sangat tertarik jadi anggota PPIH. Dia mendengar informasi soal “temus” (tenaga musiman) haji, sejak beberapa tahun lalu. Banyak temannya sesama TKI sudah melakukannya.
Setelah tanya sana-sini Syamsul mencoba peruntungan, mendaftar. Motivasinya; tulus ikhlas ingin membantu jemaah haji. “Kauleh (saya) senang waktu diterima jadi PPIH. Sudah lama ingin tolong-menolong. Biar ndak cuma cari péssé (duit) di Arab, Pak,” katanya.
Bagi Syamsul dan teman-temanya, kabar kian banyaknya jemaah berkategori lansia dari Indonesia, malah makin besar harapan agar dapat terlibat. Tatapannya berkobar. Ada nyala tak kunjung padam di dua bola matanya.
Ia teringat orang tuanya yang sudah sepuh, tetangganya yang renta, dan sering dadanya bergemuruh setiap menonton televisi. Dari tabung kaca itu atau dari kanal di youtube, ia membayangkan alangkah senang jika dapat berkontribusi bagi Indonesia di musim haji, dengan tugas apa pun.
“Apalagi saya dapat tugas bawa mobil. Sudah biasa sejak belasan tahun di Jidda (Jeddah) saya jadi sopirnya guru,” ujar Syamsul. “Jadi, pas lolos test, saya bersyukur. Bisa nolong jemaah haji,” tuturnya riang gembira.
Di sana, di sejumlah jenis layanan lain, dari Madinah hingga bandara, dari kloter hingga embarkasi, terdapat ribuan “Syamsul” lain. Bersuka cita. Bersenang gembira. Bertekad membantu jemaah haji Indonesia. Jemaah haji yang riang gembira.
Dan, ribuan Syamsul pun bermunculan bak Maduramart di jantung kota-kota di Indonesia. Seperti namamu yang berarti “matahari”; maka “jangan redup sinarmu, Syamsul! Terangilah jalan-jalan hujjaj agar memperoleh derajat “haji mabrur” dengan ketulusanmu! Kalian telah membantu para tamu Allah menera doa-doa yang puluhan tahun mereka eja.
Terima kasih, Mas Syamsul. Indonesia bangga dengan kehadiran kalian. Teruslah menyala! Salut!
(Ishaq Zubaedi Raqib — MCH Daker Makkah)