Oleh: Riadi Ngasiran
Nahdliyin Journalist cum Historian.
“Pengertian Revolusi bagi kita bersumber pada kepertjajaan kepada manusia untuk kreatif, untuk berdjuang ke arah perbaikan kondisi hidupnja, untuk mentjiptakan hal2 jg baru jang lebih baik.”
…
“Disitulah letak kepertjajaan kita kepada manusia. Itulah sebabnja kita tetap memegang diktum bahwa dalam Revolusi ini kita tidak memerangi manusia, ttapi memerangi stelsel jang memelenggu manusia untuk menjalurkan kreativitasnja.”
Membongkar koran lama, kebetulan kita jumpai tulisan Goenawan Mohamad di Duta Masjarakat (DM) edisi Minggu, 29 Maret 1964. Saya terperangah dengan tulisan berjudul “Revolusi & Kepertjajaan Kpd. Manusia”
Tulisan dimuat di halaman II pada rubrik “Muara” lembaran sastra, seni dan budaya, diasuh H. Drs. Asrul Sani, Usmar Ismail, Misbach J. Biran, Abdurrachman, serta Chaidir Rachman (sekretaris). GM — demikian panggilan akrab Penyair Pariksit –menulis pada masa ketika Surat Kepercayaan Gelanggang dan Manifes Kebudayaan mendapat rival mengganyangan kelompok Realisme Sosialis dengan figur terkemuka Pramoedya Ananta Toer dan para pendukung Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pada sudut kiri bawah, terdapat artikel “Fak. Sastra Universitas Indonesia Bantah Tuduhan Sarang Manikebu”, mencerminkan ketegangan dan polemik yang berlangsung seru, bahkan terjadi (dalam istilah Pramoedya A. Toer), “ganyang” mengganyang, berarti saling serang.
Nada renungan GM dipengaruhi Muhammad Iqbal — mengingatkan pada ikhtiar GM, bersama Taufiq Ismail dan Ali Audah, dalam menerjemahkan Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam (The Reconstruction of Religious Thought in Islam). Ia pun mengutip falsafah bersumber dari hadits Nabi Muhammad s.a.w. yang menyebutkan: “Tumbuhkanlah dalam dirimu sifat-sifat Tuhan” serta “Barangsiapa mengenal dirinya sendiri, ia berarti mengenal Tuhan”.
GM menyampaikan penafsiran terhadap hadits tersebut: suatu kepercayaan penuh pada manusia bahwa pada dasarnya manusia itu baik. Kepercayaan ini didalam suatu periode penuh konflik dan sengketa lazimnya kian kabur dan dikaburkan terutama didalam abad dimana perdamaian masih merupakan cita-cita yang berangsur-angsur, sedang diperjuangkan.
Dalam tulisan itu, kita membaca headline yang mencolok: “Sudah Waktunya Pan Islamisma Bangkit Lagi Didunia”, dengan sub-titel “Salah satu sasaran tembak KIAA”, “OSRA sudah ruwet dengan sendirinya”.
Terbaca pula pada boks susunan rendaksi (masshead): Diterbitkan sejak 2 Januari 1954, dengan pemimpin umum dan redaksi H Saifoeddin Zuhri (nonaktif), direksi Mohammad Hasan, penanggung jawab redaksi H. Mahbub Djunaidi, wakil penanggung jawab M. Said Boedairy. Duduk di jajaran dewan redaksi: H. Mahbub Djunaidi, M. Said Boedairy, A. Chalid Mawardi, Moh Sjurech. M. Sutardjo. Alamat redaksi dan administrasi: Jl Menteng Raya No.24, Tilpon Gambir 863 Jakarta. Tercantum pula, redaksi malam: Jl Kemakmuran 31, Tilpon Gambir 16.
Cukup mengesankan betapa penulis di DM, adalah orang-orang terkemuka dalam gagasan kebudayaan kita. Seperti Asrul Sani, Usmar Ismail yang mendebat Sitor Situmorang, Indonesia O’Galeano yang menulis puisi “Surat Jang ke Halmahera” sebagai persembahan kepada Asrul Sani, sang penyair yang pulang.
Duta Masjarakat merupakan suratkabar resmi partai politik Nahdlatul Ulama (NU). Surat kabar itu diterbitkan dan diberi subsidi oleh NU. Duta Masjarakat tidak hanya bertugas sebagai pembawa suara NU, melainkan juga sebagai sarana kaderisasi kepemimpinan yang cukup efektif.
Jelas sekali peran suratkabar itu dalam mempropagandakan visi tokoh-tokoh muda NU untuk disampaikan kepada jaringan masyarakat luas. Bahkan dalam setiap edisinya Data Masjarakat tidak hanya menempatkan nuansa-nuansa ke-Islaman tetapi juga menyajikan bacaan politik yang mencerminkan aspirasi umat Islam.
Dalam menangani masalah korupsi, pencerminan sikap-sikap islami nampak jelas dimasukkan dalam pemberitaannya. Seperti diutamakannya peranan moral dan agama yang berpedoaman kepada Al-Quran dan Hadits. Suratkabar ini mempunyai kecenderungan kuat untuk mempertahankan warisan budaya Islam sebagai sarana transformasi ide.
Dimuatnya berita tentang korupsi, nasionalisasi dan dasar negara pada masa demokrasi Liberal untuk menunjukkan identitasnya sebagai media yang berdasarkan Islam dan sebagai langkah partisipasinya dalam pembangunan ekonomi dan politik di Indonesia pada saat itu.
Dalam perjalanan waktu, Duta Masjarakat mengalami perubahan-perubahan. Terjadi pada susunan redaksi, penerbit Duta Masjarakat juga mengalami perubahan, pada tahun 1965 di kelola oleh PT. Wartaduta dan percetakan oleh P.N Dwi Grafika. Suratkabar yang membawa suara-suara NU melingkupi setiap pemberitaan Duta Masjarakat. Hal ini semakin terlihat jelas tatkala setelah terjadinya peristiwa G-30 S/PKI.
Setelah terjadinya peristiwa berdarah itu, PKI menjadi sorotan serta bulan-bulanan pemberitaan di semua suratkabar. Tak terkecuali Duta Masjarakat, yang memang sedari awal mempunyai tujuan untuk menangkal keberadaan PKI. Duta Masjarakat tampil berani dan tegas dalam setiap pemberitaan terkait PKI, misalnya edisi Senin 1 November 1965, headline-nya tertulis “Pasukan tempur G30S ditawan” dan dibawahnya terdapat tajuk “Tanpa PKI kita terus ganjang Nekolim”.
Tidak hanya pada edisi hari itu, pemberitaan pedas terkait PKI juga berlanjut hingga beberapa hari. Berturut-turut dari tanggal 1 November 1965 hingga 8 November 1965 headline-nya tertulis, “Bubarkan PKI dalang G-30-S”, “BAPERKI harus dibubarkan”, “PKI tak punja modal dlm perdjuangan” dan yang paling menohok adalah “G-30-S Terkutuk” salah satu judul yang dikutip dari ucapan presiden Soekarno (Duta Masjarakat edisi tanggal 1, 4, 6, 8 November 1965).
Persinggungan Duta Masjarakat dengan PKI juga terjadi sebelum peristiwa tersebut. Ketika Buya Hamka sebagai pengarang novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dibantai habis-habisan oleh kaum komunis, terutama pada aktivis Lekra, melalui koran Harian Rakjat dan Warta Bhakti, ditambah Sulindo (corong PNI). Duta Masjarakat hadir terdepan untuk membela Hamka. Dengan cara memuat tulisan-tulisan yang mendukung Hamka sembari menyerang komunis. Fakta ini dapat ditelusuri dalam buku Tenggelamnya Kapal van der Wijck dalam Polemik (Bulan Bintang 1967).
Setelah lama susunan redaksi tak mengalami perubahan, pada 1966 mengalami perubahan lagi dengan kembalinya posisi pemimpin umum di tangan Prof. KH. Saifuddin Zuhri. Namun pada pertengahan tahun 1968, keberadaan wakil pemimpin umum H. Aminuddin Aziz dihilangkan dari susunan redaksi, dan pada bulan November 1968, Penerbit Duta Masjarakat yang sebelumnya PT. Wartaduta berganti ke penerbit PT. Duta Sembilan.
Perubahan pada susunan redaksi lagi-lagi terjadi, tepatnya pada bulan Maret tahun 1969. Tepatnya, perubahan pada direktur utamanya yang memimpin PT. Duta Sembilan, dan stafnya, dengan rincian sebagai berikut ini. Direktur Utama M. Sjah Manaf, staf M. Sjureich, Indro M. Noor. Pemimpin Redaksi H. Mahbub Djunaidi, Wakil Pemimpin Redaksi H.M. Said Budairy. Dewan Redaksi: H.M. Munasir, Jahja Ubeid SH, M. Sutardjo, H. Harun Al-Rasjid, H.M. Said Budairy, H. Mahbub Djunaidi. Staf Redaksi : M. Anwar Nurris, H. Tb. Abbas Saleh, Ma’mun, Henry Leo, M. Mahdor, M. Jazid (foto).
Keberadaan Duta Masjarakat mengalami penyegaran pada edisi tahun 1971. Duta Masjarakat hadir dengan wajah baru yang bertujuan untuk memperindah tampilan suratkabar ini. Namun, pada tahun ini pula Duta Masjarakat mulai mengalami krisis, terutama dalam segi keuangan. Para penyumbang dan pengiklan pun mulai berhenti menyokong surat kabar ini. Demikian pula terdapat unsur tekanan dari pihak pemerintah yang otoriter membuat gerak berita Duta Masjarakat menjadi sempit.
Pada akhirnya Duta Masjarakat dibredel pada akhir tahun 1971. Disinyalir penyebabnya adalah terdapat perbedaan hasil pemungutan suara Pemilu tahun 1971 antara Duta Masjarakat dan pemerintah, yang kemudian berujung pada pembredelan surat kabar NU ini.
Edisi terakhir yang penulis temukan di Perpustakaan Nasional bertanggal 30 Okotober 1971, dengan susunan redaksi nama-nama terkemuka. Pemimpin Umum M. Jusuf Hasjim, Wakil Pemimpin Umum H. Mahbub Djunaidi, Pemimpin Redaksi H.M. Anshary Sjams, Wakil Pemimpin Redaksi H. Harun Al-Rasjid. Dewan Redaksi: H.M. Anshary Sjams, H. Harun Al-Rasjid, H.M. Said Budairy, M. Anwar Nurris, Muhammad S, H.A. Chalid Mawardi, Moh. Djazim, Drs. Mardji’in Sjam, H. Zain Badjeber. Direksi/Pemimpin Perusahaan : H.M. Danial Tandjung.
Sebagai organisasi Islam terbesar di negeri ini, NU telah menjejakkan perjuangannya lewat sejumlah media: Swara Nahdlatoel Oelama, Berita Nahdlatoel Oelama, dan Suluh Nahdlatoel Oelama. Seiring perkembangan waktu, terdapat pula media-media yang lain, seperti Duta Masjarakat, Risalah Islamiyah, Warta NU. Belum lagi terdapat pula Tabloid Masa (edisi perdana April-Mei 2001 dan berakhir Oktober 2001). Memang, media-media tersebut memiliki prinsip dan tujuan untuk menyebarluaskan informasi kepada pelbagai elemen masyarakat. Namun, karena pengelolaan yang kurang tepat menyebabkan media-media tersebut tak mampu bertahan lama dan akhirnya berhenti produksi tanpa diketahui penyebabnya secara jelas.
Platform Digital
Kemajuan zaman ditandai dengan adanya Revolusi Industri 4.0, suatu tantangan bag NU guna tetap eksis dalam mengembangkan inovasi-inovasi dalam bidang media. Pengalaman panjang NU dalam mendirikan media massa menjadi pelajaran berharga dalam mendirikan media baru yang lebih baik. Sejumlah tokoh menangkap perubahan zaman dengan cermat. KH Ahmad Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU 1999-2010), merasa resah, akhirnya memelopori kehadiran media baru di NU yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Pada saat Muktamar ke-30 Nahdlatul Ulama di Lirboyo Kediri, memunculkan suatu usulan untuk menghadirkan kembali media-media yang sempat diproduksi NU sebelumnya. Namun, selain melanjutkan eksistensi media massa NU, terdapat ide yang diiringi dengan pembaruan: media berbasis internet atau media digital. Kiai Hasyim Muzadi bersama sejumlah aktivis pers seperti Masduki Baidlawi, Taufik R. Abdullah, Saiful Bahri Anshori, dan Abdul Mun’im DZ, menjadikan media berbasis online dikerjakan secara serius dan melalui proses diskusi yang matang dan lahirlah NU-Online. Portal berita menjadi situs resmi PBNU yang bertugas menyebarkan informasi dan bertahan hingga kini.
Setelah resmi terbentuk dan diresmikan, NU Online melakukan beberapa inovasi dalam mengembangkan situs berita. Abdul Mun’im DZ terpilih sebagai direktur NU Online (2003-2005) didampingi beberapa orang lainnya berhasil menjalankan roda keredaksian NU Online dengan baik. Tak lama setelah berdiri, pada 2005 perkembangan NU Online sangatlah pesat, ditandai dengan danya penghargaan yang diberikan kepada NU Online sebagai situs Indonesia terbaik versi Majalah Komputer Aktif kategori Sosial dan Kemasyarakatan.
NU Online terus mengalami perkembangan meskipun ada beberapa hambatan, seperti kurangnya tenaga ahli pada masa awal berdirinya hingga persoalan masyarakat yang mengakses internet. Namun, hal itu tak lepas dari kegigihan para awak redaksi pendukungnya, sehingga NU Online saat ini menjadi salah satu media massa terpandang yang dimiliki organisasi Islam.
Demikianlah, sekadar catatan. ***