Assalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh, hadirin yang dimuliakan Alllah.
Secara bahasa, dosa berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti benci, marah, rusak, dan penolakan. Dalam pengertian istilah, dosa adalah terma agama yang merujuk pada tindakan dan perbuatan yang menjurus pada pelanggaran terhadap ajaran agama yang telah ditetapkan oleh Tuhan.
Dalam Islam, perbuatan yang mengarah pada tindakan penolakan terhadap perintah dan larangan Allah s.w.t. disebut al-Dzanbu, al-Junâh dan al-Itsmu. Meskipun ketiganya berbeda lafadz, makna, dan definisi, namun mempunyai persamaan arti, yaitu perbuatan yang mengarah pada dosa baik yang mempunyai dampak pada diri sendiri maupun pada orang lain.
Manusia diciptakan oleh Allah s.w.t. dalam bentuk yang sempurna atau Ahsanu Taqwîm. Kesempurnaan penciptaan manusia terletak pada dua potensi, yaitu akal yang menurut sebagian pakar dikategorikan pengertiannya dengan kalbu dan nafsu. Karena kedua potensi sebagaimana dimaksud, maka manusia secara lahiriah berpotensi untuk melakukan perbuatan baik, terpuji dan perbuatan buruk, serta dosa. Apabila manusia menggunakan akal, kalbu, dan pikirannya, maka akan selamat di dunia terlebih di akhirat.
Sebaliknya, apabila akal, kalbu, dan pikirannya dikalahkan oleh hawa nafsu, maka ia akan tergelincir ke dalam perbuatan dosa yang menghinakan. Tetapi yang perlu digaris bawahi di sini, meskipun manusia sarat akan perbuatan salah, khilaf, dan dosa, tidak serta-merta manusia terpojok dan pasti akan menjadi penghuni neraka yang kekal. Rasulullah s.a.w. menegaskan dalam sabdanya: “Setiap anak cucu Adam berpotensi melakukan dosa dan kesalahan. Sebaik-baiknya orang yang melakukan kesalahan dan dosa adalah dengan bertaubat kepada kepada Allah s.w.t.”. (HR. Ibnu Majah, 4241).
Senada dengan penegasan Rasulullah s.a.w. di atas, dalam konteks tasawuf, Syaikh Ibnu Athâillah al-Sakandari menyatakan: Lâ Ya’dzumi al-Dzanbu Indaka ‘Adzamatan Tashudduka ‘An Husni al-Dzanni Billâhi Ta’âlâ. Fainna Man Arafa Rabbahû Istasghara Fî Janbi Karamihî Dzanbahû. Secara umum, maqalah ini bisa diartikan bahwa sebesar apapun dosa yang dilakukan seseorang, hal itu jangan menjadi penghalang baginya untuk berperasangka baik kepada Allah. Barang siapa yang mengenal kasih sayang Tuhannya, sebesar apapun dosa yang dilakukan, hal itu menjadi kecil dalam kemurahan-Nya”.
Menurut Ibnu Abbâd al-Nafarî, besarnya dosa bagi si pelaku terbagi menjadi dua kelompok, yaitu pertama adalah dosa besar yang membuatnya bertaubat kepada Allah s.w.t. dari dosa besar tersebut. Maksudnya, jika seorang hamba telah melakukan dosa besar, dan hendak bertaubat kepada Allah, maka wajib baginya memiliki keinginan yang kuat untuk melepaskan diri dari perbuatan dosa tersebut untuk selamanya. Sikap seperti ini merupakan perbuatan mulia dan menjadi salah satu ciri dari keimanan seorang hamba.
Dalam sebuah riwayat, Ibnu Mas’ud r.a. berkata: “Sesungguhnya seorang mukmin itu melihat dosa-dosanya seperti gunung, dan ia takut jatuh terjerembah ke dalam kawahnya. Sebaliknya, seorang fâjir melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang hinggap di hidungnya. Ia membiarkan lalat tersebut seolah meremehkannya seraya berkata: “Ah, cuma lalat”, lalu menerbangkannya”. Bila ditelisik lebih jauh, pernyataan Ibnu Mas’ud yang termaktub dalam Kitab “Syarah Hikam li al-Abbâd al-Nafarî” yang kita kaji ini tergolong hadits. Dikatakan demikian, karena terdapat dalam Kitab Sunan al-Tirmidzi, no. 2497, dan ditakhrij oleh Imam Bukhari no. 6308 dengan derajat hadits sahih.
Hadits di atas memberikan pemahaman bahwa seorang mukmin yang baik adalah mereka yang berhati-hati dalam segala hal, termasuk tingkah dan laku lampahnya. Melihat dirinya berpotensi melakukan dosa besar, sehingga berhati-hati agar tidak terjerembab ke dalam kubangan dosa, itu lebih baik daripada menganggap dirinya tidak berpotensi melakukan dosa.
Sebab, apabila seorang hamba merasa dirinya tidak berpotensi melakukan dosa, maka yang bersangkutan akan terjerembab ke dalam kubangan dosa, baik kecil maupun besar. Maka, sikap meremehkan dosa merupakan bagian dari maksiat, sehingga pelakunya disebut Fâjir atau orang yang berbuat keji.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa sesungguhnya ketaatan yang dianggap kecil oleh manusia, pada hakikatnya bernilai besar di sisi Allah. Sebaliknya, perbuatan maksiat apabila dianggap besar maka nilainya besar di sisi-Nya. Riwayat ini juga masuk dalam kategori Hadits Marfû’ yang menguatkan riwayat sebelumnya. Riwayat ini ditakhrij oleh Imam Bukhari yang kemudian disadur oleh Abu Thâlib al-Makki (w. 386 H) dalam karyanya yang bernama “Qût al-Qulûb”.
Dari dua riwayat yang termaktub di atas, secara sederhana kita memahami bahwa sekecil apapun perbuatan baik yang kita lakukan, pada dasarnya bernilai pahala besar di sisi Allah. Sedangkan, sebesar apapun perbuatan maksiat yang kita lakukan, hal itu bernilai kecil di sisi Allah, lantaran rahmat dan kemurahan-Nya. Dinyatakan dalam dalam Hadits Qudsi: “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan amarah-Ku”. (HR. Muslim, 2751).
Di sini kita memahami bahwa husnudzan kepada Allah merupakan pijakan utama dalam bermuamalah, baik dengan Allah dan atau dengan sesama. Husnudzan kepada Allah s.w.t mampu mengantarkan kita pada keimanan yang hakiki, yakni bahwa segala sesuatu yang terjadi di tengah-tengah kita merupakan takdir yang terbaik buat kita. Dalam al-Qur’an ditegaskan: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS. Al-Baqarah, 02:216).
Selanjutnya, kelompok kedua adalah dosa besar yang pelakunya merasa putus asa, seolah dosanya tersebut tidak diampuni oleh Allah, sehinga merambat pada sikap suudzan atau berperasangka buruk kepada-Nya. Dalam pandangan tasawuf, sikap seperti itu merupakan dosa besar yang sangat buruk, di mana implikasinya mampu merusak keimanan.
Rasa putus asa disertai suudzan kepada Allah pada kasus kasus ini lebih jelek daripada perbuatan dosa itu sendiri. Wujud suudzan yang hinggap dalam hati seseorang, lahir karena kebodohan dan perasangka buruk yang bersangkutan dalam memandang Tuhannya yang Maha Baik, Maha Dermawan, dan Maha Mulia.
Jika seandainya orang yang berbuat dosa tersebut mengenal Tuhannya dengan sungguh-sungguh, niscaya dia akan menganggap dosa-dosanya itu sebagai motivasi untuk berperasangka baik kepada-Nya. Dia akan optimis bahwa sebesar apapun dosa yang dilakukan, niscaya Allah akan mengampuninya.
Dalam Hadits Qudsi, Allah s.w.t. berfirman: “Wahai anak cucu Adam, sesungguhnya jika engkau senantiasa berdoa dan berharap kepada–Ku niscaya Aku akan mengampunimu semua dosa yang ada padamu dan Aku tidak peduli (dengan besarnya dosamu). Wahai anak cucu Adam, kalau seandainya dosamu setinggi langit, kemudian engkau memohon ampun kepada– Ku, niscaya aku akan memberikan ampunan kepadamu dan Aku tidak peduli (dengan tingginya dosamu).
Wahai anak cucu Adam, seandainya engkau menghadap kepada–Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi kemudian engkau berjumpa dengan–Ku dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi pula”. (HR. Ahmad, 13493, dan Tirmidzi, 3540).
Sikap pesimistis bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya merupakan bagian dari suudzan kepada-Nya. Padahal, kita diperintahkan untuk tidak bersikap pesimistis dari rahmat Allah yang maha luas. “Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir.” (QS. Yusuf, 12:87).
Menurut al-Qurtubi, sikap pesismistis seseorang terhadap rahmat dan ampunan Allah adalah bagian dari dosa besar. bersikap optimistis terhadap ampunan dan rahmat Allah, tergambar dalam sebuah hadits berikut: “Dari Anas r.a. berkata: Seorang datang kepada Nabi s.a.w. dan berkata: “Aku terkena hukuman Hadd, maka laksanakanlah atas diriku”. Ketika itu bertepatan dengan waktu shalat, maka ia shalat bersama beliau. Selesai shalat, ia berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah terkena Hadd, maka laksanakan atas diriku”. Rasulullah s.a.w. bertanya: Apakah engkau telah melaksnakan shalat bersama kami?”. Ia menjawab: “Iya.”. Beliau bersabda: “Telah diampuni bagimu”. (HR. Muslim, 2764).
Wa’alaikumus salam wa rahmatullahi wabarakatuh…
(Transkip Pengajian Syarah Hikam oleh Rais Aam PBNU KH Miftchul Akhyar pertemuan yang ke-79 live di chanel youtube TVNU Juli 2024).