Pasuruan tahun 1970-an pernah menjadi perbincangan karena memiliki menara masjid miring yang mirip menara Piza di Italia. Bahkan dianggap lebih memiliki keajaiban. Jika menara Pisa yang dibangun abad 12 itu memiliki kemiringan 5,5 derajat, menara masjid Pasuruan ini mencapai kemiringan 12 derajat.
Pemda Pasuruan dan takmir masjid itu kebingungunan bagaimana mengatasinya, mengembalikan pada posisi semula. Sebab, menara masjid yang miring itu sangat mengkhawatirkan. Beberapa arsitek dan insinyur sipil menyarankan untuk membongkar dan menggantinya dengan menara baru.
Takmir masjid waktu itu KHM Zaki Ubaid yang juga pengurus NU cabang Pasuruan dan juga politisi, berpikir keras. Membongkar menara yang bersejarah itu tentu perlu banyak pertimbangan, termasuk biaya. Jika tidak dibongkar akan membahayakan jemaah yang lalu lalang di bawahnya. Meskipun menara masjid Pasuruan itu tak setinggi menara Pisa yang mencapai 50 meter lebih, namun, cukup mengkhawatirkan dan menjadi simbol kebanggaan umat Islam karena masjid itu dibangun sebelum Perang Diponegoro, 1821.
Akhirnya Kiai Zaki ditemani Kiai Sholeh Ahmad Sahal menghadap ulama besar Pasuruan, Kiai Hamid yang dikenal seorang wali besar. Kiai Hamid lantas mengajak Kiai Zaki dan Kiai Sholeh menuju masjid usai salat subuh keesokan harinya.
Kiai Hamid lantas mengajak Kiai Zaki dan Kiai Sholeh untuk membaca syair yang kerap dijadikan doa oleh para ulama. Kiai Hamid mengajakd dua ulama yang masih adik dan kemenakannya itu untuk membaca syair dan doa itu sebanyak tujuh kali:
“Nabiyyal huda dlaqat biyal halu fil wara. Wa rabbi adra bil umuri khabiru. Wa anta ila rabbil wasaila daiaman. wa anta lima amaltu fika jadiru. Fasahal khaliqi tafrija karbi fainnahu ala faraji dunal anami qadiru.”
Beberapa saat kemudian, seperti dituturkan Dr. KH Abdullah Shodiq dan KH Muhammad Siddiq bin Sholeh, muncul gempa yang cukup terasa. Anehnya, menara masjid itu kembali normal. Kemiringan itu hilang. Orang hanya tahu bahwa gempa yang memulihkannya. Secara akal gempa itu justru merobohkannya.
Munurut Habib Zen bin Smith dalam Annujumuz Zahirah, syair doa ini ditulis oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasyi, seorang maha guru tarekat Madinah yang wafat tahun 1661 M. Menurut kitab ini, jika ada hajat dibaca 27 kali usai salat Subuh.
Sayid Ibrahim bin Umar bin Aqil, ulama besar Yaman yang wataf tahun 1415 H (1995) menyebut membaca delapan kali setelah salat Jumat untuk hajat penting. Dia menyebutnya hanya dua bait: “Nabiyyal huda dlaqat biyal halu fi fara. Wa anta bima ammaltu fika jadiru. Fasal khaliqi tafrija karbi fainnahu ala faraji dunal anami qadiru.”
Umar Taqiyuddin Ar-Rafi’i Al-Yamani membuat taqthir atau tambahan sisipan sehingga menjadi empat bait. Bahkan ada yang membuat iqtibas dengan mengganti kata nabiyyal menjadi Rasulal Huda Dlaqat, seperti yang dilakukan penyair Mesir Hasan Kamil As-Shayrafi, lahir tahun 1908.
Tarik Wisata
Masjid Agung Al-Anwar diprakarsai berdirinya oleh Bupati Nitiadiningrat I dan ulama Kiai Hasan Sanusi yang dikenal dengan nama Mbah Slagah, mulai dibangun pada tahun 1821 M.
Mbah Slagah lahir di Desa Keboncandi, Pasuruan. Mbah Slagah dimakamkan di Pemakaman Kedunglo, Pekuncen, Pasuruan, sekitar tiga kilometer.
Mbah Slagah berpesan untuk dimakamkan di samping makam Den Ayu Beri sebagai balas budi karena Den Ayu Beri pernah melindungi Mbah Slagah dari kejaran Belanda. Den Ayu meminta Mbah Slagah jika meninggal nanti dimakamkan di samping makamnya.
Sejak dibangun pada tahun 1800-an, banyak kegiatan keislaman yang digelar di Masjid Al-Anwar membuat masjid ini lekat menjadi bagian dari masyarakat Pasuruan. Nama Masjid Jami’ disematkan oleh masyarakat Pasuruan untuk menyebut Masjid Al-Anwar. Bahkan masyarakat Pasuruan lebih familiar menyebut Masjid Al-Anwar dengan nama Masjid Jami’.
Masjid Al-Anwar masuk dalam kawasan alun-alun kota Pasuruan sehingga lokasinya mudah dijangkau. Sisi barat Masjid Al-Anwar berbatasan dengan Alun-alun Kota Pasuruan. Letaknya yang berada di jantung kota serta bangunannya yang luas membuat masjid ini menjadi masjid terbesar dan termegah di kota Pasuruan.
Bangunan Masjid Al-Anwar yang seluas 4.388 m memiliki karakteristik tersendiri yang menjadi ciri khasnya. Ditilik dari nilai arsitekturnya, bangunan masjidnya sarat sentuhan Timur Tengah dengan ornamen warna hijau.
Masjid yang sederhana itu kemudian dilengkapi dengan menara yang mirip Menara masjid Banten, gemuk dan tidak begitu tinggi dan terletak di sebelah kiri masjid, atau bagian tenggara masjid. Tahun 1990-an, menara ini dibongkar dan diganti menara yang kebih tinggi dan lebih kokoh. Menara lama itu ketika dibongkar banyak didapati burung walet karena menjadi sarang bertahun-tahun burung yang pernah menjadi penghasil devisa itu.
Kini dengan adanya payung di halaman masjid yamng menyerupai payung di masjid Nabawi Madinah itu, masjid Al Anwar Pasuruan itu kini menjadi pusat wisata baru, tentu disamping berziarah ke makam Kiai Hamid di belakang masjid itu. (Musthafa Helmy)