REVOLUSI KILAT DI SURIAH

0

Kabar mengejutkan terjadi di Suriah Dimana negara yang sudah 13 tahun terjebak dalam perang sipil tersebut, justru berakhir dengan keberhasilan pasukan pemberontak merebut Damascus hanya dalam waktu 15 hari.

Kejutan Besar terjadi di Suriah dimana presiden Bashar Al – Assad yang sudah berkuasa selama 24 tahun mendadak harus kabur mengungsi ke Suriah usai pasukan oposisi Hayat Tahrir Al-Sham (HTS) yang dipimpin oleh Abu Mohammed Al-Jolani secara mengejutkan berhasil merebut kota-kota besar di Suriah mulai dari Aleppo, kemudian ke Hama, Homs, Idlib dan terakhir, tentu saja ibukota negara, Damascus. Keberhasilan kilat HTS dan kelompok pemberontak ini pada akhrinya membuat rezim Bashir Al-Assad runtuh dan Assad dipaksa mengungsi ke Rusia untuk meminta perlindungan.

Mengapa ada perang di Suriah?
Pada tahun 2011, terjadi gerakan protes besar yang disebut Arab Spring di beberapa negara di Afrika dan Timur Tengah. Penduduk turun ke jalan untuk memprotes para pemimpin mereka. Namun, di Suriah, para pengunjuk rasa ditindas dengan kekerasan oleh pemerintah.

Sebagai tanggapan, kelompok-kelompok bersenjata pemberontak terbentuk dan mengambil alih beberapa bagian negara. Tujuan mereka: menggulingkan Presiden Suriah, Bashar al-Assad.

13 tahun teror Bashar al-Assad, yang merupakan anak dari mantan presiden yang memerintah selama 30 tahun, sama sekali tidak berniat mundur. Rezimnya digambarkan sebagai tiranik, yang berarti dia “memerintah dengan menggunakan teror dan penindasan.”

Dia memerintahkan militer untuk menghancurkan pemberontak. Akibatnya, negara ini jatuh ke dalam perang saudara, yaitu perang yang terjadi di dalam satu negara. Perang ini berlangsung selama 13 tahun. Diperkirakan lebih dari 400.000 warga Suriah tewas. Setengah dari populasi harus melarikan diri dari negara tersebut. Lebih dari 60.000 warga Suriah mengungsi ke Kanada.

Baca Juga :  Buletin Jum’at Risalah NU edisi 54

Akhir dan pelarian sang diktator
Konflik di Suriah telah mereda dalam beberapa tahun terakhir. Namun, secara mengejutkan, pada akhir November, para pemberontak berhasil merebut kendali atas kota-kota besar di Suriah. Pasukan Bashar al-Assad hampir tidak mempertahankan wilayah mereka. Hampir tidak ada pertempuran yang terjadi.

Dan, sebuah kejutan besar! Sabtu lalu, Bashar al-Assad dan keluarganya melarikan diri dari Suriah. Mereka kini berada di Rusia, salah satu sekutu rezimnya yang tersisa.

Keesokan harinya, tanpa presiden, tanpa tentara, dan tanpa kendali atas kota-kota besar, rezim Suriah akhirnya runtuh.

Siapa itu Hayat Tahrir Al-Shams?
HTS (Hayat Tahrir al-Sham) didirikan dengan nama yang berbeda, Jabhat al-Nusra, pada tahun 2011 sebagai afiliasi langsung dari al-Qaeda. Pemimpin kelompok yang menyebut dirinya Negara Islam (IS), Abu Bakr al-Baghdadi, juga terlibat dalam pembentukannya.Kelompok ini dianggap sebagai salah satu yang paling efektif dan mematikan di antara kelompok-kelompok yang melawan Presiden Assad.

Kelompok ini pada awalnya dinyatakan sebagai organisasi teroris oleh PBB, AS, Turki, dan negara-negara lainnya – dan status itu tetap berlaku hingga kini. Namun, al-Jolani secara terbuka memutus hubungan dengan al-Qaeda, membubarkan Jabhat al-Nusra, dan mendirikan organisasi baru yang kemudian dikenal dengan nama Hayat Tahrir al-Sham (HTS) setelah bergabung dengan beberapa kelompok serupa setahun kemudian.

Saat itu, dan hingga kini, masih ada keraguan apakah HTS benar-benar telah memutuskan hubungannya dengan al-Qaeda. Namun, pesan mereka dalam satu setengah minggu terakhir ini adalah inklusivitas dan penolakan terhadap kekerasan atau balas dendam. Di masa lalu, kelompok ini pernah terlibat konflik internal dengan kelompok pemberontak dan oposisi lainnya. Hal serupa bisa saja terjadi lagi.

Baca Juga :  Gemerincing Kepingan Dinar Surga

Kejatuhan kekuasaan Presiden Assad tidak serta merta mengubah perpecahan yang ada di Suriah, di mana berbagai kelompok masih menguasai wilayah-wilayah tertentu di luar kendali pemerintah. Upaya HTS untuk mendapatkan legitimasi juga tercoreng oleh dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Bagaimana masa depan politik Suriah dalam waktu dekat akan berkembang tidak hanya bergantung pada niat dan kemampuan HTS, tetapi juga pada klaim dan tekanan dari kelompok-kelompok lain, serta peran kekuatan besar luar negeri yang selama ini terlibat dalam sejarah terbaru negara itu.

Kekuatan-kekuatan tersebut termasuk, yang paling menonjol, Iran dan Rusia – yang mendukung Presiden Assad –, serta Turki – yang mendukung kelompok pemberontak –, dan juga AS yang masih mempertahankan kehadiran militer di wilayah timur Suriah yang dikuasai Kurdi. Mereka kini sedang berusaha menyesuaikan langkah strategis baru untuk melayani kepentingan mereka setelah runtuhnya dinasti Assad.

Ancaman dari Israel
Satu hal yang menarik pasca runtuhnya rezim Bashar Al-Assad adalah justru semakin gencarnya Israel melakukan serangan ke Suriah. PM Israel, Benjamin Netanyahu seperti dikutip dari ABC News, menyatakan bahwa tentara Israel akan mengokupasi wilayah Buffer Israel dan Suriah sampai waktu yang tidak ditentukan. Seebelumnya Israel juga sudah lebih dahulu mengokupasi wilayah Suriah, yaitu Dataran Golan pada tahun 1967, yang hingga hari ini belum dikembalikan. Israel kini juga merencanakan invasi lebih dalam ke negara tersebut.

Bahkan pemerintah Israel sudah mulai merencanakan pembangunan pemukiman di wilayah Suriah yang diokupasi. Praktik menjijikan dari Rezim Zionis laknat ini sudah mereka lakukan bertahun-tahun di wilayah Tepi Barat dan Jerusalem Timur, dan kini dengan hancurnya Gaza pasca genosida yang dilakukan Israel usai serangan Hamas pada 7 Oktober, beberapa politisi Zionis sayap kana juga sudah turut merencakan untuk membangun pemukiman ilegal di Gaza. Langkah Israel ini jelas mengundang kecaman dari dunia internasional, termasuk negara Barat.

Baca Juga :  Siapkan KMA Tentang Peta Jalan Pesantren Ramah Anak

Namun, pada akhirnya kecaman tersebut hanyalah dianggap angin lalu, karena selama ini Israel tidak pernah mau mendengarkan dunia internasional terkait pembangunan pemukiman ilegal. Maka bukan tidak mungkin, ambisi mengokupasi Suriah adalah sesuatu yang tidak pantas dilakukan oleh negara yang nyaris tidak tersentuh hukuman internasional usai membantai puluhan ribu warga sipil di Palestina, Libanon, Yaman dan Suriah secara bersamaan tersebut. (Kharizma)

Leave A Reply

Your email address will not be published.