Konsensus Mewujudkan Perdamaian Dunia

0

Rentetan konflik di Timur Tengah terus membadai. Peperangan antara militer Israel dan Iran kian memanas, disusul agresi kekuatan negara tetangga ikut campur, tentu berdampak pada dunia global. Apakah nggak ada contoh tentang perdamaian? Nah, ternyata contohnya sangat masyhur dan sangat simpel yaitu perjanjian Hudaibiyah. 

Pada tahun 6 Hijriah (628 Masehi), Rasulullah SAW dan kaum Muslimin melakukan perjalanan menuju Makkah untuk melaksanakan umrah. Namun, mereka dihadang oleh kaum Quraisy yang khawatir kehadiran umat Islam akan mengganggu stabilitas politik dan ekonomi mereka. Alih-alih berperang, Nabi Muhammad SAW memilih jalur diplomasi yang menghasilkan Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian Hudabiyah adalah sebuah kesepakatan yang secara lahiriah tampak merugikan umat Islam, tetapi justru menjadi batu loncatan menuju kemenangan besar di kemudian hari.

Kini, hampir 1.400 tahun setelah peristiwa itu, nilai-nilai yang terkandung dalam Perjanjian Hudaibiyah kembali relevan dalam konteks global. Bahwa konsensus seperti yang dicontohkan dalam perjanjian Hudaibiyah bisa menjadi fondasi perdamaian dunia di tengah meningkatnya polarisasi dan konflik.

Kanjeng Nabi beberapa kali melakukan perjanjian-perjanjian penting, yang pertama, Piagam Madinah, Kedua, Perjanjian Hudaibiyah. Ketiga, Perjanjian Tabuk. Nah, dari semua perjanjian itu, yang bisa kita lihat adalah bahwa apa pun isi yang disepakati dalam perjanjian itu bisa menimpa atau mengatasi norma-norma asal, yang tadinya permusuhan. Artinya, permusuhan itu merupakan sesuatu yang menjadi asas, ya. Permusuhan yang tadinya merupakan asas pergaulan antara kelompok, antara mukmin dengan kafir, dengan perjanjian itu lalu tidak dioperasionalisasikan.

Karena sudah ada perjanjian, ya, dan ya, orang berargumen bahwa itu terjadi sebelum ada perintah perang, ya. Nah, walaupun ada wawasan tentang nasikh mansukh, ya, itu kan apa pun, saya kira, enggak mungkin kita mempersepsikan Rasulullah, ya, atau ajaran Islam itu mencla-mencle. Itu kan enggak bisa, kan. Harus ada premis yang tetap, itu harus ada, enggak boleh berubah.

Misalnya, satu pembahasan tentang peristiwa di Makkah ketika Kanjeng Nabi mulai dihujat-hujat dan dipersekusi oleh orang-orang Quraisy waktu itu. Kemudian, dibela oleh Sayidina Abu Bakar. Sayidina Abu Bakar dalam pembelaannya, beliau mengatakan, “Attaqtuluna rojulan ayyakuna robbunallah?” Jadi, Kanjeng Nabi itu menuntut supaya diberi kebebasan untuk meyakini agamanya, untuk tidak dipersekusi.

Nah, Perjanjian Hudaibiyah itu sering saya sebut karena sangat menyolok. Sangat menyolok bagaimana sudah ihram, belum tawaf, sai kok disuruh tahalul sama Kanjeng Nabi karena ada perjanjian, ya. Dan kemudian, bahwa diktum-diktum perjanjian itu ditegakkan dengan saklek sekali. Sampai-sampai, misalnya, ada Abu Jandal yang sudah masuk Islam dan nyusul mau ikut Kanjeng Nabi, disuruh balik lagi karena diminta sama bapaknya, itu Abu Jandal bin Suhail.

Lalu, Kanjeng Nabi sudah pulang ke Madinah, datang Abu Bashir yang mau bergabung, ditolak Kanjeng Nabi. Ini sampai ada artikulasi, “Abu Bashir, aku ini beriman kepadamu dan ingin menyelamatkan diri dari ancaman kaumku yang masih kafir untuk bergabung denganmu. Kenapa kamu tolak?” Dan ditolak beneran sama Kanjeng Nabi. Dasarnya Perjanjian Hudaibiyah. Nah, itu berarti ini kan membatalkan norma asal. Norma asalnya kan, “Al-mukmin akhul mukmin,” “Al-mukmin mukmin kal jismil wahid.” Lah, ini ada orang mukmin mau sia-sia dari orang Quraisy, ditolak balik. Itu karena perjanjian.

Sebetulnya, saya melihat bahwa ini, ini mungkin bisa menjadi pondasi yang jauh lebih kuat daripada omong kosong moderasi beragama itu, daripada dusta moderasi beragama itu. Ini kuat kalau kita mau, ya, pondasinya konsensus, perjanjian itu konsensus. Kenapa kemudian, misalnya, kita ini ulama-ulama kita ini juga melawan DI TII waktu itu, yang sesama Muslim yang mengibarkan bendera untuk negara Islam.

Kenapa? perang beneran kan. Ulama kita terlibat pertempuran melawan DITII. Kenapa gitu? Nah, kalau kita runut, enggak ada dasar selain konsensus itu. Kita sudah konsensus mau NKRI. Yang lawan ini, ya, berarti mengingkari konsensus dan harus ditentang itu. Nah, dan ini rupanya ada pondasi paradigmatik yang universal dalam soal ini. Kalau dalam hadis Nabi kan, Kanjeng Nabi dawuh, “Annāsu alā syurūṭihim.”

Ternyata itu secara universal sebetulnya wawasan ini juga dikenal di berbagai peradaban, sehingga ada adagium yang dinyatakan dalam bahasa Latin, bunyinya, “Pacta sunt servanda.” Artinya, perjanjian itu harus di harus diikuti gitu, ya. Kesepakatan harus diikuti itu sama dengan “annāsu alā syurūṭihim.” Nah, maka kalau kita bicara bagaimana Islam mengajak umat manusia untuk menyelamatkan peradaban dunia ini, saya kira seruan Islam itu harusnya, “Mari kembali kepada kesepakatan.

Mari kita tegakkan konsensus untuk berdamai.” Karena dengan konsensus untuk berdamai itu, semua norma-norma tentang permusuhan dan keharusan untuk melibatkan diri dalam konflik itu ada alasan, ada alasan untuk dikesampingkan. Ya, kalau enggak pakai alasan ini, apa dasarnya? Apa dasarnya kita enggak berangkat ke Myanmar untuk nyikat Buddha-Buddha yang mempersekusi? Apa dasarnya kita tidak perang melawan India? Apa dasarnya kita tidak menyatakan perang kepada Israel dan lain sebagainya? Apa dasarnya? Enggak ada dasar. Iya. Itu saya gelisah bertahun-tahun.

Kalau masyarakat rasional ini kemudian bersedia untuk menegakkan konsensus itu, sebetulnya di situ jawaban dari sekian banyak masalah konflik di seluruh dunia, kalau mau. Jadi, kenapa hari ini kita tidak pukuli orang-orang kafir di jalanan itu? Karena kita terlibat konsensus Pancasila UUD 45. Kenapa kita tidak menyatakan perang kepada India, Myanmar, Israel, dan lain-lain? Karena kita terikat konsensus internasional, yaitu Piagam PBB.

Nah, ini nanti pengembangan wacananya, saya kira, akan masuk juga sejauh mana konsensus itu wajib ditaati, kan gitu. Karena setelah Piagam Madinah, nyatanya Bani Qainuqa dan Bani Nadir diusir. Nah, di dalam wacana klasik itu kan ada itu bahwa ketentuan bahwa mu’ahadah itu berlaku. Ada yang mengatakan 10 tahun dan harus diperbarui, misalnya. Oke, ada wacana begitu. Tapi itu kebijakan politik. Itu kan kebijakan politik. Kalau mau dirunut sampai ke usul-usul yang sampai ke Quran, sunah, ijma, qiyas, kan itu susah. Itu kebijakan politik dari penguasa.

Saya ingat waktu di Rembang itu ada khalaqah soal perdamaian itu, soal moderasi beragama, sebetulnya ya. Kemudian, Gus Sadid Jauhari Kencong, beliau membuat artikulasi dengan mengatakan bagaimana kita mau berbaik-baik dengan orang-orang kafir, sedangkan jihad dengan apa? Jihad apa? Jihad hujumiy itu, itu fardhu kifayah sekurang-kurangnya setahun sekali, sebagaimana disebut dalam I’anatut Thalibin, misalnya.

Kitabnya jelas tuh. Beliau kan hafal ibarahnya itu, apa? Nah, waktu itu Gus Ghofur jawabnya bagus, bahwa dulu itu sering banyak ya, sebetulnya Jawab al-Fikr itu sebetulnya merupakan kebijakan-kebijakan imam yang kemudian dilegitimasi oleh para ulama, sehingga dianggap sebagai jurisprudensi. Mungkin dikaitkan dengan ijma dan lain sebagainya, tapi sebetulnya itu adalah inisiatif imam, inisiatif pemerintah yang kemudian direlegitimasi oleh ulama. Kira-kira begitu.

Nah, tapi yang jelas kan kita harus nemu ini basisnya itu. Saya enggak terima, ya. Anti banget sama Pak Ulil waktu dia mengatakan semua agama sama. Enggak bisa. Alhamdulillah, sekarang sudah insaf, sudah tobat dia, alhamdulillah sudah tobat sekarang. Ya, enggak bisa begitu. Nah, kita damai ini dasarnya apa? Konsensus.

Nah, menurut saya, daripada kita ngikutin akal tentang jangka waktu konsensus untuk diperbaharui, ya, kita mungkin bisa berpikir bahwa konsensus itu sepanjang di antara yang terlibat masih ada yang memeganginya, maka kewajiban agama adalah mempertahankan konsensus itu.

Piagam Madinah itu Bani Qainuqa dan Bani Nadir diusir karena dianggap mengkhianati perjanjian, kan. Tapi, orang-orang kafir dari Aus dan Khazraj kan enggak. Karena mereka tidak mengkhianati. Mereka masih memegangi konsensus gitu. Kalau semua yang lain sudah bubar, lah baru kita mau gimana? Sudah enggak ada lagi pihak. Tapi karena Bani Khazraj dan Aus masih mau pegang konsensus, maka mereka tidak diusir, kan. Mereka tetap diterima dalam koeksistensi damai berdasarkan Piagam Madinah. Kan belum semuanya mukmin itu Aus Khazraj itu.

Perjanjian Hudaibiyah itu kemudian dibatalkan atas permintaan Makkah yang angkat tangan, “Sudah, sudah, sudah.” Karena enggak tahan dengan terorismenya Abu Bashir ini. Kan dia kan jadi teroris. Akhirnya Abu Bashir itu. Lalu, diikuti oleh sejumlah orang Makkah yang masuk Islam, kemudian bergabung dengan Abu Bashir karena enggak bisa gabung ke Madinah. Jadi teroris di situ.

Tapi kemudian, orang Makkah sendiri yang minta membatalkan perjanjian dan minta Kanjeng Nabi menerima kelompok teroris Abu Bashir ini. Abu Bashir, ya, bukan Abu Bakar Bashir, Abu Bashir. Untuk diterima ke dalam Madinah. Yang sayangnya, saya sebetulnya sangat apa, terharu sekali itu membaca itu. Karena Abu Bashir ini wafat sebelum sempat bergabung ke Madinah. Itu masyaallah.

Jadi, saya lihat ini perjanjian sekuat itu, perjanjian itu sebagai norma agama itu sekuat itu. Nah, maka saya ingin menawarkan, ya mari kita bangun strategi untuk perdamaian, untuk tata dunia yang lebih harmonis, yang lebih adil di atas premis-premis perjanjian, premis-premis konsensus. Nah, kalau sekarang ada orang berargumen nih, buat apa kita pertahankan Amerika kelakuannya sudah melanggar perjanjian, Israel melanggar perjanjian, dan sebagainya. Tapi kan Afrika Selatan enggak, Malaysia kan enggak, Irlandia juga enggak.

Jadi, masih ada pihak-pihak yang masih pegang perjanjian, maka kita masih juga punya kewajiban keagamaan untuk tetap mempertahankan konsensus dan memang yang melawan mereka yang melanggar konsensus. Minta mereka kembali atau berkonsolidasi untuk melawan yang melanggar konsensus itu. Tapi harus dasarnya konsensus ini dulu. Nah, saya kira kira-kira seperti itu tawaran, ya, proposal saya, ya. Sampai kemudian kita bawa ke Muktamar Fikih Peradaban di Surabaya.

Saya jujur enggak ngajak ulama-ulama yang sudah banyak dari mereka sering bohong soal wasatiyyatul Islam itu. Langsung enggak, saya ajak mikir soal basis. Langsung saya tanya, “Piagam PBB itu sah enggak sebagai perjanjian yang harus diikuti?” Kemudian, “Para kepala negara yang tanda tangan itu sah enggak mewakili semua warga negaranya, baik Muslim maupun kafir?” Tinggal kita beri contoh, misalnya, kalau Indonesia Soekarno tanda tangan, mungkin lebih gampang dipahami karena Indonesia mayoritas Muslim.

Tapi Nehru yang Hindu itu tanda tangan atas nama India, apakah mengikat rakyat India yang Muslim juga gitu? Apakah sah Nehru mewakili seluruh rakyat India termasuk yang Muslim? Nah, dari perdebatan yang ada, walaupun banyak kritik keras kepada PBB, kan jawabannya “iya” semua. Dan itu memang secara politis enggak mungkin itu kiai-kiai internasional itu mau jawab enggak sah.

Karena kalau mereka jawab enggak sah, negara mereka jadi tidak sah semua gitu. Karena keberadaan negara-negara pasca Perang Dunia Kedua itu landasan legitimasinya adalah Piagam PBB. Pasti enggak akan bilang enggak sah. Jawabannya makanya sah. Dari kepala negaranya sah, ya sudah. Kalau kepala sah, perjanjian mengikat, maka perjanjian itu juga mengikat seluruh warga, termasuk umat Islam terikat oleh perjanjian.

(Transkip pengantar Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) pada diskusi pakar #3 Institute for Humani

tarian Islam (IFHI), pada Rabu 28 Mei 2025 di Jakarta).

Leave A Reply

Your email address will not be published.