RISALAH NU ONLINE, JAKARTA – Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menyampaikan perbedaan peran penting antara sarjana dengan ulama khususnya di Indonesia. Beliau mengungkapkan bahwa dalam sejarah Islam, tokoh-tokoh besar dalam bidang agama maupun sains, seperti para imam mazhab, fuqaha, hingga ilmuwan sains alam, semuanya dikategorikan sebagai ulama. Namun dalam praktiknya saat ini, terjadi pergeseran makna.
“Di dunia Islam, kita termasuk di lingkungan Nahdlatul Ulama, ketika disebut ulama atau al-allamah, yang dimaksud adalah ulama atau fuqoha Syariah. Jadi sarjana fisika, sarjana matematika, sarjana sosiologi itu tidak disebut ulama, tidak dianggap masuk kategori ulama,” ujar Gus Yahya saat acara pelantikan PP ISNU masa khidmah 2025-2030 di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (31/07/25).
Menurut Gus Yahya, sinergi antara dua tradisi keilmuan tersebut sangat dibutuhkan untuk menjawab tantangan zaman. Beliau berharap ke depan ISNU bisa lebih serius mendorong upaya menyelaraskan kedua tradisi tersebut agar wawasan keilmuan Islam dan sains modern dapat menjadi kebijakan-kebijakan nyata di dalam mengupayakan kemaslahatan bagi masyarakat dan warga serta bakti kemanusiaan.
Menurut Gus Yahya, tantangan ke depan menuntut sinergi antara wawasan pesantren dengan disiplin ilmu sosial, politik, ekonomi, dan sains modern. ISNU, menurutnya, memiliki peran strategis dalam menjembatani perbedaan tersebut. “Saya merasakan sendiri, tidak mungkin kita bisa menentukan pilihan-pilihan tindakan tepat dalam organisasi NU tanpa menyinergikan wawasan pesantren dan pengetahuan dari luar tradisi pesantren,” tambahnya.
Gus Yahya juga mengingatkan bahwa NU tidak boleh terjebak menjadi bagian dari perebutan kekuasaan. NU harus memposisikan diri sebagai penyangga keutuhan bangsa dan penyalur aspirasi rakyat. “NU tidak boleh menjadi aktor dalam kompetisi kekuasaan. NU harus menjadi channel untuk mengantarkan agenda-agenda kemaslahatan agar sampai ke rakyat. ISNU sebagai kumpulan sarjana fungsional punya peran strategis dalam misi ini,” tegasnya.
Ia mengkritisi kecenderungan kader NU yang hanya fokus berebut posisi di satu sektor saja, terutama politik, tanpa membuka arena pengabdian lain yang lebih luas. “Kader NU ini kadang bergerombol di satu pintu sempit dan saling berebut. Semua ingin jadi politisi. Padahal kita perlu membuka kiprah di berbagai arena pengabdian masyarakat,” katanya.
Gus Yahya juga mengingatkan beratnya makna prosesi baiat yang dijalani para pengurus ISNU. Ia menyebut baiat bukan sekadar simbol formalitas, tapi mengandung komitmen ruhani yang harus dipertanggungjawabkan dunia dan akhirat. “Tadi sudah berani berbaiat untuk sam’an wa tha’atan kepada Rais Aam PBNU. Itu bukan main-main. Bukan cuma urusan dunia, tapi juga akhirat,” ungkapnya.
Ia menutup arahan dengan harapan agar ISNU mampu mengemban tugas keilmuan dan pengabdian secara profesional, fungsional, dan membawa maslahat luas. “Mari kita kerjakan tugas dan beban khidmah ini sebaik-baiknya. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang layak mendapatkan barokah utama dari jam’iyah Nahdlatul Ulama,” pungkasnya. (Anisa).