KASTA TERPENDAM 

0


Oleh: Ananda Rizka Seftia Putri (Santri PP Putri Al-Ma’rifah Darunnajah, Trenggalek)  

Fajar terjaga lebih awal bersiap membangunkan mentari sama seperti hari biasanya.  Pada masa yang sama ia menengadah di bawah cakrawala yang lekas berembun. Sebagai  serangkaian kecil dari rencana Tuhan, nalurinya terus berharap tanpa celah untuk menyerah, raganya selalu tenang dalam peraduannya merapal nada indah yang menyenangkan. Tak ada  nafas yang tengah-tengah, tak ada jiwa yang merasa lelah. Hatinya selalu yakin bahwa dirinya  akan menjumpai takdir yang indah di akhir lembaran hidupnya.  

Hingga tanpa terasa kali ini Mentari terbangunkan sendiri oleh panggilan yang  berkumandang dari surau, mengetuk bumi kecil tempat mereka mengabdi. Belum sampai dirinya beranjak, ia mengernyitkan dahinya hingga matanya dapat menatap poros jarum jam dinding berada di mana. 

“Pukul 04.00, ya. Cepet banget subuh sekarang ini,” gumamnya. 

Segera ia beranjak dari dipan berusaha mencari yang tidak ada. Keluar menelusuri bilik bilik kosong sembari mengusap-usap mata berusaha menghilangkan kekaburan pandangannya.  Bilik terakhir menjadi yang Mentari yakini akan menemukannya di sana. Ia menyingkap  kelambu yang menutupi bilik itu dan benar saja, 

“Kak Fajar kok nggak bangunin Tari, sih?” Mentari kesal pada kakaknya yang masih  tertunduk di atas sajadah. 

“Ya udahlah, tunggu Tari dulu sholat subuh nya!” suara Mentari semakin memudar  meninggalkan kakaknya menuju kamar mandi. Kakaknya hanya menyinggungkan senyum  tanpa sedikitpun memalingkan wajah. Fajar dan Mentari mewakili satru dadi balad, selalu  bertengkar lalu akur kembali. 

Sammy Tuhu Raka Fajar, seorang pemuda tampan penuh karisma yang kerap dipanggil  kang Fajar, fokus mendedikaskan pengabdiannya untuk Pondok Pesantren Nurul Falah. Setiap hari ia menginjakkan kaki di penjara suci itu untuk mengabdikan diri. Selain sebagai ustadz, ia  juga sering dipanggil keluarga pesantren untuk beberapa hal penting mengenai keputusan dan  pengelolaan sistem pesantren. Kejujuran dan keuletannya membuat keluarga pesantren 

menaruh kepercayaan besar dengan memberikan amanah kepadanya sebagai tangan kanan  Abuya Abdullah Fajar Hadiningrat, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Falah. Jadi, segala 

urusan yang berhubungan dengan Abuya maupun usulan dari dalam atau luar harus lewat kang  Fajar terlebih dahulu. 

Selain berkecimpung di dunia pesantren Fajar adalah sosok kepala keluarga dan  pelindung bagi Mentari, adik semata wayangnya setelah kepergian Pak Husain dan istrinya.  Pak Husain dan istrinya adalah sosok yang paling berjasa dalam membesarkan, merawat dan  melindungi Fajar dan Mentari. Sejak dari masih kanak-kanak, Pak Husein dan istrinya merawat  serta mendidik Fajar dan Mentari dengan sangat baik, selalu memberikan bekal ilmu agama  yang layak dengan mengirimkan mereka berdua ke pondok pesantren, seakan-akan Pak Husein dan istrinya tidak bisa menemani Fajar dan Mentari lebih lama. Sejak kecil hidup mereka  sangatlah sederhana dan penuh perjuangan. Bahkan saat pertama kali berangkat menimba ilmu  di pondok pesantren mereka hanya dibekali uang saku yang hanya cukup untuk membayar biaya kost pondok dan makan. Namun kesabaran dan keteguhan yang mereka teguk  mengantarkan mereka pada buah yang manis. Keduanya sama cerdasnya hingga acap kali  meraih prestasi sehingga orang-orang disekitar mereka merasa bangga memiliki generasi yang  cemerlang. Tidak hanya membanggakan, semua orang juga dibuat kagum dengan akhlak indah  yang terpancar dari keduanya, bahkan Abuya sendiri menaruh kasih sayang yang besar pada  mereka berdua. 

Hari-hari dengan cepat berpacu, dan manusia pun menikmatinya tanpa jemu. Tidak  banyak yang menyadari bahwa dalam hidup mereka banyak sekali yang silih datang dan pergi.  Banyak yang terjadi tapi mungkin mereka tak terlalu peduli dan banyak yang berubah tapi tak  terlalu membuat mereka gundah seakan semuanya baik-baik saja. Begitu juga dengan Fajar  dan Mentari yang menjalani hidup sebagai mestinya seorang hamba dalam mengabdikan diri. 

Namun, tanpa aba-aba dan skenario yang tak terbaca, dengan sangat tiba-tiba dan tak  seorang pun tau apa yang akan Mentari lakukan hari itu. Di hari itulah ketika ia mengambil  keputusan yang akan merubah hidupnya dan mungkin juga bagi kakaknya. Seperti sudah  matang dan terancang, dengan bulat ia lewati lingkaran yang melintas di dalam jalur hidupnya.  Di malam hari yang tenang Mentari mengajak Fajar untuk sowan kepada keluarga ndalem tanpa memberitahu kepada kakaknya apa tujuan sebenarnya. 

“Ada apa sebenernya sih, Tar?” tanya Fajar dengan berbisik pada Mentari karena  menjaga kesopanan saat keduanya berada di ruang tamu ndalem. 

Saat itu Abuya dan istrinya sendiri yang menerima kedatangan mereka berdua. Di  situlah ia mengutarakan niatnya,

“Nuwunsewu, Abuya. Lajeng kulo badhe nyuwun izin wangsul saking mriki keranten…” “(Maaf, Abuya. Saya minta izin untuk pulang dari sini karena…,)” yang  diutarakan Mentari membuat semua terkejut. 

”….. kula berharap ingkang sanget ridho saking panjenengan, Buya,” “(…saya  berharap sekali ridho dari Buya,)” pinta Mentari seraya menunduk dengan air mata terjun  bebas tak tertahan membuat suaranya semakin sesenggukan. 

“Ono opo Tari, kok ndadak temen?” “(Ada apa Tari, kenapa mendadak sekali?)”  pertanyaan Abuya membuat semua yang ada di ruang tamu terdiam termasuk Mentari sendiri. Meskipun mentari diam, dirinya seakan menjawab bahwa keputusannya untuk pulang sudah  tidak bisa dicegah lagi. Angin malam itu seakan tahu ada yang sedang terjadi dan ikut menjadi  saksi, berhembus dingin menemani suasana yang canggung tak seperti biasanya saat mereka  berbincang dengan akrab layaknya keluarga sendiri. 

“Iyo wes, Tar. Mugo-mugo legowo yo karo keputusane dewe. Mungkin ning  panggonan liyo awakmu besok bakal oleh dalan pituduh lan pelajaran sing luwih akeh,” “(Ya  sudah, Tar. Semoga bahagia dengan keputusanmu sendiri. Mungkin ditempat lain kamu akan  menemukan jalan petunjuk dan mendapat pelajaran yang lebih banyak,)” suara Abuya yang  lembut nan parau tiba-tiba memecah keheningan yang sedari tadi dipenuhi pertanyaan dan rasa  penasaran.  

Fajar yang menemani Mentari pun hanya diam dengan pandangan yang terus tertunduk  merasakan isi kepalanya penuh tanda tanya yang siap menyerang mentari setelah ini. Izin yang  diberikan oleh Abuya memberi arti bahwa keputusan Mentari tidak sepenuhnya salah. 

“Pesen e ibuk, dijogo awake dewe yo, nduk. Welingku pondok panggah bakal bukak  nggo santri-santrine Buya lan Ibuk,” “(Pesan Ibu, dijaga dirinya baik-baik, nak. Pesanku  pondok tetap akan terbuka untuk semua santri-santrinya Buya dan Ibu)”. Setelah mendapatkan izin dan wejangan dari Abuya dan Ibu, keduanya kemudian berpamitan karena malam yang  semakin larut.  

Sepulangnya dari pondok, keduanya menyusuri gang asrama yang lekas sunyi karena  para santri sudah bersiap untuk beristirahat. Berjalan bersebelahan dan hanya saling diam, Fajar  mengerti Mentari harus lebih tenang saat itu. Jalan yang sembab terguyur gerimis seakan  menemani suasana hati yang sama-sama teriris malam itu. Malam itu menjadi mendung yang 

termenung, Mentari membuat badai pada dirinya sendiri. Setelah cukup lama berjalan akhirnya  terdengar suara lirih Mentari, 

“Maaf ya, kak. Tari lancang membuat keputusan sendiri tanpa sepengetahuan  sampean”.  

“Kenapa sampai ceroboh seperti itu, Tar. Semua kan bisa dimusyawarahkan, ada apa  sama kamu?” kemarahan Fajar meluap setelah apa yang semuanya telah ia saksikan. 

“Semua pasti ada alasannya, kak. Ada hal yang kita ndak tau dan mungkin harus kita  cari sendiri di tengah-tengah dunia yang luas ini. Mentari berharap sampean bisa memahami  kalau ini keputusan mutlak dari Mentari karena Mentari sendiri udah dewasa, kak.” jelas  Mentari pada Fajar dengan tenang meyakinkan. 

“Kak Fajar itu kakak Mentari yang paling Tari sayang dan jadi satu-satunya yang bisa  Tari percaya, jadi semua ini nggak ada sesuatu yang Tari sembunyikan apalagi Tari tutup tutupi. Mentari minta tolong sama kak Fajar sekali ini mau ngertiin Tari,ya?” tambah mentari  seakan-akan tahu atas segala pertanyaan yang akan Fajar sodorkan. 

Fajar tak mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Hatinya membeku menerima  kenyataan bahwa harapan satu-satunya yang ia miliki justru membuatnya kecewa. Perasaannya  sudah tak terbaca lagi, pikirannya melayang membayangkan semua sudah tak bisa diperbaiki.  Sejak saat itu hubungan keduannya merenggang. Tinggal dalam satu atap tanpa saling sapa.  Berbicara seperlunya tanpa ada riangnya canda tawa. Semuanya tidak lagi seperti dahulu disaat dua kakak adik itu bersatu dan semua berjalan baik-baik saja. 

Dua tahun berlalu…… 

Dunia masih sama, tapi tidak dengan keadaannya. Hubungan kekeluargaan di antara  Fajar dan Mentari sudah semakin membaik. Akan tetapi, mereka tak lagi bersama dalam satu  atap. Fajar tetaplah abdi keluarga pesantren dan menetap di kampung halamannya, tapi tidak  dengan Mentari. Satu tahun silam dirinya memutuskan pergi ke Banyuwangi untuk berguru  dan menimba ilmu. Satu tahun sungguh terasa sangat lama bagi Fajar untuk menunggu  kepulangan adiknya. Mereka berdua hanya akan tersambung lewat telepon ketika Mentari bisa  untuk dihubungi. Segala usaha telah dilakukan, namun sulit bagi Fajar untuk memastikan  bahwa adik satu-satunya baik-baik saja dalam rantaunya. Setiap kali Fajar selalu mengirim 

pesan, akan tetapi selalu tak terbalas. Sempat dirinya berkeinginan untuk mengunjungi Mentari  karena perasaan khawatir yang memuncak pada satu-satunya orang yang ia sayang. Tapi apalah  daya, tak pernah ada rekam jejak Mentari berlabuh di mana. Saat pergi pun ia tidak sempat  berpamitan pada kakaknya walaupun sebelumnya sudah mendapatkan izin. Ketika diberi  pertanyaan oleh Fajar di manakah sebenarnya ia berada, justru Mentari akan langsung memutus  teleponnya. 

“Tari, kenapa teleponnya minggu lalu tiba-tiba mati?” 

“Di sini itu sinyalnya susah buat telepon, kak. Harus keluar rumah dulu buat dapat  sinyal” 

Nduk, bulik nderek bapak riyen…,” terdengar samar-samar suara selain Mentari dari  seberang telepon. 

“Inggih, ngantos-ngantos.” “(Iya, hati-hati)” suara Mentari menjawab pada suara itu. “Tadi siapa, Tar?” tanya Fajar penasaran 

“Ya udah, kak. Tari tutup dulu teleponnya. Assalamu’alaikum” 

“Wa’alaikumsalam…,” jawab Fajar sambil menghela napas. Kerap kali Mentari  memutus sambungan telepon setiap kali Fajar ingin menanyakan sesuatu. Mentari seperti  memiliki rahasia besar di balik semua yang ia lakukan, namun tidak ada satu pun yang  mengetahuinya. 

Hari-hari akhirnya berjalan seperti biasa seperti tidak pernah terjadi sesuatu apapun  sebelumnya. Perlahan alam mulai melupakan peristiwa yang sudah berlalu, memaksa  segalanya tetap berjalan untuk tetap menggoreskan tinta takdir pada lembaran-lembaran baru.  Namun, catatan tentang Mentari tak pernah tertinggal untuk selalu diingat.  

Fajar dan Mentari kini sudah mulai membangun hidupnya masing-masing. Fajar  menerima jika harus disalahkan atas kegagalannya melindungi Mentari, karena setelah satu  tahun terakhir Mentari sudah tidak pernah lagi berkabar bahkan walaupun hanya dengan  mengirimkan pesan singkat, seperti ada sesuatu yang merenggut paksa Mentari dari dirinya. Namun dalam hati kecilnya ia selalu menaruh harapan besar untuk bisa membawa Mentari  kembali padanya. 

Aula pondok pesantren pukul 16.30…. 

BACA JUGA

Seperti biasa setelah pengajian kitab kuning, kang Fajar akan datang ke aula untuk  menjemput Abuya karena lokasi aula yang cukup jauh dengan ndalem jika harus dengan  berjalan kaki, serta kondisi Abuya yang sudah sepuh membuat beliau harus diantar jemput dengan naik motor.  

“Le, sesok nderekne aku, yo!” “(Nak, besok ikut aku, ya!)” dalam perjalanan pulang  tiba-tiba Abuya memberikan perintah. 

“Inggih, bah” “(Baik, bah)” jawab Fajar singkat. 

Fajar sama sekali tidak pernah mengelak apalagi membantah. Ia selalu ta’dhim pada  semua perintah beliau.  

Pagi harinya Fajar datang ke pesantren menunaikan tugas yang kemarin Abuya berikan.  Mobil pun segera melaju mengantarkan Abuya menuju tujuan yang beliau kehendaki. Hanya  ada Abuya, dan Fajar sebagai sopir yang menemani dalam perjalanan kala itu. Dalam  perjalanan panjang yang mereka tempuh tidak ada obrolan serius yang menemani, Abuya pun  hanya mengarahkan rute tujuan mereka. Setelah hampir setengah hari melakukan perjalanan,  pada sore hari akhirnya Fajar berhasil mengantarkan Abuya pada tujuannya. Mobil menepi di  seberang lahan luas terbuka yang hanya ditumbuhi beberapa pohon besar. 

“Mengapa Buya pergi jauh-jauh hanya untuk ke tempat ini?” dalam hati Fajar bertanya  pada dirinya sendiri sambil memandangi dengan saksama tempat gersang itu.  

Tok … tok… tok… (suara ketukan pada jendela mobil) 

“Ayo medun!” “(Ayo turun!)” suara Abuya membangunkan Fajar dari lamunannya. 

“Astaghfirullahal’adhzim, inggih, bah.” “(Astaghfirullahal’adhzim, baik, bah.)” ia  sontak terkejut karena Abuya ternyata sudah turun lebih dahulu sebelum ia membukakan pintu.  Segera ia keluar dari mobil menyusul Abuya yang sudah berjalan lebih dahulu menuju gubuk  kayu yang ada di pinggir lahan.  

“Lungguh kene karo aku!” “(Duduk sini sama aku!)” perintah Abuya kepada Fajar  sambil menunjuk tempat kosong di samping beliau. Fajar pun ikut duduk bersebelahan dengan  Abuya.

Sore hari yang mulai menyorotkan warna jingganya kala itu membuat suasana jauh  berbeda. Angin bernafas pelan memberi pelukan hangat, mengiring burung-burung pulang  menuju peraduannya. Langit memberi senyuman hangat pada siapa saja yang memandangnya.  Matahari mulai tak tahan lagi menahan rasa kantuk, sedang menunggu bulan menggantikan  posisinya menemani bumi. Suasana yang sungguh sayang apabila terlewatkan. Di saat itu juga Fajar memandangi diri Abuya terlihat jauh lebih segar, jiwa mudanya terasa kembali membawa  semangat baru menghilangkan lelah perjuangannya selama ini. Melihat dan bisa duduk dekat  dengan Abuya membuat Fajar merasakan hatinya yang selama ini terasa gersang tiba-tiba  dihujani dengan rasa tenang yang begitu dalam. Tak pernah ia merasakan pikirannya bisa  sebebas ini tanpa beban. Semua yang membuat pikirannya kalut lebur begitu saja, sama sekali  tidak meninggalkan jejak. 

“Panggonan iki ndue cerito akeh, le.” “(Tempat ini punya banyak cerita, nak.)” 

dengan suara tenang Abuya membuka pembicaraan. Fajar hanya membalas dengan anggukan  menunggu kalimat lain yang akan Abuya ucapkan. 

“Ono sejarah dowo sing ngancani panggonan iki sing teko saiki abadi lan bakal dadi  tujuanku, le” “(Ada sejarah panjang yang menemani tempat ini yang sampai saat ini abadi  dan akan menjadi tujuanku, le.)” kata-kata yang tertutur tidak tersampaikan dengan baik,  sehingga Fajar semakin dibuat bingung dengan apa yang sebenarnya beliau maksud.  

“Ndisek aku ndue inten loro sing ra iso diijoli karo opo-opo, ning aku dewe sembrono  mangkane aku kelangan loro-lorone ning kene. Ana wong sing ra kepingin inten loro iku ana  ing dunyo iki. Ketimbang aku kudu kelangan inten-intenku, aku pilih ikhlas yen loro-lorone  tak wehno wong liyo supoyo iso dijogo lan diramut, le.” “(Dulu aku punya dua berlian yang  tidak bisa ditukar dengan apapun, tapi aku sendiri ceroboh makanya aku kehilangan dua 

duanya di sini. Ada orang yang tidak ingin kedua berlian itu berada di dunia. Daripada aku  harus kehilangan berlian-berlianku, aku memilih ikhlas jika keduanya kuberikan kepada orang  lain untuk dijaga dan dirawat, nak)” pelan beliau bercerita tentang tempat itu. Nadanya terisak tak sanggup menguak rahasia dalam di balik luasnya tanah tak berjejak itu. Fajar hanya  mengangguk pelan dengan saksama terus mendengarkan Abuya bercerita. Fajar merasa seperti  sedang menangkap kenangan lama dalam memori otaknya. Hatinya seakan memanas ikut  merasakan gejolak yang penuh dengan tanda tanya. Hingga kemudian Abuya terdiam lama tak  mampu melanjutkan kisah yang sebenarnya. 

Adzan maghrib pun berkumandang dari surau memanggil jiwa-jiwa yang lelah untuk  pergi mengadu dan berserah. 

“Golek masjid, sholat disek” “(Cari masjid, sholat dulu)” 

“Inggih, bah” “(Baik, bah)” 

Seusai berjama’ah di masjid daerah setempat, Fajar memilih menunggu Abuya di luar sambil beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Kembali ia terfikirkan teka  teki dari Abuya, kemanakah jawabannya nanti akan bermuara. Belum sempat kakinya keluar  dari pintu masjid, tiba-tiba dirinya mematung seperti tersambar petir di malam yang cerah itu.  Kedua matanya berembun menyaksikan apa yang ada dihadapannya, jantungnya berdegup  kencang seperti berlari ribuan kilometer, detik itu juga pikirannya berhenti bekerja seakan tak  percaya ini benar-benar terjadi. Tanpa berpikir lama ia berlari sebelum kehilangan kembali. 

Dengan sigap ia menghadang seseorang yang sedari tadi memenuhi sorot pandangnya. 

“MENTARI….” seperti menjemput mimpi yang selama ini ia nanti. Fajar sontak  memeluk erat Mentari, mengutarakan rasa rindu yang lama terbelenggu. Tak henti-hentinya  hatinya mengucap rasa syukur pada Yang Kuasa telah menjawab semua harapannya. Matanya  pun basah tak mampu membendung rasa haru. 

“Mentari kangen kak Fajar, Mentari ketakutan di sana” Mentari ikut terisak tak  menyangka di hari itu dirinya mendapatkan keajaiban. 

“Kemana selama ini kamu, Tar? Semua orang khawatir sama kamu.” 

“Aku ndak apa-apa, kak.” 

“Tapi kamu ketakutan, Tar?” 

“Iya, Mentari ndak apa-apa. Mentari hanya takut kalau sampai gagal menemukan  kebenaran untuk kita, kak.” 

“Maksutmu apa?” 

“Udah lama Tari pergi tapi hanya dapat satu petunjuk, kak. Tari pergi ke Banyuwangi untuk mencari tahu siapa sebenarnya kita dan kemana orang tua kita. Di sana ada adik Bapak  yang tau rahasia tentang kita. Sebenarnya, Bapak Husain dan ibu bukanlah orang tua kandung  kita. Tari buktikan sama surat kecocokan DNA ini.” Ia menyodorkan sebuah amplop kepada 

Fajar. Fajar pun membuka amplop itu dan mengeluarkan isinya. Ia membuka surat itu dan  membacanya dengan saksama. 

“Dan kak Fajar harus tau kalau kita ini adalah dua intan yang hilang, kakak lihat di  balik suratnya,” Mentari mencoba meyakinkan Fajar dengan menunjukkan sesuatu yang lain  dalam surat itu. 

“Dua intan…?” Fajar mencoba berpikir lama dan menelaah. Perkataan Mentari tak  terasa asing di telinganya. Dahinya berkerut memikirkan ada sesuatu yang salah di sini. 

“Abuya…. Kita harus tanya sama Buya” Fajar seakan menemukan jalan terangnya. 

“Mentari bener, le.” belum sampai pergi, Abuya datang tiba-tiba di antara mereka  berdua, memecahkan kebingungan keduanya. Ternyata Abuya sudah berdiri sejak lama  bersama mereka namun tak mereka sadari.  

“Kak, apa hubungannya sama Buya?” tanya Mentari tak mengerti keadaan sebenarnya. 

Fajar tertunduk diam di hadapan Abuya. Hatinya terheran, selama itukah rahasia besar  terpendam tanpa ada yang tau dan tak percaya itu dilakukan oleh orang yang selama ini sangat  ia hormati. 

“Artinya, Abuya lah pemilik sebenarnya kedua intan itu,” terang Fajar tanpa penjelasan  lagi kepada Mentari. 

“Iku kabeh bener, awakmu kabeh kui anak-anakku. Aku lan Ibu ora kepingin anak anake direbut, ora ikhlas anak-anake diwehno ing wong sing salah. Mbiyen ana wong sing  pengin nggarai awakmu kabeh ciloko. Yen diterus-terusne Buya lan Ibu iso kelangan awakmu  kabeh” “(Itu semua benar, kalian berdua adalah anak-anakku. Aku dan Ibu tidak ingin anak anaknya direbut, tidak ikhlas anak-anaknya diserahkan orang yang salah. Dulu ada orang  ingin membuat kalian berdua celaka. Kalau diteruskan Abuya dan Ibu bisa kehilangan kalian  berdua,)” suara parau Abuya membuat hati mereka berdua tersayat hebat menerima kenyataan  yang pahit. Semua terdiam mendengar kesaksian dari Abuya. Dua dilema yang memenuhi  ruang hati keduanya. Siapa yang harus disalahkan kalau ini semua adalah bagian dari  serangkaian rencana Tuhan dan bagaimana menerima dengan lapang sesuatu yang sudah lama  hancur. 

“Tari… Fajar…wangsul ning ndalem yo, nak?” “(Tari…Fajar…ikut Buya pulang ke  rumah ya, nak?)” pinta Abuya penuh harap keluarganya bisa utuh kembali.

Fajar dan Mentari tak sanggup menahan kesedihannya. Ternyata ada rindu lain yang  selama ini menanti untuk terbalas. Keduanya tidak pernah menyadari ada doa tulus dari  kejauhan yang setia berlabuh untuk mereka. Kasih sayang Abuya dan Ibu selama ini menanti  lama untuk dilimpahkan, menunggu dua intan yang lama terpendam bersinar kembali  menerangi karakter manusia yang mulai meredup, menyambung dakwah Islam yang mereka  perjuangkan. Fajar dan Mentari seakan menerima hadiah lama yang sekalipun belum pernah mereka impikan. Sangkaan yang tak pernah ada dalam hati Fajar dan Mentari bahwa dalam diri  mereka mengalir darah seorang alim. 

Memandang sorot mata teduh dari seorang ayah kandung di hadapan mereka yang  ternyata selama ini selalu ada membuat hati Fajar dan Mentari tidak bisa menahan diri untuk  cepat-cepat menceritakan hari-hari mereka layaknya seorang anak. Mereka segera menuju  kepada Abuya, memeluknya dengan hangat. Malam itu menjadi saksi utuhnya sebuah keluarga,  malam di mana Fajar dan Mentari merasakan kasih sayang pertama orang tua kandung mereka. Malam yang menjadi saat-saat penting di saat sebuah takdir tidak pernah salah berlabuh. Yang  dirasa jauh ternyata sangat dekat dengan hati dan yang terasa mustahil ternyata mudah untuk  terkabulkan.

Leave A Reply

Your email address will not be published.