Ujian Pesantren di Era Media Sosial (Stop Bullying)

0

Perundungan atau bullying adalah perilaku tidak menyenangkan baik secara verbal, fisik, ataupun sosial di dunia nyata maupun dunia maya. Segala bentuk penindasan atau kekerasan yang dilakukan secara sengaja oleh satu orang atau kelompok yang lebih kuat.

Perundungan bisa terjadi di mana saja, mulai dari sekolah, pondok pesantren, lingkungan masyarakat, hingga lingkungan rumah. Masyarakat Indonesia terbiasa melihat perundungan sejak dulu namun kesadaran mengenai bahaya dan dampaknya baru muncul sekitar sepuluh sampai lima tahun terakhir.

Jika melihat tren pencarian Google untuk kata “bullying” dan “perundungan” peningkatan jumlah orang yang mencari tentang dua kata tersebut dimulai pada bulan September 2015. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia mulai kepo dengan perundungan. Peningkatan kesadaran ini perlu diapresiasi mengingat pada jaman dulu, perundungan kerap dianggap sebagai hal yang lumrah. Bahkan, sering kali dikaitkan dengan guyonan atau “kenakalan masa remaja”.

Dalam KBBI, perundungan berasal kata rundung atau merundung yang berarti menganggu; mengusik terus-menerus; menyusahkan. Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA) mengartikannya sebagai kekerasan fisik dan psikologis yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok dalam jangka panjang terhadap orang yang tidak mampu mempertahankan dirinya.

Menurut data yang dirilis Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA), sejak Januari sampai dengan Februari 2024 jumlah kasus kekerasan terhadap anak telah mencapai 1.993. Jumlah tersebut dapat terus meningkat, terutama jika dibandingkan dengan kasus kekerasan yang terjadi pada tahun 2023.

Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), sepanjang tahun 2023 terdapat 3.547 aduan kasus kekerasan terhadap anak. Sementara menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dari Januari sampai Agustus 2023, terdapat 2.355 kasus pelanggaran terhadap pelindungan anak.

Dari jumlah tersebut, 861 kasus terjadi di lingkup satuan pendidikan. Dengan perincian, anak sebagai korban dari kasus kekerasan seksual sebanyak 487 kasus, korban kekerasan fisik dan/atau psikis 236 kasus, korban bullying 87 kasus, korban pemenuhan fasilitas pendidikan 27 kasus, korban kebijakan 24 kasus.

Sementara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (Kementerian PPPA) menyebutkan bahwa pada tahun 2023, telah terjadi 2.325 kasus kekerasan fisik terhadap anak.

Banyaknya kasus kekerasan pada anak yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan perlumenjadi keprihatinan semua pihak, baik peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, maupun warga satuan pendidikan.

Sebab satuan pendidikan merupakan tempat kedua bagi anak dalam menghabiskan waktunya. Karena itu, satuan pendidikan harus menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak. Apapun bentuk kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan harus dapat dicegah dan ditangani dengan baik.

Karena kekerasan tersebut bukan saja berdampak buruk bagi anak dalam memperoleh pendidikan yang layak, tetapi juga berdampak buruk pada mental mereka.

Untuk mencegah dan menangani kekerasan pada anak di lingkungan satuan pendidikan, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek) telah memberlakukan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP).

Permendikbud PPKSP tersebut dimaksudkan untuk memperkuat tindak pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan dengan memperluas lingkup sasaran ke peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, dan warga satuan pendidikan. Kebijakan tersebut dikeluarkan untuk memastikan bahwa warga satuan pendidikan aman dari berbagai jenis kekerasan.

 

Perundungan di Pesantren

Disadari atau tidak perundungan di lingkungan pesantren bukan lagi menjadi hal yang tabu, dikarenakan semua santri yang ada di dalamnya tidak berada di bawah pengawasan orang tua, namun berada di bawah pengurus pesantren. Kondisi ini tentu menjadi sasaran empuk bagi santri lain yang memiliki sifat angkuh dan berusaha untuk menciptakan kekuasaan baru di lingkungan sejawatnya.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkap, sekitar 3.800 kasus perundungan di Indonesia sepanjang 2023. Hampir separuh, terjadi di lembaga pendidikan termasuk pondok pesantren. Aris Adi Leksono Anggota KPAI Bidang Pendidikan dan Budaya, menyebut 30-40 persen dari keseluruhan kasus, “Tentu lembaga pendidikan keagamaan, jadi bagian itu. Selama awal 2024 belum cek jumlah pasti, tapi dari awal Januari, Jawa Timur saja tiga (kasus) di lembaga pendidikan keagamanan, secara nasional ya cukup banyak sekali,” katanya dilansir suarasurabaya.net, Sabtu 2 Maret 2024 lalu.

Ia menyebut, bertambahnya kasus kekerasan termasuk di pesantren ini menandakan semua pihak harus bekerja maksimal memastikan dunia pendidikan aman dan nyaman. “Selama ini secara regulasi Kemenag sudah menyiapkan itu, ada arahan, SK Dirjen tentang pesantren pengasuhan ramah anak tapi perlu dimaksimalkan implementasinya tingkat pesantren itu sendiri. Idealnya pesantren ramah anak ya ada pembimbing menjalankan fungsi pengasuhan alternatif. Karena pesantren punya kewajiban memberi fungsi alternatif dari orang tua,” tuturnya lagi.

Diantara kasus terbaru yaitu kekerasan dialami BBM (14 tahun) santri asal Banyuwangi yang meninggal di Pondok Pesantren Tartilul Quran (PPTQ) Al Hanifiyyah Desa Kranding, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri, Jumat (23/2/2024). Jenazahnya penuh luka dan darah saat tiba di rumah duka, Sabtu (24/2/2024), kemudian pihak keluarga melapor ke polisi.

Terungkap, ia meninggal karena dianiaya empat seniornya inisial MN (18 tahun) warga Sidoarjo, MA (18 tahun) asal Nganjuk, AF (16 tahun) asal Denpasar Bali, dan AK (17 tahun) asal Surabaya. Perundungan juga pernah terjadi di PP. Darus Salam Gontor yang mengakibatkan meninggalnya AM sebagai korban dari keberingasan temannya sendiri. (JatimNetwork.com 11/09/2022).

Jika melihat UU Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 80 dijelaskan bahwa setiap orang dalam melakukan perundungan terhadap anak akan dipidana paling lama 3 tahun penjara/6 bulan kurungan dengan denda paling banyak Rp. 72.000.000. Sementara dalam rangka memberikan batasan terhadap perlindungan anak jika melihat dari UU No. 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan anak, dijelaskan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan; diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan, ketidak adilan dan perlakuan salah lainnya. (Huda Sabily)

Leave A Reply

Your email address will not be published.